Oleh. Drs. Jamhuri, MA[*]
“…Dan hendaklah mereka sampaikan kudungnya ke leher dan dadanya, dan tiada memperlihatkan perhiasannya (tubuhnya), kecuali kepada suaminya, bapaknya, bapak suaminya, anak-anaknya, anak-anak suaminya, saudara-saudaranya, anak saudara-saudaranya, anak-anak saudara perempuan sesama perempuan, hamba sahaya kepunyaannya, laki-laki yang menjalankan kewajibannya tetapi tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), dan anak-anak yang belum mempunyai pengertian kepada aurat perempuan. Dan janganlah mereka pukulkan kakinya, supaya diketahui orang perhiasannya yang tersembunyi. Dan tobatlah kamu semuanya kepada Alloh, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung” (An-Nur : 31)
Perintah Tuhan tentang mengenakan jilbab jelas disebutkan dalam ayat di atas, tujuannya adalah untuk tidak menimbulkan fitnah antara manusia yang berlawanan jenis, karena itu pula Tuhan melalui firman tersebut membenarkan tidak memakai jilbab di depan orang-orang tertentu, sebab diyakini dihadapan mereka itu tidak ada fitnah.
Berlakunya Syari’at Islam di Aceh sejak tahun 2002, dan pada tahun itu pula lahir Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam bidang aqidah, ibadah dan Syiar Islam. Dalam Qanun ini memasukkan jilbab dalam bagian dari pakaian islami, sehingga menjadi wajiblah jilbab bagi kaum perempuan di Aceh dan dianjurkan kepada mereka yang berlainan keyakinan untuk menghormati.
Pewajiban jilbab ini menimulkan polemik berkepanjangan dikalangan perempuan (aktifis perempuan) dan mereka yang peduli HAM, ada yang mengatakan bahwa pewajiban jilbab dengan Qanun sebagai pakaian islami adalah salah satu bentuk diskriminasi pelaksanaan syari’at Islam terhadap peremuan, ada juga yang mengatakan bahwa pewajiban itu sebenarnya bertentangan dengan kebebasan yang diharapkan oleh semua orang dalam kehidupan ini.
Namun bila kita perhatian pendapat dan alasan yang dikemukan oleh semua pihak, baik yang mematuhi pewajiban jilbab sebagai pakaian islami berdasarkan al-Qur’an dan Qanun ataupun mereka yang menolak dengan berbagai alasan baik dari sisi diskriminasi ataupun sudut pandangan HAM adalah hanya berputar pada pemakaian jilbab.
Pamahaman yang berputar pada memakai dan tidak memakai adalah sebuah pola pikir yang masih bersifat konsumtif yang mengandalkan emosional, dimana mereka membayangkan bahwa dengan mamakai jilbab dapat megurangi kebebasan bergerak, panas dan dengan memakai jilbab akan tampak tidak menarik, atau alasan-alasan lain yang hanya bersifat emosional.
Ketika kita menyikapi suatu perintah Tuhan dengan emosional, maka kita akan menghambat kemajuan budaya kita sendiri. Alasan seperti ini penulis kemukakan karena mengedepankan emosional dengan mengabaikan rasional atau kecerdasan pikiran dapat menghambat pertumbuhan kemajuan. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan di sini, kenapa kita lebih mau menglkuti kebudayaan Barat yang nota bene bertentangan dengan budaya kita ketimbang kita memajukan kebudayaan sendiri, alasannya adalah karena kebudayaan Barat itu hadir kehadapan kita dengan tekhnologi dan ilmu pengetahuan, sementara kita tetap mempertahankan kebudayaan kita dengan cara mencerdaskan emosional.
Sudah seharusnya kita yang tinggal di wilayah Syari’at Islam, tidak lagi berbicara tentang setuju atau tidak setuju dengan pewajiban memakai jilbab, tetapi kita mengedepankan pemikiran agar menemukan cara bagaimana orang yang memakai jiilbab tidak lagi merasa terbatas geraknya dalam melakukan kreatifitas. Juga mengenakan jilbab tidak lagi merasa bahwa ia kelihatan tidak menarik atau kepanasan.
Untuk itu kita dituntut menjadi desainer jilbab yang sesuai dengan “rasa” (nilai seni) semua orang, karena kita juga pernah mendengar ungkapn iklan “rasa tidak pernah bohong”. Artinya kita akan membuat jilbab yang sesuai dengan nilai seni yang dimiliki semua orang, karena nilai seni yang dimiliki seseorang adalah universal dengan tidak memandang agama, suku atau bangsa.
Akhirnya dengan kemampuan desainer yang kita miliki, mendorong lahirnya kreatifitas tekhnokrat bidang industri untuk menciptakan alat untuk mempermudah pemenuhan kebutuhan jilbab bagi masyarakat.
Dari sisi keyakinan kita Kepada Tuhan (yang Maha Mengetahui) tidak salah bila kita katakan, makna pewajiban jilbab sebagaimana dimaksudkan dalam al-Qur’an seperti telah disebutkan di atas mendorong manusia untuk memajuan budaya, tekhnoloi dan ilmu penetahuan.
[*] Pengkaji Syari’at Islam di Aceh