Peradaban Empati

Hamdan*

BAGI masyarakat kecil atau yang berpenghasilan pas-pasan, kenaikan harga BBM membuat hidup mereka kian sulit. Kalau untuk sekedar hidup mungkin saja bisa, namun apakah kualitas hidup itu layak, itu masih menjadi tanda tanya. Ironisnya jumlah mereka cukup tinggi, yakni sekitar 30 juta jiwa atau sekitar 12,5 persen penduduk negara kita.

Kalau mengacu data, adalah logis ketika pemerintah mempublikasikan bahwa kelompok menengah ke atas menikmati sebagian besar porsi subsidi BBM, sedangkan harga minyak dunia kian melambung. Namun menjadi tidak logis saat pemerintah memukul rata kenaikan harga BBM untuk semua kalangan. Bayangkan kehidupan 30 juta rakyat miskin tersebut pasca kenaikan harga BBM? Sebab kenaikan harga BBM adalah nyata membebani kehidupan mereka yang sudah sulit. Sedangkan janji pemerintah untuk memberi fasilitas ini dan itu adalah suatu hal yang belum pasti kebenaran pelaksanaannya. Apalagi mengingat birokrasi di Indonesia kalau sudah bersentuhan dengan anggaran yang besar ibarat memindahkan air dari drum ke timba, dari timba ke gayung, dari gayung ke gelas. Akan selalu ada air yang tertinggal.

Pemberitaan media belakangan ini mengenai isu pemerintah menaikkan harga BBM pun barangkali hal ini sudah membuat telinga kita cukup jenuh. Namun yang pasti, ada satu hal yang tidak boleh kita kesampingkan, yaitu rasa empati. Rasa empati menjadi begitu penting karena ia merupakan sebuah pertanda bagi setiap insan apakah ia memiliki kepedulian lebih terhadap penderitaan orang lain.

Tingkat kepekaan empati berbeda-beda antara satu orang dengan orang lainnya—subyektif bahkan relatif, tergantung dari sudut mana orang melihatnya. Kunci untuk memahami itu terletak kepada pengalaman dan pembelajaran manusia dalam menjalani hidup ini. Keberadaan empati hampir paralel dengan seringnya manusia untuk turut menyelami penderitaan orang lain. Menyelami bukan berarti larut dalam kesedihan, akan tetapi bagaimana setelah kita berempati, kemudian kita bergerak untuk meminimalisasi dampak negatif dari penderitaan tersebut. Apalagi buat kita sesama Muslim, yang kata Rasul ibarat satu tubuh. Bila satu bagian tubuh terluka, bagian yang lain akan ikut merasakannya.

Akan tetapi, dibutuhkan banyak proses pembelajaran hidup agar empati senantiasa melekat dalam jiwa manusia. Empati tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus dilatih dalam proses kehidupan. Ia membutuhkan semacam keterampilan khusus seperti keterampilan berinteraksi, komunikasi, mendengar aktif, bersikap asertif, dan sebagainya.

Empati pun bisa hadir seiring dengan keterlibatan kita dalam masyarakat, apapun bentuk profesinya. Seringkali kita terjebak dalam zona nyaman yang akhirnya membuat kita enggan untuk meninggalkan zona tersebut. Kadang pekerjaan yang layak, dengan segala fasilitasnya membuat kita terlena dalam kenikmatan.

Sementara kita tidak menyadari di balik kenikmatan itu, masih terdapat masyarakat yang hidup penuh dengan ketidakpastian dan kekurangan pangan. Dan di balik kenikmatan itu pun, masih ada hak orang lain di dalamnya. Karena itu, empati harus senantiasa menjadi bagian dari hidup kita. Dengan empati membuat kita tersadarkan bahwa ternyata banyak orang yang tidak seberuntung kita yang masih bisa menikmati pendidikan dan kebutuhan dasar yang tercukupi.

Saat pemerintah tidak peka terhadap kesulitan rakyatnya dan saat rasa empati ditaklukkan oleh logika angka ekonomi, di saat itulah sesama rakyat mesti menunjukkan rasa empatinya. Kita bersama perlu membangun solidaritas, menjadi umat manusia yang berperadaban empati.***

*Penulis adalah wiraswasta, berdomisili di Takengon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.