JIKA Indonesia memiliki Irwansyah sebagai artis nasional, maka Gayo juga memiliki Irwansyah yang expert di bidang seni lukis dan kriya (kerajinan tangan). Pribadi yang humoris, begitu kesan yang ditangkap Lintas Gayo (LG) saat menemuinya di sebuah kantin yang menyediakan menu khas masakan tradisional dan Kopi Gayo di perbatasan Kota Takengen. Tak jarang ia melontarkan gurauan di sela-sela tanya jawab berlangsung, menghangatkan suasana kendati di luar sedang mendung dan berangin.
Ia terlahir sebagai anak ke empat dari lima bersaudara, di Kampung Bebesen pada 20 April 1981 silam. Bujang Gayo ini mengaku sejak kelas 3 Sekolah Dasar (SD) telah menyabot juara pertama lomba kaligrafi dan lomba melukis se-Kabupaten Aceh Tengah, kendati di dalam keluarganya tidak ada yang memiliki kemampuan di bidang seni.
Pada kelas 5 SD ia dan beberapa anak lain yang berbakat seni lukis belajar secara private dengan Alm Thomas Tarigan. “Saya belajar dengan beliau sekitar empat tahun, hingga saat ini beliau tetap menjadi seseorang yang saya kagumi karena karyanya di bidang seni lukis”, ujar alumni SDN Bebesen ini yang sekilas terlihat mengenang gurunya.
Setamat dari Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 2 Takengon, ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Industri Kejuruan (SMIK) di Banda Aceh. Pada awalnya ia mengira sekolah ini merupakan sekolah khusus di bidang seni lukis, namun perkiraannya salah. Sekolah ini lebih mengedepankan pada kerajinan tangan (kriya) dengan pilihan program studi kayu, textile, logam dan keramik. Irwan, begitu ia biasa disapa, mengambil program studi kayu dan merasa tidak menyesal bersekolah di sekolah tersebut. Karena dengan begitu ia memiliki dua keahlian yaitu melukis dan kriya.
Selama menduduki bangku SMA, hanya pada 6 bulan di tahun pertama Irwan menerima kiriman uang dari orang tuanya yang bekerja sebagai petani. Selebihnya hanya sesekali ia terima, terkadang ia hanya menerima kiriman berupa hasil pertanian keluarganya. Untuk menutupi kebutuhannya ia bekerja di Yuke Galeri, sebuah galeri yang memproduksi souvenir dari bahan kayu/ukiran, lukisan dan batu sui sei ki. Yuke Galeri juga terkenal sebagai sekretariat Keluarga Lut Tawar (KLT) pada masa itu.
Pada tahun ketiga, ia mulai mengenal dunia desain grafis menggunakan komputer melalui bekerja di Dewa Grafika yang saat itu berlokasi kawasan Simpang Mesra Jeulingke Banda Aceh. Namun kegiatannya di dunia kerja tersebut tidak mengganggu prestasi belajarnya, ia kerap menjadi juara di kelasnya.
Kemudian ia melanjutkan studi di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Medan (Unimed) pada tahun 2000. Ia bergabung di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lakon Kesenian Kampus (LKK), yaitu UKM yang berorientasi pada bidang theater.
Di LKK ini ia belajar bagaimana mengekspresikan diri, dan ini berdampak baik pada kemampuan melukisnya. Karena ia banyak belajar untuk tidak malu dalam menuangkan imajinasinya ke sebuah lukisan. Cerita tentang pengalamannya di LKK dan dunia melukis terus mengalir dari bibirnya sambil sesekali menyeruput cappuchinonya. Pengidola Affandi, Basuki Abdullah dan Salvador Dali ini bahkan pernah melepas lukisannya seharga 3 juta Rupiah.
Kini ia mengajar ekskul seni rupa di SMA 4 Takengen. Setelah sebelumnya sempat mengajar di berbagai sekolah, baik itu di Kota Medan maupun Kota Takengen. Menurut Bujang Gayo ini siswa di kota besar lebih mengapresiasikan bidang seni daripada di kota kecil terutama Kota Takengen. Ini terbukti dari kurangnya minat siswa yang mengikuti mata pelajaran ekskul yang diajarkannya.
Selain tidak menganggap bidang seni dengan sebelah mata, di kota besar juga sangat mudah menemukan alat-alat untuk melukis dan membuat kriya. Saat ini hampir setiap sendi kehidupan berhubungan dengan seni, bahkan tak jarang ketika seseorang berbuat sesuatu yang di luar kebiasaan (tabu), maka ia berdalih dengan mengatakan seperti itulah seni”, tutur Irwan yang menjadikan Saba dan Iwan Fals sebagai penyanyi favoritnya.
Hampir semua produk kriya telah dicobanya seperti fotografi, membatik, melukis kaligrafi dari pasir dan kayu, menganyam dari kertas limbah, melukis potret, menyablon, berbagai jenis menggambar, bahkan mematung. Ilustrasi karyanya juga kerap dimuat di beberapa harian surat kabar.
“Kita harus percaya diri akan karya kita sendiri, walaupun hasilnya kurang bagus. Daripada sibuk mengagumi karya orang lain. Ada rasa kepuasan tersendiri ketika telah berhasil menuangkan ide di kepala menjadi sebuah karya. Saya tidak perduli apakah karya tersebut akan dihargai, dicemooh atau laku terjual, karena saya berkarya bukan untuk orang lain”, tegas Irwansyah yang saat ini sedang menyiapkan sejumlah karya kaligrafi dengan bahan uatam pasir pantai.(Ria Devitariska)
jangan bosan berkarya ada saat kita ikut pameran di kota besar.maju terus irwan