Oleh : Ramajani Sinaga
Angin telah mengibas-ibas daun dan ranting pohon cemara di sekitar tugu pendidikan Syiah Kuala. Aku menunggu kehadiranmu sedari tadi. Aku tersentak ketika melihatmu tertatih-tatih sangat lamban menuju tubuhku. Tampak wajahmu sedang menyimpan masalah sangat besar, aku tahu walaupun kau mencoba merubah wajahmu menjadi sumringah, tentunya kau sedang menyimpan rapat masalah-masalah itu agar aku tidak mengetahuinya.
“Kau sudah lama menunggu?” kau bertanya padaku.
“Iya, sudah dua gelas es kelapa aku habiskan demi menunggumu di sini,” jawabku padamu.
“Maafkan aku, ada sesuatu yang harus aku katakan, ini sangat penting.”
“Aku sudah tahu apa yang kau akan ceritakan, Laila.”
“Maafkan aku baru cerita sekarang. Abi dan Umiku telah menjodohkan aku pada lelaki berdarah Gayo.”
Aku diam sesaat. Ubun-ubunku terasa dingin. Banyak masalah yang menyatroni kepalaku, dan aku tidak terkesiap dengan apa yang kau katakan karena aku telah menduga sebelumnya.
“Kalau begitu, menikahlah dengan lelaki itu.”
“Kenapa? Kau menyerah? Katamu kau ingin jadi imam dalam memimpin rumah tangga kita, seperti Nabi Muhammad membina rumah tangga dengan Aisyah.”
“Aku juga sudah dijodohkan ibuku dengan wanita lain.”
Kau melotot ke arahku seakan tidak percaya akan hal ini. Lalu bening air mata mengalir dari kedua bola matamu.
“Siapa wanita itu? Kenapa kau tak pernah cerita sebelumnya!”
“Dia wanita satu suku denganku, dia wanita Aceh dan aku lelaki Aceh. Sudahlah, aku buru-buru ingin bertemu dengannya di bawah jembatan Lamnyong. Kami mungkin akan menikah bulan depan, kau lebih dahulu menikah. Aku ucapkan selamat atas pernikahanmu, Laila.”
Aku melangkahkan kaki, tergesa-gesa meninggalkanmu. Aku tahu kau menangis terisak-isak penuh haru, lalu aku pergi dan mencoba menjauh darimu.
***
Di bawah jembatan Lamyong sangat indah sore hari. Aku menghibur diri dengan duduk termangu, melihat para lelaki sibuk menendang bola, menatap sebagian orang menancapkan anak panah, dan melihat orang-orang mengayuh sampan-sampan kecil pada permukaan sungai jembatan Lamyong. Mereka tersenyum sumringah, seolah tidak sedang menyimpan masalah.
Umurku sudah ranum, sudah sepantasnya aku duduk di pelaminan dengan seorang wanita, dan berharap kau adalah wanita itu, Laila. Namun aku akan membuang cita-citaku itu. Sebenarnya tiada wanita yang aku temui di bawah sungai jembatan Lamnyong, aku sendiri tanpa seorang pun di sini.
Ibuku selalu mendukungku untuk menikah dengan siapa saja, sekalipun wanita yang bukan bergelar ‘cut’. Karena derajat manusia di hadapan Allah, sama saja tiada berbeda. Sebenarnya tidak ada seorang wanita yang dijodohkan untukku. Itu hanya bualanku agar kau melupakan aku, Laila.
Ibuku bernama Cut Zahra, namun ibuku menikah dengan seorang lelaki hitam gelap karena bekerja seharian sebagai nelayan. Lelaki gelap itu adalah ayahku, dan ayah tiada lahir dari keluarga bangsawan. Ibu benar-benar mencintai ayahku.
Saban hari ayahku mengarungi lautan untuk mencari nafkah, sehingga kulitnya semakin hitam, hanya gigi putih ayah yang terlihat. Namun pada saat ibu mengandungku, suatu hari ayah pergi melaut dan tidak pernah kembali lagi ke daratan. Pang Laot mengatakan bahwa ayahku ditelan ombak biru.
Ibuku terpukul, saban malam ia menangis sehingga matanya tampak cekung. Aku seperti Nabi Muhammad ketika lahir ke dunia tiada seorang ayah.
***
“Ibu sudah semakin tua, kapan kau menikah?”
“Belum ada yang cocok, Bu.” Jawabku.
“Wanita berdarah Gayo yang sering kau sebut-sebut itu gimana?”
Aku diam tertunduk. Tiba-tiba ibu bergerak ke arahku, ia menjulurkan sebuah kotak kecil.
“Apa ini, Bu?”
“Berikan pada wanita Gayo itu?”
“Tapi Bu….”
“Berikanlah, itu dulu kalung emas yang diberikan ayahmu pada ibu.”
“Ibu lebih membutuhkannya, ini kenang-kenangan dari ayah.”
“Tidak, berikan pada seorang wanita yang paling kau cintai.”
“Tapi..”
“Ini amanah ibu, Nak.”
***
Aku tidak pernah memaksamu hadir mendampingi jalan hidupku, Laila. Aku bukan lelaki berdarah Gayo, itu sebabnya aku melepaskan kau dengan seorang lelaki yang telah dijodohkan untukmu, Laila. Pun aku tidak ingin kau mendurhakai ayah dan ibumu hanya karena aku.
Cinta itu tidak selalu hadir dalam setiap relung napas nadi. Cinta tidak harus memiliki, sebab cinta karunia Tuhan Yang Mahakuasa.
Hari ini aku telah mendapat kabar bahwa kau akan menikah dengan lelaki berdarah Gayo itu, aku hadir pada hari penikahanmu. Namun aku menatapmu dari jauh. Pernikahanmu memang kuat akan nilai adat-istiadat suku Gayo. Aku tetap memandangimu dari jauh. Kau cantik dengan pakaian adat Gayo itu, dan lelaki itu juga tampan sangat serasi denganmu, Laila. Aku cemburu. Aku tidak berani bersalaman dan menjabat tanganmu sembari mengucapkan selamat atas pernikahanmu, aku tidak berani melakukannya. Aku takut tanganku gemetar dingin saat bersalaman denganmu dan semua orang akan menertawaiku.
Aku menghadiahkan sebuah kado untukmu, Laila. Jika kau menemukan sebuah kado mungil berwarna merah yaitu warna kesukaanmu, itulah kado dariku sebagai ucapan doa dan selamat atas hari pernikahanmu. Kau pasti akan tahu isi kado itu saat kau membukanya, kau akan menemukan sebuah kalung emas, dan sebenarnya kalung itu kepunyaan ibuku. Kau pasti terheran kenapa aku memberimu sebuah kalung sedang kita tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi. Ibuku berpesan padaku, agar aku memberikan kalung itu pada seorang wanita yang benar-benar aku cintai, dan wanita yang paling aku cintai adalah kau. Tiada yang lain. Aku turut berbahagia atas pernikahanmu. Semoga kau berbahagia sampai ke anak cucu. Amin.
—
BIODATA:
Ramajani Sinaga. Lahir di Raot Bosi, Sumatera Utara, 5 Oktober 1993. Karya-karyanya telah dibukukan, antara lain: antologi cerpen bersama “Siapakah Aku ini Tuhan” (2011), kumpulan cerita horor bersama “They Meet With My Nightmare” (2012), dan kumpulan cerpen komedi bersama “Cinta Kandas di Angkot” (2012). Karya-karyanya dimuat di Detak Unsyiah, Suara Mahasiswa USU, Harian Serambi Indonesia, Harian Waspada Medan, dan Harian Medan Bisnis. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa semester dua Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.