Oleh : Sabela Gayo *)
Pekerja migran adalah seseorang yang melakukan pekerjaan yang dibayar disuatu negara dimana ia bukan menjadi warga negara dari negara yang bersangkutan. Adanya perbedaan kewarganegaran sering kali menimbulkan perbedaan perlakukan dari negara yang bersangkutan terhadap hak-hak pekerja migran yang ada di negaranya. Padahal para pekerja migran merupakan manusia-manusia yang hanya bertujuan mengais rejeki dengan menjadi pekerja disektor-sektor informal dalam rangka menafkahi keluarganya. Bahkan tidak jarang pekerja migran dianggap sebagai kelompok orang yang harkat dan martabatnya lebih rendah dibandingkan dengan warga negara di negara mana para pekerja migran tersebut bekerja. Kondisi demikian memicu terjadinya prilaku ketidakadilan yang dilakukan oleh para majikan, seperti penyiksaan fisik, penyiksaan seksual, perampasan paspor, dan perbuatan-perbuatan lainnya yang sangat merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan.
Indonesia meratifikasi konvensi pekerja migran tanggal 22 september 2004, sekitar 1 (satu) tahun setelah keluarnya UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hak-hak pekerja di Indonesia diatur dan dilindungi oleh UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahkan di dalam peraturan pelaksanaannya memberikan ruang gerak yang luas bagi para pekerja asing. Tetapi harus diakui juga bahwa tidak ada satu pun Pasal yang ada didalam UU Ketenagakerjaan yang secara spesifik mengatur dan melindungi hak-hak pekerja migran. Ketiadaaan pengaturan tersebut secara jelas di dalam UU Ketenagakerjaan merupakan hal yang wajar karena UU Keternagakerjaan lebih dahulu diterbitkan oleh pemerintah dibandingkan dengan ratifikasi konvensi pekerja migran yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Pekerja-pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri seperti di Malaysia, Brunei Darussalam, Arab Saudi, dan negara-negara lainnya juga akan dilindungi oleh konvensi internasional yang sama yang mengatur tentang pekerja migran. Hak-hak pekerja migran sangat rentan sekali dilecehkan dan diabaikan oleh pemberi kerja khususnya para pekerja migran yang tidak mempunyai skill dan hanya mengandalkan tenaga saja dalam melakukan pekerjaannya, seperti pembantu rumah tangga, pelayan restoran, buruh pabrik dan buruh perkebunan. Untuk menyikapi hal tersebut pemerintah Indonesia perlu meningkatkan koordinasi dan komunikasi intensif dengan negara-negara tujuan para pekerja migran Indonesia. Bahkan dirasa sangat penting adanya perjanjian kerjasama bilateral yang bersifat khusus antara Indonesia dan negara-negara tujuan para pekerja migran dalam kerangka memberikan keamanan dan kenyamanan para pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya dan untuk menciptakan sebuah mekanisme baku bagi penyelesaian sengketa ketenagakerjaan para pekerja migran yang didasarkan pada kesepakatan bersama kedua negara. Tanpa adanya campur tangan yang intensif dan sistematis dari negara sebagai pengawal kepentingan hukum warga negaranya yang menjadi pekerja migran di negara lain maka proses pelecehan dan pengabaian hak-hak pekerja migran Indonesia di luar negeri akan semakin sering terjadi dan terdengar oleh masyarakat Indonesia.
Pekerja migran yang datang ke Indonesia pada umumnya adalah para pekerja professional dan tenaga terdidik, sehingga mereka datang dan bekerja di Indonesia karena pengetahuan dan pengalaman mereka sangat dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Proses perlindungan hukum mereka menjadi lebih mudah karena mereka adalah orang-orang yang terdidik dan mengetahui hak-hak dan kewajiban yang dimilikinya sebagai pekerja migran.bahkan tidak jarang pekerja migran asing tersebut menjadi pimpinan pekerja-pekerja Indonesia di berbagai perusahaan dan pabrik di Indonesia. Kondisi pekerja migran Indonesia di negara lain khususnya negara tetangga Malaysia sangat kontras dengan kondisi pekerja migran yang di Indonesia. Pekerja migran Indonesia yang ada di Malaysia cenderung dilecehkan baik secara fisik maupun seksual, gaji tidak dibayar, paspor ditahan oleh majikan, dan berbagai macam bentuk-bentuk penghinaan lainnya yang merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan.
International Labour Organization (ILO) adalah sebuah badan PBB yang fokus menangani isu-isu tentang ketenagakerjaan khususnya mengenai hak-hak pekerja migran. ILO sudah banyak mengeluarkan berbagai macam instrumen, protokol, dan konvensi-konvensi internasional yang bertujuan melindungi hak-hak pekerja migran, diantaranya adalah;
- Konvensi ILO No 97 tentang Migrasi untuk Bekerja;
- Konvensi ILO No.143 tentang Migrasi dalam Keadaan Teraniaya dan Pemajuan Persamaan Kesempatan dan Perlakukan bagi Buruh Migran;
- Konvensi ILO No.159 tentang Kerja Wajib atau Kerja Paksa;
- Konvensi ILO No.105 tentang Penghapusan Kerja Paksa;
- Rekomendasi ILO No.86 tentang Migrasi untuk Bekerja;
- Rekomendasi ILO No.152 tentang Buruh Migran.
Selain instrumen-instrumen hukum diatas yang mengatur tentang hak-hak pekerja migran, negara-negara yang di dalam negaranya terdapat para pekerja migran wajib menyesuaikan aturan-aturan hukum nasional demi memastikan terjaminnya hak-hak warga negaranya sendiri maupun hak-hak warga negara lain yang menjadi pekerja migran melalui konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan politik, konvensi internasional tentang hak ekonomi, sosial dan budaya, deklarasi umum hak asasi manusia, konvensi tentang pengahapusan segala bentuk diskriminasi dan konvensi hak anak.
Lembaga-lembaga internasional sangat menaruh perhatian pada perlindungan hak-hak pekerja migran demi tercapainya dan terlindunginya harkat dan martabat kemanusiaannya seiring dengan telah hapusnya masa kolonialisme dan imperialisme modern. Indonesia perlu melakukan sinergi yang mantap dengan lembaga-lembaga internasional khususnya ILO ketika hak-hak pekerja migrannya dilecehkan oleh negara-negara tujuan para pekerja. Pemerintah Indonesia harus menyampaikan protes-protes dan nota-nota keberatan yang meminta perhatian ILO terhadap perlindungan hak-hak pekerjanya di berbagai negara tujuan para pekerja.
Konvensi internasional tentang perlindungan pekerja migran tidak hanya semata-mata memberikan perlindungan hukum bagi para pekerja yang bersangkutan saja melainkan juga perlindungan hukum tersebut meliputi seluruh anggota keluarga para pekerja dimana pekerja tersebut berada. Pemerintah Indonesia perlu segera memikirkan untuk membuat sebuah undang-undang yang khusus mengatur tentang perlindungan hukum pekerja migran sehingga para pekerja migran di Indonesia memiliki kepastian hukum akan hak-haknya sebagai pekerja migran. Langkah tersebut hendaknya juga diambil oleh negara-negara dimana para pekerja migran Indonesia banyak menjadi pekerja, agar perlindungan hukum mereka menjadi lebih pasti dan tidak menimbulkan efek negatif bagi hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara tujuan para pekerja migran.
Aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh beberapa oknum majikan terhadap para pekerja migran Indonesia di Malaysia cenderung memicu semangat nasionalisme dan patriotisme sebagian warga masyarakat Indonesia khususnya dari daerah-daerah dimana para pekerja migran tersebut berasal. Kondisi yang demikian merupakan hambatan dan tantangan yang nyata bagi Indonesia-Malaysia untuk menciptakan suatu mekanisme perlindungan pekerja migran yang maksimal dan menlindungi kedua belah pihak yaitu para pekerja migran itu sendiri maupun majikan. Kadangkala tidak selamnya aksi-aksi kekerasan dipicu oleh sang majikan, tetapi ada juga dalam beberapa kasus aksi-aksi kekerasan dilakukan oleh para pekerja migran. Perlindungan hukum yang pasti, jelas dan disepakati bersama oleh kedua negara merupakan solusi cerdas bagi penyelesaian sengketa ketenagakerjaan khususnya yang menyangkut hak-hak pekerja migran.
*) Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Pemuda Gayo (PP IPEGA) dan Direktur Eksekutif Biro Bantuan Hukum – Sentral Keadilan (BBH-SK) Banda Aceh.
Comments are closed.