Yanti, Gadis Pendaki Gunung dari Lembah Leuser

LANGKA di Aceh, Indonesia bahkan dunia, seorang wanita punya minat besar dan mampu melakukan pendakian gunung yang melintasi berbagai macam rintangan. Rintangan atau halangan dari dalam diri sendiri maupun lingkungan,  yang nyata atau mistis.

Sugiyanti, seorang jilbaber kelahiran Tanah Merah Deleng Megakhe, Kecamatan Badar, Kutacane, 30 September 1986 silam, suka keindahan alam, rasa penasaran ada apa disana, belajar mengenali diri sendiri, rasa syukur kepada Allah SWT memutuskan untuk bergabung dengan Pecinta Alam Agara (GENTALA) dan di Mahsiswa Pecinta Alam (Mapala) Universitas Gunung Leuser (UGL) Kuta Cane Aceh Tenggara.

“Saya mendaki pertama kali di tahun 2007 silam. Kalo mengingat kejadian perdana  mendaki sangat-sangat lucu. Cuma perempuan sendiri diantara kaum Adam. Dengan memakai rok panjang, berulang kali jatuh. Ya kemiringn gunung sekitar 70 derajat,” kenang Bureg (Boru Siregar), panggilan akrab Sugiyanti mengawali wawancara online bersama Lintas Gayo, Minggu 5 Agustus 2012.

Pengalaman pertama yang sulit, tidak membuat Bureg patah semangat. Dia malah ingin dan ingin mendaki gunung lagi, malah yang lebih menantang.

“Rasa ingin tahu ada apa dibalik bukit itu, dan warna apa dibalik kabut nan jauh disana. Belajar dan harus belajar sabar, ikhlas dan syukur kepada Sang Pencipta, membuat saya kepingin terus untuk mendaki gunung,” ujar gadis alumni Fakultas Pertanian UGL tahun 2012 ini.

Pendakian pertama dilakukan Boreg ke Puncak Perkison Kutacane Aceh Tenggara dengan ketinggian 2828 Meter Diatas Permukaan Laut (mdpl) dengan menempuh selama 1 minggu perjalanan.

Gunung berikutnya Burni Telong, Bener Meriah, Gunung Leuser 3425 mdpl yang ditempuh selama 15 hari bersama Kopassus dan TNI AD. Lalu Gunung Seulawah bersama cewek-cewek Mapala se-Aceh. Gunung Sinabung bersama beberapa perwakilan Mapala Aceh-Sumut.

“Saya pengen ngibari merah putih di gunung-gunung luar Aceh bahkan dunia bang, tapi kapan ya?. Peluang dan kesempatan belum berpihak kepada saya,” ujar Bureg lirih.

Karena perempuan, ditanya apa tidak ada kekhawatiran saat mendaki bersama sejumlah laki-laki yang bukan muhrim serta harus menantang alam saat melakukan pendakian. Yanti bergumam panjang. “Emmm…tergantung tipe wanitanya bang. Bagi Yanti gak ribet-ribet amat kok. Namun harus safety kewanitaan aja.

Pengakuannya, ini pertanyan yang sering jadi biang kesalahfahaman bagi mereka yang kurang tau kondisi di hutan.

“InsyaALLAH selama perjalanan pendakian, Yanti gak pernah dilecehkan oleh kaum Adam, malah kita-kita sangat saling menjaga,” kata Yanti. Jangankan dilecehkan, diremehkanpun belum pernah. Dan jika itu terjadi pasti sejak dulu sudah saya hentikan pendakian, timpalnya bersemangat.

“Yanti bangga dengan tali persaudaraan sesama anak pendaki, walau terkadang sebelumnya  kita gak saling kenal,” kata Yanti.

Tantangan lain dalam pendakian, bagi Yanti diantaranya cerita-cerita mistis. “Wooow….Atut! Hehehee..,” Yanti tertawa saat ditanya apakah pernah kerasukan atau bertemu makhlus halus di hutan.

“Saya gak pernah ketemu langsung, tapi merasakan mereka hadir didekat kita, Intinya jangan takabur dan hormati keberadaan mereka. Saat tidur saya kerap mimpi bertemu mereka, apalagi ketika rasa lelah memuncak,” kata Yanti.

Di Burni Telong ada seorang laki-laki yang memburu babi, ngendap-ngendap dibalik pohon sambil mengamati gerak-gerik Yanti, kenangnya.

Lalu di Leuser, “pernah dengar ada tawanan yang meninggal melarikan diri ke Leuser kan?. Yanti lelah dalam parjalanan, dibuat nangis ama kawan, jadi pas rehat mimpi diajak tinggal bareng ama narapida di Leuser. Yanti berontak sambil baca ayat-ayat pendek. Mereka kasihan lihat Yanti ditinggal jauh oleh kawan-kawan mahasiswa dari seluruh Aceh yang berjumlah 47 orang dalam pandakian. Kami hanya berdua perempuan bersama Nisa Nadia, Alumni Universitas Gajah Mada,” kenang Yanti yang mengaku takut cerita-cerita hantu.

Dengan binatang buas bagaimana ?, tanya Lintas Gayo. “Alhamdulillah gak pernah ketemu, karena instink binatang buas lebih tajam ketimbang manusia. Dengan jarak beberapa kilometer mereka sudah tau keberadaan kita. Mereka gak mau dilahap oleh manusia,” tutur Yanti sambil tertawa menjawab pertanyaan tersebut.

Dia mengaku kerap melihat jejak atau kotoran harimau, gajah, bahkan ular besar yang kekenyangan makan anak kambing. Yanti tidak terlalu ngeri kecuali berpapasan dengan Pacat Daun.

Mendaki dan saat melakukan perjalanan menuruni gunung menurut pengakuan Ibu Negara (pangilan akrab bagi Yanti oleh para pendaki se-Aceh) sama sulitnya. “Mendaki, kontrol napas, sering ngos-ngosan bahkan muntah bagi pemula. Saat turun, mesti siap-siap rem cakram dan ketahanan paha,” kata gadis yang berprofesi sampingan sebagai penunjuk arah di Bungalow Keddah, Gayo Lues milik Mr. Jaly.

Putri sulung dari pasangan Arianto Siregar dan Leginem ini menyatakan kemirisannya terhadap kondisi hutan di Aceh. “Pemerintah kita kurang bijak mengurus hutan. Respon mereka gak ada untuk hutan Aceh tetap lestari, mau Dollarnya aja,” kata Yanti.

Diakhir kisahnya, dia menyatakan masih akan melakukan pendakian ke gunung sampai hari tua, menikmati keindahan ciptaan-NYA. “Tapi dengan izin suami juga, alangkah indahnya bila kelak punya suami juga suka petualang. Tapi dimana dan siapakah dia?. Masih teka teki, hehehe,” tutup Yanti yang ingin sekali mendapat pekerjaan sesuai dengan jurusan Agronomy yang ditekuninya, bersama petani Kopi Gayo di Aceh Tengah atau Bener Meriah. (Khalisuddin)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.