Mudawali dan Taman Tepi Kali

Oleh : Ibnoe Hadjare

Mudawali, sepertinya akan mengalami nasib sama dengan Mikawali yang pada tahun lalu pernah kehilangan separuh dirinya. Sampai-sampai Mikawali memanjat atap rumah dan bertahan di sana, hingga fajar datang. Di lain waktu, Mikawali juga mengarungi padang ilalang sambil menjerit-jeritkan nama seseorang. Tapi malang, pencarian itu berakhir sia-sia juga. Bayang Munaira yang dicarinya tak kunjung ditemukan, kecuali hanya pandangan ilusi yang memperlihatkan gadis itu pada bentangan awan-awan atau pada saat langit senja berbianglala.

Peristiwa memilukan itu kini berulang, hampir serupa namun tak sama. Kali ini menimpa Mudawali, ia seorang mahasiswa jurusan hukum pada sebuah institusi di Kuta Raja. Ia terpaksa memetik derita dari kisah-kasihnya, dengan si Dara yang sejak dua tahun dulu telah menikah itu.

Sejak peristiwa pernikahan itu terjadi, Mudawali hanya bisa bermimpi mendengar suara Dara. Mengalun lembut, di antara kegalauan yang semakin mendera. Ia melukiskan suara-suara itu seumpama kicauan burung di tepi danau,  semisal sinar safar merah di selatan dan utara. Perlahan masuk dan menghilang, kemudian muncul lagi sebagai wujud mentari. Begitu indah. Tapi sayang, sebab terjadi hampir setiap malam, maka cerita mimpi Mudawali mulai tak diminati teman-temannya lagi.

Pagi itu, seperti pagi yang sudah-sudah. Mudawali urung menikung ke kanan, maka kampus terlewatkan lagi. Laju vespanya melurus ke depan, masuk  menyusur jalanan luas ke arah kota dan meninggalkan jejak Gampong Darussalam jauh di sana. Dalam hatinya hanya ada setumpuk hasrat yang harus dituntaskan. Sebuah rindu yang telah lama menjadi benalu hidup, juga rindu yang akan menjadi petaka bagi keberlanjutan kuliahnya yang sudah di ambang drop out.

Seperti biasa setiba di taman kota, Mudawali berhenti. Dengan rencana yang sama, sebuah keinginan yang tak berbeda dengan apa yang sejak beberapa lama ini diinginkannya. Di taman tepi kali itu, ia akan membunuh kegamangan. Ia ingin mengubur dalam rasa galau yang sebenarnya juga bermula dari sana. Sebuah tempat pertama kali ia berjumpa dengan Dara, si gadis manis yang kini hilang entah ke mana. Taman itu juga tempat yang sama, saat mereka duduk malu-malu suatu senja. Kemudian, mereka ucap janji yang kini terlupa. Di taman itu akhirnya keduanya terakhir bertemu. Di deretan bangku usang dengan nuansa sedih yang tiada pernah terlupa. Sebuah cerita antara dirinya, Dara dan tunangannya. Luka keterpaksaan, bagi Dara saat itu.

Mudawali galau, bahkan ia tak bisa lagi menjadi imam untuk dirinya sendiri. Pikirannya sering kacau, kadang sampai kehilangan sadar. Ia kerap membiarkan pikirannya melangkah jauh, pada sebuah kenangan dulu. Berulang kisah pada seorang kasih yang sempat dipeluk namun tidak bisa dimiliki itu.

Di satu sisi, ia ingin lupakan Dara dan semua yang pernah terjadi antara mereka. Tapi di sisi lain, ia masih selalu mengunjungi taman kota yang kemudian membuat pikirannya mengenang kembali gadis itu. Dirinya larut  menerawang tinggi, seperti melihat kembali hari-hari yang pernah mereka lewati bersama. Waktu berbagi rindu di bukit senda, ataupun menimba karang di ujung sendu. Saat mereka berdua saling mendekap erat jemari di suatu waktu, seolah belaian riak sungai cemburu melihat kemesraan mereka saat itu.

Begitulah, bayang yang datang tak kunjung hilang di pikirannya. Kenangan demi kenangan hinggap silih berganti. Padahal Mudawali tahu, percuma saja mengenang. Dara tak mungkin kembali. Perjumpaan tak disengaja minggu lalu, seharusnya menjadi bukti bahwa Dara memang bukan lagi seperti yang dulu. Janji manis dan cerita perjodohan paksa itu, juga semestinya tak lagi menjadi kenangan.

Tapi kenyataannya, perjumpaan itu justru membuat segalanya menjadi semakin terpuruk. Mudawali benar-benar terkapar, ia tak sanggup hadapi kerumunan khayal yang tak kunjung menghilang.  Angin yang mulai berhembus kencang, di taman tepi kali itu di bawah langit yang mulai berwarna abu-abu. Mikawali memutuskan untuk melupakan segalanya, batinnya sungguh tersayat.

“Jika semudah itu kau lupakan segalanya, bagaimana dengan pesanmu supaya aku selalu mengingatmu? bagaimana dengan pesanmu agar aku senantiasa mengaggap kau masih kekasihku, bagaimana dengan pesanmu itu?” ucapan itu terdengar lirih dari Mudawali. Ia menghidupkan kembali vespanya. Lalu pergi meninggalkan taman kota yang mulai dibentangi awan hitam di atasnya.  Hujan deras pun mengguyur, bayang Mudawali masih samar terlihat di ujung trotoar. Pikirannya berbalut cemas akan nasib yang bakal menimpanya. Dia sungguh takut jika harus megulang nasib tragis Mikawali, teman lamanya. “Aku tak mau gila!”

BIODATA :

Ibnoe Hadjare, lahir 17 Juli 1988. Kini menetap di Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.