INDONESIA merupakan negara yang dibangun diatas pondasi kemajemukan. Untuk itu, apapun problema kebangsaan yang terjadi di Republik ini, maka penyelesaiannya harus menggunakan sudut pandang yang majemuk.
Kemajemukan yang ada, hidup, dan terus bertumbuh di Republik ini, seyogianya menjadi tanggung-jawab kita bersama untuk merawat keberlangsungannya. Baik itu kemajemukan suku, etnis, budaya, agama hingga kemajemukan aliran keagamaan. Dan tanggung-jawab puncak ada pada negara sebagaimana amanat Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
Amanat tersebut harus dan wajib diimplementasikan oleh negara, dalam hal ini Pemerintah RI. Karena Pancasila dan UUD 1945 secara tegas baik tersirat maupun tersurat memerintahkan Negara (Pemerintah) melindungi segenap warga negara tanpa terkecuali. Pancasila yang merupakan hasil negoisasi terbaik yang dilakukan oleh para pendiri bangsa ini harus mampu dan bisa diartikulasikan secara konsekuen oleh Negara.
Sehingga implikasi logisnya, apapun konflik yang terjadi di Republik ini apalagi konflik yang berpotensi mencederai kebhinekaan (kemajemukan) bangsa harus mampu diredam oleh negara, tentunya dengan cara-cara Pancasilais; yakni cara yang moderat, toleran, proporsional dan tidak menimbulkan benih negasi sesama anak bangsa.
Kasus (pertikaian) antara aliran keagamaan (Islam) yang terjadi di Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur adalah sebentuk tantangan bagi kemajemukan bangsa ini. Mengenai peran Negara dalam kasus pertikaian aliran keagamaan (Islam) ini, ada hal yang perlu dikritisi. Pertama, Negara dalam hal ini Pemerintah RI tak serius dalam menangani persoalan ini. Pernyataan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama yang cendrung melihat persoalan secara parsial tentunya berdampak buruk pada memori kolektif anak bangsa yang menjadi korban dari peristiwa Sampang. Semestinya Pemerintah harus memosisikan diri sebagai penengah. Dengan posisi sebagai penengah, maka pemerintah tidak lagi terjebak pada kehendak para pihak yang bertikai, dalam hal ini pihak mayoritas.
Pemerintah tidak perlu lagi melakukan “pembelaan diri” atas indikasi pembiaran terhadap kasus Sampang dengan menyebut kasus tersebut sebagai persolan keluarga, sebagaimana yang tercetus dalam pernyataan Menteri Agama RI, Surya Dharma Ali dalam berita di sebuah TV Swasta, bahwa konflik Sampang, Madura adalah konflik kakak-beradik. Pernyataan ini cendrung menganggap sepele persoalan yang sesungguhnya kemudharatannya besar.
Pertanyaan mendasarnya sekarang adalah, dimana mata dan hati Pemerintah negeri ini? Karena dampak dari konflik Sampang sungguh memilukan. Dimana dari konflik (yang boleh jadi) adalah konflik akibat arogansi keagamaan (elite) kelompok tertentu mengakibatkan hilangnya nyawa seorang anak manusia, menghilangkan tempat tinggal sebagaian penganut Syiah, hingga trauma psikologis anak-anak yang hingga kini masih tidur di bilik pengungsian. Inilah yang menurut hemat saya, yang mesti menjadi fokus perhatian Negara.
Roh Negara
Kedua, Negara dalam hal ini Pemerintah RI telah mempeti(es)kan Pancasila. Seharusnya Pemerintah tidak menjadikan Pancasila sekadar sebagai ritus kenegaraan. Namun, menjadi tanggung-jawab Negara untuk menjadikan Pancasila sebagai nilai yang senantiasa hidup dan bertumbuh dalam dialektika kebangsaan. Dan peran ini betu-betul harus dimulai dari “roh” negara.
Hal ini bisa dilakukan oleh Negara dengan berangkat dari cara pandang (mind set) dalam menyelesaikan pelbagai persoalan kebangsaan. Negara harus mampu menterjemahkan nilai-nilai Pancasila dalam menyelesaikan pelbagai konflik di Republik ini. Nilai-nilai tersebut yang paling utama adalah nilai kemanusiaan. Karena kemanusiaan tak pernah mengenal dan terdikotomi oleh perbedaan strata sosial, suku, agama, etnis, budaya, apalagi dikebiri oleh kehendak mayoritas ataupun minoritas.
Sehingga seturut dengan itu, kemanusiaan hanya “mengabdi” pada keadilaan, kesetaraan, kesederajatan dan keharmoniaan. Ketika nilai (kemanusiaan) ini mampu dinternalisasikan oleh pemerintah dalam “roh” Negara, maka apapun persoalan kebangsaan yang berpotensi mencederai kemajemukaan bangsa ini akan dapat diselesaikan dengan arif dan bijak.
Karena cara pandang Pemerintah dalam menyelesaikan problema bangsa tidak lagi “dikanalisasi” oleh cara pandang yang parsial dan primordial tapi dilandasi oleh semangat kemanusiaan yang utuh dan imparsial. Sehingga tidak ada lagi perlakuaan istimewa bagi kelompok tertentu, tapi semuanya setara dalam wajah kemanusiaan sebagai warga Negara Indonesia yang sama didepan hukum.
Untuk itu, negara (Pemerintah) harus dan betul-betul menyadari eksistensinya sebagai “mandataris” yang diberikan amanat oleh seluruh anak bangsa untuk mengelolah Republik ini. Mengelolah berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945. Karena Pancasila bukan hasil “konsensus dagang sapi” para pendiri bangsa, sebagaimana yang jamak dipraktikaan oleh elite politik bangsa hari ini. Tapi Pancasila—sekali lagi—merupakan hasil negoisasi terbaik yang dilakukan oleh para pendiri bangsa.
Maka merupakan inkonsistensi dan menihilkan keberadaan sejarah, ketika Negara (Pemerintah) tidak menjadikan Pancasila sebagai problem solving (solusi) dalam mengatasi setiap kemelut yang terjadi di bangsa ini. Untuk itu, sekali lagi Pancasila harus dan wajib disegarkan oleh Pemerintah RI sebagai “roh” bagi keberlangsungan bangsa dan Negara ini.
Oleh karena itu, Pancasila jangan sekadar dijadikan ritus seremonial dalam pidato kenegaraan, seminar, syimposium, dan sejenisnya. Tapi marilah dengan serius dan sungguh-sungguh, dan ini harus dimulai dari Negara untuk menjadikan Pancasila sebagai “roh” dalam setiap gerak kebangsaan dan kenegaraan.
Kalau ini mampu diinternalisasikan dan diartikulasikan oleh negara, maka Pancasila, saya optimis tidak lagi beku dalam ritual-ritual kenegaraan, tapi Pancasila akan selalu berdenyut dengan segar dalam “jantung” kebangsaan dan kenegaraan.(for_h4mk4[at]yahoo.co.id)
* Analis Sosial & Politik
Pancasila=pembunuh
Pancasila=musyrik
Pancasila hanya untuk orang-orang bodoh.
Enyahkan pancasila dari bumi gayo.