Bara dalam Sekam di PLTA Peusangan

Oleh : Win Wan Nur*

“Zaman sekarang ini, pengetahuan dan teknologi menjadi panglima. Orang berpengetahuan semakin berjaya sementara orang yang tidak berpengetahuan semakin tidak berdaya. Contoh kita lihat di Proyek PLTA Peusangan di Angkup sana. Pengerjaannya dilakukan oleh perusahaan Korea, mereka menguasai teknologi tinggi. Sama kita mereka dikontrak untuk mengerjakan proyek PLTA, tapi apa yang mereka lakukan di sana, kita tidak tahu. Mereka menggali terowongan, kita tidak tahu ada kandungan apa di dalam tanah yang mereka gali. Entah tanah yang mereka gali itu mengandung emas, berlian bahkan uranium kita tidak tahu. Yang jelas tanah hasil galian terowongan itu tidak ada bekasnya, seharusnya tanah yang digali dengan cangkul saja, bisa kita lihat di mana tanah galiannya. Tapi ini kan tidak, sepertinya mereka langsung menerbangkannya dengan helikopter ke Korea dan dengan hasil emas yang ada di dalam tanah itu, bisa jadi mereka sudah berhasil menutupi bahkan mungkin sudah meraup untung yang jauh lebih besar dari nilai proyek yang mereka kerjakan.”

Cerita di atas terekam dari sebuah obrolan yang saya lakukan dengan seorang tetangga yang sudah sepuh ketika penulis baru tiba dari Jakarta di kampung halaman.

Bagi para pembaca yang paham tentang hukum dan etika bisnis internasional, tahu adanya arbitrase internasional, dan besarnya resiko pelanggaran kontrak yang bisa membuat hancur bukan hanya nama baik tapi juga akan menyedot seluruh keuangan perusahaan sampai pailit mungkin tertawa saat membaca penggalan informasi di atas. Tapi, Itulah realita yang dipahami berkembang di tengah masyarakat Gayo di Aceh Tengah dalam menanggapi proses pembangunan mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air di Angkup, kecamatan Silih Nara, Aceh Tengah.

Situasi ini saya anggap serius karena yang menceritakan itu adalah seorang sarjana yang kini telah pensiun, mantan ketua Bappeda Aceh Tengah yang pernah menjadi SEKDA.  Kalau seseorang dengan kapasitas seperti beliau saja berpikiran begitu. Bisa dibayangkan, bagaimana pandangan masyarakat awam, yang tingkat wawasan dan pengetahuannya teramat sangat jauh di bawah kapasitas beliau.

Berkembangnya informasi seperti ini di masyarakat, tak pelak membuat mega proyek yang nilai proyek teknik sipilnya saja mencapai angka 2,8 Trilyun ini terlihat seperti tidak memiliki tim humas yang seharusnya bertugas memberikan penerangan dan penjelasan kepada masyarakat tentang proyek yang mereka kerjakan, yang selalu memantau isu yang berkembang di masyarakat tentang proyek yang mereka kerjakan dan segera menetralisir segala isu negatif yang berpotensi mengganggu kelancaran proyek.

Padahal biasanya, jangankan dalam sebuah proyek dengan skala sebesar itu. Berdasarkan pengalaman penulis, untuk proyek setingkat  bakti sosial mahasiswa yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, saja pun ada tim humas yang mempersiapkan mental dan psikologis masyarakat yang desanya akan menjadi sasaran proyek, agar tidak terjadi friksi akibat adanya kesalah pahaman. Sementara di sini kita berbicara tentang sebuah mega proyek yang  nilai proyek pekerjaan teknik sipilnya saja sampai 2,8 Triliun Rupiah. Apakah perusahaan mau menunggu masyarakat berdemo dulu baru bertindak?

Cerita di atas hanyalah satu dari sekian banyak potensi konflik yang disimpan oleh proyek PLTA Peusangan. Masih ada beberapa isu yang lebih serius baik yang berkaitan dengan kebijakan dan strategi pelaksana proyek maupun potensi masalah yang akan timbul setelah proyek ini selesai dan mulai beroperasi. Yang jika tidak diredam dari sekarang pada gilirannya nanti akan merugikan semua pihak dan terutama PLN sendiri.

Contohnya sebut saja sistem perekrutan tenaga kerja . Ini potensi bahaya. Seharusnya untuk menghindari friksi, untuk sebuah proyek dengan nilai sebesar itu perusahaan kontraktor lebih memprioritaskan penduduk setempat untuk mengisi posisi-posisi yang mereka perlukan dalam pelakasanaan proyek. Karena kebijakan seperti ini akan menggairahkan ekonomi setempat. Karena uang gaji yang dibayarkan perusahaan akan dibelanjakan di wilayah itu juga, sehingga tercipta efek domino yang memberi keuntungan ekonomi bagi berbagai lapisan masyarakat.

Tapi di sini,  kalau Hyundai yang merupakan main contractor dijadikan acuan. Kebijakan ini terlihat belum optimal, contohnya meskipun rekruitmen di tingkat pekerja kasar dan skill rendah sudah cukup baik dengan cara mengutamakan putra daerah. Tapi sepengetahuan penulis, sampai sejauh ini bagian HRD Hyundai belum pernah mempublikasikan requirement mereka dan apa jobdesk-nya. Sehingga publik tidak banyak tahu tentang apa saja kebutuhan Hyundai terhadap tenaga kerja berskill. Sehingga kebutuhan tersebut hanya bisa diisi oleh orang-orang yang memiliki akses ke dalam.

Padahal,  di luar sana, entah di Takengen ataupun di luar daerah, ada banyak sekali putra-putri Gayo yang memiliki kapasitas yang cukup untuk mengisi posisi-posisi yang dibutuhkan perusahaan.

Masalah lain adalah soal jam kerja, Hyundai setelah jam kerja selesai pada pukul 18.00, Hyundai masih mengharuskan pekerja masuk kembali pukul 19.30 untuk bekerja sampai pukul 21.00 malam. Ini sudah menyalahi undang-undang ketenagakerjaan.

Potensi konflik yang lebih besar juga sudah menunggu ketika proyek ini selesai.

Sebagaimana kita ketahui bersama, saat disetujuinya proyek ini. Pemerintah Aceh bersama PLN telah menandatangani MoU yang menyatakan komposisi tenaga kerja yang akan dipekerjakan di PLTA ini nantinya adalah 70 : 30, artinya 70 % dari Aceh dan sisanya dari luar. Ini perlu dikawal dan terus dipublikasikan dari sekarang, supaya generasi muda putra daerah yang saat ini masih berstatus pelajar dan mahasiswa, tahu bahwa beberapa tahun dari sekarang ada peluang bekerja untuk mereka di proyek ini agar sejak saat ini mereka bisa mempersiapkan diri.

Mengingat, PLTA Peusangan secara administrasi berada di dalam  wilayah Sumbagut yang berpusat di Medan. Kasus PT. Arun dan Industri strategis di Aceh dulu harus dijadikan pelajaran, jangan seperti yang terjadi di pada masa lalu. Informasi rekruitmen hanya beredar di Jakarta dan hanya diketahui oleh orang-orang di pusat sana, sementara masyarakat Aceh yang menyaksikan industri tersebut di depan matanya tidak tahu apa-apa.

Untuk bagian 70% yang menjadi jatah Aceh tersebut idealnya juga sudah diperjelas sejak sekarang, berapa jatah Aceh Tengah dan Bener Meriah, dua kabupaten di Gayo di mana DAS Peusangan berada. Sebab, meskipun pemerintah dan pemangku kebijakan di Aceh mengatakan bahwa Aceh itu satu dan tidak ada perbedaan perlakuan antar etnis, dalam realitasnya “Aceh dan Gayo adalah sama” hanya berlaku ketika Aceh dalam posisi akan mendominasi, seperti ketika akan mendudukkan Bupati atau menempatkan pegawai negeri, tapi ketika giliran Gayo seharusnya mendominasi, seperti pengiriman atlet berprestasi. Yang berlaku adalah prinsip Abdullah Saleh “Orang Aceh, hanya yang bisa berbahasa Aceh”.

Akan sangat disayangkan, kalau hanya karena masalah-masalah yang sebenarnya masih sangat mudah untuk diatasi ini, mega proyek yang akan menghasilkan listrik dengan daya 86 Megawatt ini gagal memberi manfaat bagi kita semua.

*Analis ekonomi, Sosial dan Politik, bertempat tinggal di Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments