TULISAN ini dipicu oleh kemenangan fenomenal Joko Widodo dan Basuki Tjahja Purnama (Jokowi-Ahok) dalam Pilkada DKI. Jokowi-Ahok berhasil menjadi Gubernur–Wakil Gubernur DKI periode 2012-2017 setelah melalui pertarungan yang sengit di Pilkada putaran kedua.
Kemenangan fenomenal Jokowi-Ahok ini merupakan perseden mencerahkan bagi masa depan demokrasi Indonesia. Kemenangan Walikota Solo dan mantan Bupati Belitung Timur ini menegaskan bahwa demokrasi borjuis yang di hegemoni secara elitis oleh partai politik (parpol) menjadi tersungkur oleh kapasitas dan integritas sosok figur.
Jokowi yang berhasil menumbangkan Fauzi Bowo (Foke) yang notabene Gubernur incumbent serta didukung oleh gerombolan partai-partai besar menjadi tak berdaya dengan “daya magnetis” sosok bersahaja Jokowi yang dicitrakan sebagai pemimpin yang sederhana, humanis dan toleran. Hal ini terbukti ketika ia memimpin Kota Solo.
Jokowi-Ahok memang diusung oleh dua partai politik (PDI Perjuangan dan Gerindra), tapi berdasarkan hasil polling pelbagai lembaga survey, pilihan warga Jakarta terhadap Jokowi-Ahok bukan didasari oleh partai pendukung tapi oleh integritas Jokowi.
Kemenangan Demokrasi Kerakyatan
Kemenangan Jokowi-Ahok bisa dikatakan sebagai kemenangan demokrasi kerakyatan. Mengingat dalam aktualisasinya selama ini, baik dilevel nasional maupun daerah demokrasi kerakyatan cendrung direduksi dan dipinggirkan elite-elite politik borjuis. Demokrasi menjadi kuasa politikus borjuis, sementara rakyat yang memberikan suaranya untuk politikus sewaktu pemilu hanya sekadar pelengkap-penderita.
Demokrasi yang idealnya; kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat ditelikung oleh kuasa politikus borjuis menjadi partokrasi; kekuasaan dari partai, oleh partai, untuk partai. Demokrasi model partokratik ini menjauhkan politik dari rakyat, menjadikan politik teralienasi dari kepentingan-kepentingan kerakyatan. Gejala ini pada akhirnya mengasingkan rakyat dari kepentingan-kepentingan politiknya sendiri (Said Ali, 2011).
Kemenangan Jokowi-Ahok dalam Pilkada DKI memberikan sejumlah pesan. Pertama, rakyat sudah muak dengan dagelan elite politik. Bukan rahasia umum lagi kalau partai politik (parpol) termasuk salah satu institusi yang paling korup di negeri ini. Tidak hanya itu saja, partai politik juga hanya dijadikan ladang oleh politikus untuk memperkaya diri, sementara konstituen dibiarkan merayap dalam penderitannya.
Pertanyaanya sekarang, apa ada partai politik yang memberikan pendidikan politik untuk konstituenya, jawabannya tidak ada. Karena kalau hal ini mereka lakukan, maka parpol akan ramai-ramai ditinggalkan oleh konstituenya. Untuk itu, kita berharap kepada parpol agar betul-betul serius mengurusi kepentingan rakyat, kalau tidak mau ditinggalkan oleh konstituen. Jangan Pemilihan umum (Pemilu) didepan mata, baru menyambangi konstituen.
Kedua, rakyat Indonesia sudah cerdas. Artinya, mereka tidak mau lagi dijadikan sekadar obyek elite politik dalam meraup suara. Tapi mereka menginginkan dilibatkan secara utuh dalam setiap proses politik. Keterlibatan rakyat Jakarta yang massif sebagai relawan Jokowi-Ahok dalam Pilkada lalu adalah fakta bahwa rakyat sudah tidak mau lagi jadi obyek politik para elite.
Bahkan sebagai wujud dukungan kepada Jokowi-Ahok, para simpatisan dan pendukung Joko-Basuki (JB) rela merogoh kocek sendiri untuk membeli kemeja kotak-kotak khas Jokowi. Itu artinya, rakyat ingin dihargai subyek yang utuh tanpa di distorsi oleh syahwat kekuasaan elite politik.
Sikap politik simpatisan dan pendukung JB yang partisipatif/pro-aktif diatas menegaskan bahwa rakyat menginginkan agar demokrasi harus dikembalikan ke asalnya; sebagai kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat dan sebagai sinyal selamat tinggal untuk demokrasi borjuis yang penuh dengan kepalsuan, kebohongan dan manipulasi.
Tanggung-Jawab Moral
Untuk itu, menjadi tanggung-jawab moral bagi masyarakat Gayo yang tercerahkan untuk memberikan penyadaran dan pendidikan politik kepada massa-rakyat di tanoh Gayo. Bahwa memilih pemimpin (Bupati, Gubernur, Presiden dan anggota legislative) bukan karena segepok rupiah, segantang beras atau sekardus mie instan. Tapi memilih pemimpin itu harus berdasarkan akal budi yang cerdas dan hati nurani yang jernih.
Sekadar mengingatkan—kisruh Pemilukada Aceh Tengah—dimana sampai dengan hari ini Bupati terpilih belum dilantik oleh Gubernur Aceh, tidak terlepas dari persoalan alpanya akal budi dan hati nurani saat mencoblos 9 April lalu. Selamat merenung—karena kata Socrates—hidup yang tak pernah direfleksikan adalah hidup yang tidak patut dijalani. (for_h4mk4[at]yahoo.co.id)
*Analis Sosial & Politik