ORANG yang jauh dari tanah kelahiran selalu identik dengan kata sombong (sepoh), tidak mau perduli dan tidak beradat (beredet), entah apa lagi sebutan yang dipatenkan oleh masyarakat untuk perantau, ungkapan-ungkapan diatas juga berkembang di masyarakat Gayo ketika seseorang pulang dari perantauan, mereka melihat telah terjadi perubahan terhadap bentuk dan tingkah laku orang atau anggota kelurga yang pulang dari perantauan masyarakat menilai para perantau mulai terbawa bahkan mulai terbiasa dengan adat istiadat masyarakat daerah tempat dimana perantau itu menetap, padahal belum terbukti sepenuhnya tentang kebenaran itu.
Berada jauh dari tanah kelahiran sepertinya bukan alasan yang kuat untuk melupakan adat istiadat serta bahasa yang telah menghuni raga selama bertahun-tahun lamanya, malah di tempat perantauan rasa kebanggaan sebagai orang Gayo itu muncul dengan tiba-tiba tanpa bisa di sadari. Rasa cinta terhadap Tanoh Gayo tumbuh dengan naturalnya biasanya hal ini di picu oleh beberapa argumen seperti teringat dengan orang tua di rumah (home sick), kerabat, sahabat atau karena rasa lonely di negeri orang yang belum kita kenal bahkan terlihat sangat asing bagi kita, karena kita berkumpul dan membaur dengan suku-suku yang lain dari daerah yang berbeda pula.
Bagi kami para perantau, Gayo menjadi sebuah kebanggaan ketika berada di negeri orang, Gayo merupakan tradisi dan identitas yang selalu kami pegang teguh dan kami junjung tinggi. Ada tanggung jawab ketika mengatakan “saya orang Gayo” karena ketika mengucapkan kata tersebut tiba-tiba saja kita merasa sebagai duta Gayo, bahkan melebihi Duta Pariwisata dalam mempromosikan daerah Gayo yang kami tinggali, Jika kami bertemu dengan mahasiswa dari daerah lain atau rekan kerja, ketika mereka bertanya “dari daerah mana?” kami langsung mengatakan dari Gayo, kadang mereka keheranan mendengar kata Gayo, barulah kami menyebut Aceh, mereka mulai lebih detil menanyakan tentang makanan dan culture bahasa yang di anut oleh orang Gayo tak lupa kami bubuhi tentang pesona wisata, kopi Gayo dan Danau Lut Tawar laksana seorang diplomat ulung yang memperkenalkan nama Gayo kepada dunia.
Ungkapan berat bersibantun pun menyihir perasaaan kami tentang arti dan hakikat persaudaraan antara sesama Urang Gayo di perantauan. Kami merasa seperti anggota tubuh yang saling mendukung satu dengan yang lainnya.
Mendengarkan lagu menjadi kebiasaan mahasiswa umumnya di tengah kesibukan kuliah atau kerja sampingan, uniknya mahasiswa asal Gayo selalu memutar lagu Gayo, pernah sekali tetangga kamar saya yang orang Sunda bertanya kepada saya “maaf Mas, Mas kok lagunya itu-itu terus ya, apa nggak bosan?” sambil tersenyum saya menjawab “nggak Mas, malah ketagihan” tiba-tiba teman saya langsung tertawa sambil mengatakan “pulang kapung sana Mas”. Bukan saja mahasiswa S1 bahkan mahasiswa S2 dan S3 serta orang Gayo yang ada di perantauan, hampir selalu memutar dan mendengarkan lagu Gayo di saat pagi hari, sore harinya bahkan malam hari sebelum tidur. Mengerjakan tugas pun lagu Gayo menemani sebagai pengganti kopi derap tepukan Didong memberi energi positif pada darah kami. Saya pernah bertanya kepada seorang mahasiswa Pascasarjana yang sedang mengerjakan Tesis. “Lagu dor menge lagu Gayo le bang, selo nye siep pe tesis sa” sambil tertawa dia menjawab “Yoh isen le mera muncul ide-ide a” mungkin benar yang di katakan oleh orang-orang bahwa lagu-lagu Gayo menyimpan makna yang dalam, permainan kata yang puitis, makna yang dalam sehingga terkadang menjadi inspirasi bagi orang yang mendengarkannya sebagai petuah tak langsung bagi kami yang jauh dari rumah. Yang tak kalah famousnya dari lagu Gayo adalah Kopi Gayo, hampir di setiap kost dan tempat tinggal Urang Gayo selalu ada bubuk kopi, ini merupakan kebiasaan mahasiswa khususnya laki-laki bahkan muncul ungkapan ”Ike Gere Minum Kupi, Nume Urang Gayo” kalau kita lihat kebiasaan minum kopi, Suku Gayo bukan satu-satunya yang memilii tradisi minum kopi, bahkan suku-suku lain pun sangat menyukai kopi seperti suku Aceh, suku Melayu, suku Bali dan lainya, alasan kopi inilah yang sering digunakan sebagai ajang bertandang atau berkunjung ke tempat mahasiswa lainnya, tentu saja agar silahturahmi tetap terjalin dengan baik.
Selain lagu dan kopi, ada lagi atribut yang sering kami sandang di perantauan yaitu Kerawang Gayo atau identitas corak kain khas Gayo seperti tempat pensil, peci dan tas, serta baju “I Love Gayo”. Tas biasanya yang paling sering dipakai, bisa digunakan untuk pergi kuliah oleh mahasiswa wanita. Laki-lakinya lebih sering memakai peci dengan corak kerawang khas Gayo. Karena coraknya serta motifnya yang begitu khas bisa digunakan sebagai tanda pengenal. Saya pernah janjian dengan seorang teman yang berasal dari Gayo untuk menonton pertunjukan di alun-alun kota dan kami berjanji bertemu di area pertujukan, tetapi begitu sampai saya melihat banyak sekali penonton yang hadir menyaksikan acara tersebut, saya mulai binggung serta panik bagaimana saya bisa mengenali teman saya tadi, karena saya ingat teman saya mengatakan kalau dia memakai tas kerrawang, jadi saya bisa dengan mudah menemukan rekan saya. Mungkin orang Gayo yang tinggal di Gayo sendiri malu memakai tas kerawang khususnya anak muda Gayo.karena menganggap tas karawang ketinggalan jaman, tetapi di perantauan ada kebanggaan saat memakai nya.
Tak cukup dengan kerawang di dinding kamar kos-kosan pun selalu ada gambar daerah Gayo, seperti gambar Danau Laut Tawar, Pantan Terong walau hanya di printing dengan kertas biasa, wall paper laptop dan computer pun biasa nya menjadi tempat memamerkan daratan negeri antara ini. Bahasa yang digunakan pun tak lantas berubah, ketika bertemu dengan rekan sesama orang Gayo kami berbicara dengan bahasa daerah-bahasa Gayo-yang kadang membuat bingung orang disekeliling kami karena keherangan atau mungkin terkejut mendengar bahasa yang belum pernah di dengarnya, tidak seperti orang Gayo yang berada di daerah Gayo yang mulai pudar bahasa Gayonya dan lebih senang menggunakan Bahasa Indonesia agar kelihatan lebih ‘modern’ di mata orang lain. Bahkan kami mengunakan bahasa gayo yang telah lama tak di gunakan seperti keletek-sebutan untuk sandal.
Bukan sombong atau melupakan adat, ketika kita berada jauh dari tanah kelahiran, tak ada yang lebih menyenangkan bagi kami di perantauan selain bertemu dan berkumpul dengan sesama orang Gayo, bukan sukuisme atau rasis, tapi ini naluri kami tentang tradisi yang mengakar di batin, mungkin yang perlu kita risaukan justru masyarakat di tanah Gayo sendiri yang mulai ling-lung dengan ember-ember Gayo yang mulai jauh dari kehidupan, kata modern yang justru pelan-pelan menggeruguti khasanah jiwa Gayo, diperantauan kita haus dengan daerah kita, rindu pada derap langkah kuda saat berpacu, rindu pada saat berniru melawan hawa dingin, terkenang ikan depik yang tak kami cicipi di perantauan, jauh di mata, dekat di hati.(irwanputra88[at]gmail.com)
*mahasiswa asal Bener Kelipah di Bandung