Catatan: Muhammad Syukri*
URUSAN waspada dan berhemat, bagi warga di Dataran Tinggi Gayo bukan hal baru karena sudah menjadi bagian dari sebuah sistem kearifan lokal. Banyak ditemukan kalimat “keramat” yang menekankan kewaspadaan dini disejumlah buku, ditempat-tempat umum atau balai-balai pertemuan. Apa gerangan kalimat “keramat” itu? Bunyinya adalah: “Inget-inget sebelum kona, hemat jimet tengah ara.”
Makna kalimat “keramat” itu sederhana tetapi mendalam. Kalimat itu mengingatkan orang untuk selalu waspada dan hati-hati sebelum terjadi sesuatu. Terus, berhematlah ketika masih ada uang (bahan pangan). Benarkan, maknanya sangat dalam. Apabila maknanya dibalik, kira-kira maksudnya: kalau sudah terjadi kecelakaan (suatu peristiwa) tidak ada gunanya lagi hati-hati, dan kalau uang sudah habis tidak ada gunanya lagi berhemat.
Tanpa disadari, masuknya pengaruh globalisasi melalui televisi dan teknologi informasi sampai menembus ke jantung daerah terisolir, maka gaya hidup masyarakat juga berubah. Mereka mulai mengenal handphone keluaran terbaru, pakaian yang modis, kenderaan terbaru dan berbagai produk mewah lainnya.
Akhirnya gaya hidup itu membentuk pola hidup konsumtif, berlomba-lomba tampil dengan produk terbaru plus termahal. Kemudian, falsafah “hemat jimet tengah ara” yang merupakan karya besar para pendahulu kita hanya menjadi sebuah kalimat “manis” yang menempel dilembaran buku. Paling-paling, kalimat itu digunakan untuk menasehati calon pengantin dalam sebuah acara yang bernama: “beguru.”
Benarkah pola hidup konsumtif sudah menjadi “wabah” dalam keseharian masyarakat kita? Memang belum semuanya yang terserang “wabah” ini, namun kebanyakan sudah terdorong menikmati pola hidup konsumtif. Lihat saja, begitu iklan tentang produk terbaru muncul ditelevisi, hampir semua orang pada “ngiler” ingin segera membeli produk itu.
Tidak jarang, begitu menerima upah bulanan atau hasil panen, uangnya begitu cepat mengalir ke toko-toko yang menjual produk terbaru itu. Alhasil, bulan berjalan belum berakhir tetapi persediaan uang untuk belanja kebutuhan rumah tangga sudah terkuras. Apa yang terjadi? Banyak ditemukan orang yang terpaksa berhutang untuk membeli kebutuhan pokok, padahal mereka tergolong mampu.
Sebenarnya, dengan falsafah “hemat jimet tengah ara,” kita dapat mengelola uang dengan manajemen 31 amplop. Manajemen ini dimaksudkan untuk mengatur ketersediaan belanja bahan pokok harian untuk jangka waktu sebulan. Syaratnya hanya satu, “tahan dan tidak tergiur dengan produk terbaru atau barang mewah yang belum prioritas.”
Kiatnya bagaimana? Siapkan 31 lembar amplop. Setiap amplop ditulis tanggal 1 sampai tanggal 31. Dalam setiap amplop diisi uang dengan nilai nominal yang bervariasi. Sebelumnya, harus disepakati dulu dengan isteri/suami bahwa untuk uang membeli lauk pauk pada tanggal 1 harus diambil dari amplop yang bertulis tanggal 1, untuk tanggal 2 dari amplop yang bertulis tanggal 2, dan seterusnya.
Bagaimana mengatur jumlah uang yang akan diisi kedalam 31 amplop itu? Mudah sekali, begitu menerima upah bulanan atau uang penjualan hasil panen, maka yang harus dipisahkan pertama sekali adalah biaya untuk tagihan kredit (rumah, kenderaan, hutang dll), air, listrik, telepon (pulsa), BBM, uang jajan anak-anak, biaya sekolah, harga beras untuk sebulan, dan cadangkan untuk kebutuhan darurat (tak terduga, misalnya biaya berobat atau kedatangan tamu).
Sisa dari kebutuhan primer itu, berapapun jumlahnya, dialokasikan menjadi belanja bulanan atau belanja lauk pauk. Belanja bulanan dimaksudkan untuk membeli kebutuhan harian atau tepatnya urusan dapur. Mulailah mengisi uang dalam amplop bertanggal 1, bisa diisi Rp.50 ribu atau lebih. Dengan uang Rp.50 ribu itu maka menu makan pada hari itu dapat berbentuk ikan basah, sayuran, tempe dan lain-lain.
Diperkirakan, menu yang dibeli pada tanggal 1 masih tersisa, maka pada amplop bertanggal 2 cukup diisi Rp.20 ribu. Ini artinya, menu pada hari itu cukup dengan telor ditambah sisa menu yang kemarin. Boleh jadi, pada amplop tanggal 15 diisi Rp.100 ribu, ini artinya menu pada tanggal itu adalah ayam plus sayuran dan buah. Barangkali merasa kurang dengan menu tersebut, solusinya adalah memancing atau menanam sayuran dihalaman rumah, bukan mengambil jatah tanggal berikutnya.
Setelah dibelanjakan dengan uang yang tersedia dalam amplop itu, mungkin tersisa sebesar seribu atau dua ribu maka uang itu dimasukkan kembali dalam amplop tersebut. Uang sisa itu akan menjadi saving belanja lauk pauk untuk bulan berikutnya, tetapi tidak digunakan untuk bulan berjalan. Hal ini dimaksudkan agar yang memasak dapat memaksimalkan menu yang ada serta menghindari makanan yang mubazir.
Meskipun jumlah amplop itu sebanyak 31 lembar, tetapi yang berisi uang disesuaikan dengan jumlah hari dalam bulan berjalan, Misalnya, pada bulan Februari, jumlah amplop yang berisi uang belanja lauk pauk hanya 28 lembar. Pada bulan September, jumlah amplop yang berisi uang belanja sebanyak 30 lembar, dan pada bulan Desember diisi uang untuk 31 lembar amplop itu.
Setelah menerapkan pengaturan belanja bulanan secara terencana seperti pola ini, meskipun penghasilan pas-pasan ternyata setiap akhir bulan akan tersisa sedikit uang untuk keperluan saving (tabungan). Inilah kira-kira salah satu implementasi dari falsafah “hemat jimet tengah ara.” Layak untuk dicoba, semoga berhasil!. (syukritakengon[at]gmail.com)
*Pemerhati Budaya, tinggal di Takengon