Oleh : Zuliana Ibrahim*
SEDIANYA adalah langit malam, selimut yang menghantar mata dalam kantuk untuk bersegera menemu lelap. Namun begitu, meski telah lama berjarak. Mar, masih setia bersama tempias lampu menunggu di persimpangan jalan. Tak seberapa jauh dari tempatnya berdiri, ada sekelompok pemuda bermain dam di gardu sambil menghisap rokok. Asap putihnya menyatu dengan cahaya lampu gardu yang temaram. Malam itu, dingin yang berjibaku dengan desau angin dari rimbun pohon beringin. Mar, wanita serautkan gelisah. Gelisahnya membentur detak jarum jam, sampai perigi yang terdalam. Ia menisbahkan rindu, pada waktu yang kiranya mampu mengulang kisahnya lalu.
“Anan pulanglah, jangan terlalu berharap!” Teriak seorang pemuda di antara mereka yang terlihat membalutkan tubuh dengan sarung usang bercorak kotak-kotak. Mereka sesekali tampak tertawa seraya menyeruput kopi pekat dengan asap yang mengepul. Namun Mar, tak mengubris pinta lelaki tersebut. Ia masih asyik menerawang, dalam khayalnya yang berjuntai-juntai.
Mar, wanita tua berumur kurang lebih enam puluh lima tahun. Suatu ketika, saat berusia dua puluh tahun bahagia pun menghampiri Mar. Abdul melamarnya, menjadi pendamping hidup. Sungguh, berbungalah hati Mar kala itu. Tak menyangka Bahar akan menjadikannya istri, kemudian dikaruniai seorang putra yang begitu berbakti. Memang, tiada yang salah dalam kehidupan Mar. Ia menjalani hidup, dengan sebagaimana mestinya. Sebagai petani kopi yang sukses, Mar dan suaminya mampu berangkat haji sampai tiga kali. Anaknya juga sukses, meraih prestasi dan meneguk pendidikan sampai sarjana. Kini telah bekerja pula sebagai salah satu dewan di kursi wakil rakyat.
Sepeninggalan mendiang suaminya. Saban hari, menjelang usia tua. Mar Kerap menghabiskan waktu di salah satu kebun kopi miliknya. Ia memilih tinggal di gubuk kecil di kebunnya. Ardi, anak semata wayangnya tak mengerti dengan jalan pikir Mar. Sebab Mar tidak pernah ingin tinggal ditemani anaknya. Rumahnya saja kini tak ada yang menempati, dan Mar sendiri yang akhir-akhir ini menghalangi Ardi untuk sering mengunjunginya.
“Bu, ikutlah denganku!” Ardi berusaha meluluhkan hati Mar, ibunya.
Mar, hanya diam menanggapi. Seraya meramu mangasnya, ia sama sekali tak hirau pada Ardi. Anaknya itu pun tak berhenti berusaha. Ia lantas bergegas memasukkan lipatan baju ibunya dalam tas.
“Bu, ibu tahukan? aku sudah mendaftarkan ibu untuk naik haji bersamaku dan kita dapat panggilan Bu, kita akan berangkat tahun ini.”
Mar, masih dalam diam. Ia memilih sibuk mengunyah halus sirih yang ada di mulutnya. Ardi pun mengambil sandal tua ibunya, mengenakannya pada kurus telapak kaki Mar. Ardi sempat heran melihat tingkah ibunya, karena tak biasa ibunya seperti ini. Ibunya biasa akan tegas menolak ajakan anaknya, namun kali ini ia hanya terpaku mengikuti arus waktu.
Gubuk seluas tiga kali tiga itu pun dikunci Ardi. Ardi menggandeng ibunya, mengajak ibunya untuk naik ke mobil. Ada letup bahagia dari hati Ardi, akhirnya ibunya yang begitu ia sayang itu pun mau mengikuti ajakannya. Sepanjang perjalanan menuju kota, Mar tak pernah berbicara. Ia seperti menikmati saja perjalanan bersama anaknya. Ardi pun tak jua ingin mengganggu tenang hati ibunya. Ia pun memilih diam dan fokus menyetir sampai menuju rumahnya.
* * *
Hari bergulir dengan kesunyian yang merangkul, adalah keseharian yang kini menjadi lingkup hati Mar. Mar yang berusaha menutupi gundah hatinya, nyatanya tak mampu lagi menahan derit ragunya. Ia menghabiskan waktu untuk membaca Al-qur’an dan hadis. Lebih memilih mendekatkan diri pada Ilahi.
“Di, aku tak ingin pergi haji lagi!” Pinta Mar tiba-tiba, mengejutkan Ardi.
“Kenapa Bu?” Ardi menanggapi
Mar, menatap dalam wajah putranya tersebut. Seperti ada yang ingin ia ungkap, namun ia justru enggan mengulurkan jawab.
“Bukankah Ibu pernah mengatakan padaku, Ibu ingin pergi haji untuk yang terakhir kali?”
Mar lagi-lagi memutuskan untuk diam, kadang membuat Ardi geram. Ia semakin risih dengan pinta ibunya. Namun ia mencoba meredamkan gundah, tak baik menghakimi orang tua. Biarlah, mungkin sebentar lagi ibunya akan kembali berubah pikiran.
“Di, aku tak ingin pergi haji lagi!” Kembali ibunya bersuara. Ardi tak tahan, ia pun meninggalkan ibunya, ia beranjak pergi ke kamar.
Detak jam dinding, menelungkupkan air mata Mar. Di rumah yang sepi itu, Mar tak ingin menebarkan aroma kegaduhan. Ia bangkit dari kursi, menutup Al-qur’an yang ia baca. Memandang dari bening jendela, ia baru ingat ia harus menunaikan shalat ashar. Mar memanjatkan doanya yang ia rasa letih ini sudah menjadi ampas hidupnya. Berhaji sampai tiga kali sudah sangat ia syukuri, itu juga karena hasil usaha kerasnya bersama suaminya yang rutin dan lihai berkebun kopi.
“Bu, keluarlah sebentar! Aku ingin bicara.” Ardi memanggil dari balik pintu kamar. Mar pun bersegera menggusap air bening yang menggenang di ceruk matanya. Ia lepaskan mukena tuanya dan keluar dari kamar.
“ Apakah ada hal yang mengganjal di hati Ibu? Katakanlah padaku.”
“Maafkan ibu, Nak! Tak tuntas memberimu bahagia.” Ardi kembali dikejutkan dengan kata-kata ibunya.
“Apa maksud Ibu? Sungguh, akulah yang ingin menganyam bahagia dalam hati Ibu!”
“Di, aku tak ingin pergi haji lagi!” Mar kali ini tegas, dia tampak lebih baik dari pada sebelumnya.
“Beri aku alasan, Bu!”
Mar, mengelus dada. Seperti merasakan sakit, namun sakit yang lahir dari dalam batin. Ia ingin anaknya mengerti tentang risalah yang akhir-akhir ini menganggu, sebab resahnya beradu dengan rindu.
“Aku memang rindu pada Baitullah, rindu pada Mekkah dan Madinah. Aku rindu menunaikan shalat di depan Ka’bah atau sekadar duduk di tenda jamaah. Aku rindu.”
“Lantas mengapa Bu?” Ardi masih tak paham.
“Aku ingin pergi haji dari hasil kebunku Di, aku ingin berhaji dengan jerihku.”
“Maksud Ibu?” Ardi mencoba memahami. Mar, diam tak berkutik. Ia kembali membuka Al-qur’an, melafalkan ayat demi ayat dari surat Ar-Rahman.
* * *
Belakangan, rumah Ardi tampak lebih sepi. Ardi dan keluarganya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Sedang Mar, sudah kurang perhatian. Mar tak bisa menyangkal, bahwa ia kesepian. Maka ia bulatkan tekad, ingin kembali ke gubuk tua di kebun kopi miliknya.
Dan malam itu dengan hujan yang turun lebat, entah mengapa resah semakin menjadi-jadi dalam labirin hati Mar. Ia gelisah, gelisahnya serangkai dengan petir yang menyambar ranting-ranting pepohonan.
Tepat pukul 22.00 malam, rumah Ardi didatangi oleh sekelompok aparat kepolisian. Ardi dibawa dengan paksa, Mar pun hanya memandang dari balik jendela kamarnya. Ada yang sulit ia tafsir, namun benarlah saja. Meski sejak awal Mar sangat bangga pada Ardi atas kesuksesannya, namun Ardi malah terjerumus dalam buaian mahligai dunia yang penuh godaan. Ardi kini mendekam di balik jeruji, karena ia berani melahap harta milik negara. Mar, sejatinya sudah lama berkalung sedih dan ini tak berkesudahan.
* * *
Suatu ketika di siang beranjak petang. Mar, pergi berbelanja ke kota. Ia dapati di salah satu toko, ada tayangan di televisi tentang hidup seorang wakil rakyat yang membuat rakyat jadi melarat. Mar, terpaku. Ardi jadi bayangan yang membuatnya takut. Sejujurnya Mar sangat bahagia, Ardi mengatakan ia akan diberangkatkan kembali oleh anaknya tersebut untuk naik haji dari hasilnya bekerja sebagai wakil rakyat.
Mar, di malam dengan temaram lampu jalan. Masih menunggu anaknya untuk pulang. Ia ingin melunaskan asa, minum segelas kopi panas bersama anaknya di gubuk tua miliknya. Mar pula di tengah desau angin yang rindang, membisikkan selarik doanya yang lirih. “Ya Rabb, jamahlah doaku. Aku ingin kembali mengunjungi ka’bah-Mu.”
Musim Haji, Oktober 2012
*Redaktur Budaya di Media Online Lintas Gayo