SETELAH beberapa hari pasca kepulangan para peserta International Conferens Kerajaan Linge Gayo Kingdom (ICKLGK-I) yang berlangsung 7-9 Oktober di Malaysia, ternyata mengundang banyak kontroversi di kalangan masyarakat, mahasiswa khususnya. Hal ini terlihat dari banyaknya respon yang menganggap acara ini tepat di adakan di luar negeri dan ada pula yang kurang setuju diadakan di Malaysia.
Selain melalui jejaring sosial ada juga yang melalui pembicaraan langsung melalui handphon. Hemat saya, terlepas dari kontroversi acara tersebut, seharusnya kita mengapresiasi seluruh elemen yang telah melakukan aksi nyata tersebut untuk mengenalkan, menggali dan mempromosikan Gayo pada dunia internasional.
Bayangkan saja, tanpa dukungan pemerintah (baik Gayo maupun pemerintah Aceh, kecuali Gayo Lues) acara tetap berlangsung dengan lancar dan sukses. Sebuah kerja yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang benar-benar cinta dan peduli terhadap Gayo. Jelas bukan basa-basi yang basi atau omong pesot pecundang tengik.
Menyangkut ini saya jadi teringat sebuah cerita yang dapat dianalogikan menjadi sebuah hikmah yang dapat kita resapi. Pada zaman dahulu kala, ada seorang ayah dan anak yang ingin menjual kuda ke pasar. Diawal perjalanan, sang ayah dan anak menaiki kuda sekaligus hingga tiba disuatu tempat. Salah seorang ibu berkata “malangnya kuda itu, ia merasa sangat berat dinaiki dua orang”. Mereka berdua mendengar perkataan tersebut kemudian ayahnya turun dan anaknya yang menunggangi. Beberapa kampung telah mereka lalui hingga bertemu lagi dengan kerumunan orang. Salah seorang mengatakan “durhakanya anak tersebut membiarkan ayahnya yang jalan sementara ia menunggangi kuda”.
Mendengar perkataan tersebut, si anak turun dan meminta ayahnya untuk naik menunggangi kuda. Merekapun melanjutkan perjalanan hingga bertemu kerumunan orang berikutnya dan salah seorang diantara mereka berkata “tega sekali orang tuanya, membiarkan anaknya berjalan kaki”. Mendengar perkataan orang ini sang ayah dan anak merasa bingung harus bagaimana lagi mereka melanjutkan perjalanan, setelah berembuk dengan si anak, ayah ini memutuskan untuk tidak satupun menunggangi kuda dan mereka berdua berjalan kaki sambil memegang kekang kuda.
Ketika mendekati pasar, mereka kembali bertemu dengan seseorang dan orang itu berkata, “Mengapa kalian berdua tidak memanfaatkan kuda itu, untuk apa kalian jalan kaki jika ada kuda yang bisa dinaiki ?”
Cerita di atas hanyalah permisalan bahwa apa yang kita lakukan tidak akan bisa menyenangkan semua orang. Saya terkesan apa yang dikatakan oleh Sabela Gayo dalam sambutanya pada pembukaan acara International Comference on Kerajaan Linge Gayo Kingdom (ICKLGK-I): “do little better than never (lebih baik melakukan hal yang kecil dari pada tidak sama sekali)”, ditambah komentar Fikar W Eda “berbuatlah sesuatu untuk Gayo, karya Gayo adalah bangsa yang penting di Aceh”.
Pikiran saya menjadi lebih fokus dan kuat dengan statemen kedua senior saya itu. Terlebih setelah tiba di Banda Aceh dan terlibat banyak diskusi dengan sejumlah mahasiswa yang berkebetulan tidak berkesempatan hadir disana. Seperti ilustrasi cerita di atas, yang terpenting bagaimana sampai ditujuan, bukan dengan atau tanpa mengendarai apa. Wallahu bissawab!(zruhmi[at]yahoo.co.id)
*Peserta ICKLGK-I/Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh