Catatan yang Tertinggal di Hari Kurban

MATAHARI masih enggan menampakkan kharismanya saat Takbir berkumandang di setiap Masjid, memecah keheningan pagi. Aku bergegas ke Masjid kampungku, Masjid Raudhatul Jannah. Tahun ini aku tak ingin melewatkan kesempatan untuk melihat penyembelihan hewan kurban.

Kegiatan di Masjid sudah ramai, ada anak-anak yang berlarian senang karena berkumpul dengan teman-teman sebayanya, ada yang sedang membersihkan daging-daging kurban, menguliti hewan kurban yang baru saja di sembelih, ada yang sibuk “membujuk” kerbau-kerbau agar bersedia ditambatkan di tempat penyembelihan yang telah disediakan, sebagian hanya duduk atau berdiri sambil mengobrol dengan sesama atau memperhatikan hewan yang akan di sembelih.

Letak Masjid kampungku berada di tengah-tengah rumah penduduk, dengan jalan aksesnya yang hanya sekitar 2 meteran. Halaman Mesjid kami juga kecil, karena sudah di bangun untuk TK dan TPA tempat anak-anak kecil mengaji. 3 buah mobil saja “seliweran” sudah membuat halaman Mesjid sesak, ditambah lagi di depan Mesjid di dirikan tenda untuk memotong daging kurban dan kumpulan warga yang ingin menyaksikan hewan kurbannya di sembelih.

Dan seperti biasa dimana ada keramaian, biasanya pedagang keliling langsung mencari tempat strategis untuk menggelar dagangannya. Ia memilih tempat di gerbang masuk Mesjid dari arah Timur, hal ini membuat akses mobil yang mengangkut hewan menjadi terhambat. Setelah diberikan peringatan oleh panitia kurban iapun memindahkan gerobak dagangannya. Keran rezeki tidak akan tertutup hanya karena ia memindahkan letak gerobak dagangannya, pikirku.

Darah hewan kurban “membanjiri” sebagian pekarangan Masjid, juga baju Imam yang bertugas memotong hewan kurban. Hal itu tidak mempengaruhi pikiranku, aku terlalu fokus melihat beberapa hewan yang “mengamuk” ketika hendak disembelih, “meronta-ronta” ingin lepas dari ikatan tali temali yang menjeratnya. Apakah ini ada kaitannya dengan ikhlas atau tidak ikhlasnya para pengurban? Aku tidak tahu jawabannya.

Tak lama panitia kurban mengumumkan kerbau urutan nomor 14 akan disembelih, aku sudah siap dengan kameraku. Beberapa orang di sekitar mulai melafadzkan Takbir, aku mengikuti dalam hati. Aku merasa sedikit gelisah karena ini akan menjadi kali pertama kulihat secara langsung Imam menggorok leher hewan kurban. Dan satu hal, sebenarnya aku tidak bisa melihat darah yang mengalir dari organ tubuh.

Dan benar saja, ketika sayatan pisau yang telah terasah tajam itu berhasil memotong empat urat leher, yaitu urat tenggorokan, urat pencernaan, dan dua urat nadi kerbau tersebut, seketika itu aku merasa waktu disekitarku berhenti sekejab, yang terlukis di benakku hanya kucuran darah kerbau yang berada di depanku. Jariku yang berada di tombol shuttle tidak bergerak. Kutelah ludah pahit yang memenuhi rongga mulutku, kepalaku terasa berat dan berdenyut keras. Kucoba menahan rasa sakit yang menjalar kepalaku, namun terlalu berat. Badanku gemetaran.

Yang terbayang di benakku masih saja tentang darah yang mengalir deras dari leher kerbau tersebut. Bapak ku yang paham bahwa aku tidak bisa melihat darah langsung membawaku menjauh, duduk di balai-balai TPA tempat anak-anak mengaji. Sempat terlintas dipikiranku, lalu bagaimana keadaanku jika melihat pembunuhan manusia? Sedangkan melihat hewan disembelih saja aku tidak sanggup. Aku langsung mengusir jauh-jauh pikiran tersebut. Setelah merasa agak baikan, aku melangkahkan kaki menuju rumah setelah sebelumnya sempat merekam suasana di sekitar Masjid.

Dalam perjalanan pulang aku sempat berpikir, bukankah menyenangkan jika di setiap rumah memiliki menu utama yang sama. Dan bukankah menyenangkan membayangkan binar mata yang dimiliki oleh seorang anak kecil hanya karena merasa senang ibunya hari ini memasak daging untuk lauk makan siangnya. Dan hal menyenangkan lainnya adalah membayangkan kedua orang tua kita telah selesai mengerjakan rukun-rukun haji. Semoga, kedua orangtuaku memiliki kesempatan itu.

Ah… kurban telah berlalu. Catatan yang tertinggal ini akan terus menjadi bagian yang tersisa dalam catatan ku pada Idul Adha 1433 H. Sampai jumpa pada Idul Adha 1434 H.(Ria devitariska)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.