MENURUT hasil Ujian Kemampuan Awal (UKA), Hasil keluaran PLPG I, II, dan III serta Uji Kemampuan Guru (UKG) Provinsi Aceh secara umum dan Aceh Tengah khususnya menunjukkan bahwa mutu pendidikan masih jauh dari harapan. Sebagai ujung tombak pendidikan adalah guru karena guru/dosen menjadi motor yang membidani lahirnya peserta didik atau mahasiswa yang bermutu.
Sangat kecil kemungkinan peserta didik/mahasiswa berkualitas bilamana sipendidik sendiri belum memperbaiki diri kea rah yang berkualitas. Indikatornya adalah dari pelaksanaan Pendidikan dan Latihan Profesional Guru I, II, dan III se Indonesia dan ternyata peserta (guru TK, SD, SMP dan SMA) dari Kabupaten Aceh Tengah dengan jumlah 363 yang lulus hanya 144 (dalam tiga tahap) dan tidak lulus mencapai 219 orang. Yang lebih ironisnya ada beberapa orang kepala sekolah yang tidak lulus padahal setiap kepala sekolah adalah orang yang mamapu dan berwawasan luas dalam berbagai hal bidang pendidikan (kalau tidak bukan seorang kepala sekolah yang bermutu) melainkan kepala sekolah yang hanya mampu menyulap laporan sekolah sehingga Nampak manis di permukaan pejabat. Peserta yang tidak lulus menjadi orang waiting list dalam waktu yang tidak ditentukan. Ada apa dengan guru? Ada beberapa gambaran yang perlu untuk direnungkan, sebagai berikut:
1. Mutu Masukan.
Profesi guru adalah sebuah profesi yang mulia dan terkesan dimata masyarakat adalah orang yang selalu ditiru dan digugu. Maka, sebagai calon guru diharapkan orang yang benar-benar berbakat menjadi guru bukan karena asal jadi guru (peluang menjadi PNS banyak di guru) sehingga berpengaruh besar kepada hasil ke depan. Lalu bagaimana mencari mutu masukan yang baik untuk menjadi guru, ada beberapa hal yang perlu dilakukan, sebagai berikut: 1) mahasiswa FKIP atau Tarbiyah wajib mengikuti tes minat bakat menjadi guru, 2) menerima profesi guru sebagai bagian dari kehidupan, 3) mampu menerapkan strategi yang tepat, dll.
2. Aspek finansial dan sarana.
Bagaimana bisa bermutu kalau finansial (biaya) nya terbatas dan sarana belajarnya berkekurangan/tidak ada. Satu sisi guru bahasa Inggris ingin siswanya melakukan praktik keterampilan mendengar (listening skill) namun kemana mau dilatih sementara laboratorium bahasa Inggris tidak punya. Secara akal sehat bahwa ucapan bahasa Inggris perlu mendengarkan ucapan penutur asli melalui sarana yang ada. Sebagian banyak sekolah-sekolah baik tingkat SLTP dan SMA saat ini belum memiliki sarana yang dimaksud sebagai penunjang keberhasilan pembelajaran sementara dari pihak dinas pendidikan menuntut keberhasilan pendidikan dengan nilai yang fantastik alias lulus murni 99, 99%. Apakah mungkin hasilnya demikian? Hal yang yang mustahil bahwa siswa yang sekolah di tempat terpencil nilai bahasa Inggrisnya 7 dan 8 kalau tidak dibantu oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Namun kenyataannya demikian adanya.
3. Mutu Proses Transformasi.
Transformasi merupakan olah-alih pengetahuan melalui proses pembelajaran yang dilakukan guru-murid atau murid-guru. Akan tetapi kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran hanya berlangsung satu arah (guru ke siswa) yang sering disebut sebagai teacher centre. Padahal guru sering dilatih bagaimana mengajar yang baik akan tetapi setelah pulang dari pelatihan model pengajaran masih tetap seperti sedia kala. Ketidakmampuan guru dalam mengolah proses transformasi pembelajaran maka berakibat kepada kualitas peserta didik ke depan. Mereka hanya mampu menerima berupa tumpukan pengetahuan tanpa pengolahan yang baik. Sebaiknya, proses pendidikan itu berlangsung melalui permasalahan agar anak didik mampu mengolah data yang ada.
- 4. Mutu Keluaran.
Anak didik akan merasa senang bilaman selesai/tamat sekolah SMP-SMA selama 3 tahun tepat, mereka tidak mementingkan apakah bermutu atau tidak yang penting lulus, selesai perkara. Tentu sebagai mesin pencetak bahwa si anak menjadi pinter atau tidak adalah guru semata-mata. Jadi, kembali kepada guru bagaimana mereka mengajar, melatih, mendidik dan membimbing siswa. Dengan kata “wajar” (bukan wajib belajar) bahwa lulusan hanya mampu bersaing dan bersanding di universitas lokal dalam sebuah Kabupaten saja.
Ada yang berhasil satu atau dua orang ke universitas negeri lewat jalur tes (bukan jalur pengiriman), sebagian juga ada yang di luar kabupaten namun universitas swasta atau yayasan dan yang lebih tragis lagi ada calon guru tidak mengikuti tatap muka/perkuliahan serta mengikuti prosedur akademik namun punya tanda tamat yang sah. Kemudian tes menjadi guru-lulus. Itulah mutu keluaran yang samasekali kurang menguntungkan bidang pendidikan kita saat ini. Apabila masalah ini dibiarkan berlarut-larut maka sudah barang tentu akan muncul pendidikan yang mati suri.
Solusinya
Perbaiki mutu guru, latih guru untuk mengajar sebaik mungkin, turunkan/sebarkan pengawas yang benar-benar memberikan contoh yang benar-benar bermutu dan mampu mengajar-bukan pengawas yang mahir mencoret-coret perangkat mengajar guru (seperti: Silabus, RPP, Prota, Prosem, Kalender Pendidikan, dll). Kalau hanya itu yang mampu dilakukan oleh pengawas maka Insya Allah mutu pendidikan di daerah kita ini mencapai seperti gambaran yang pernah dipaparkan oleh salah seorang anggota DPR RI asal Aceh yakni Bapak Farhan Hamid, bahwa mutu guru propinsi Aceh dalam posisi ke 28 (di bawah Propinsi Papua dan Maluku).
Padahal biaya pendidikan dari hasil pembagian Migas Aceh jauh melebih propinsi yang tersebut di atas. Kalau demikian, mari kita berfikir bersama bagaimana untuk meningkatkan kualitas guru dengan sebaik mungkin sehingga mutu pendidikan di Aceh akan benar-benar membaik.(ihsandarul[at] gmail.com)
*Guru SMAN 1 Takengon, Dosen STAIN GP dan Dosen PPs UT Pokja Aceh Tengah
Perlu juga menciptakan prakondisi daerah dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, sepert; komitmen pemda (dengan renstra yang “SMART”), komitmen Pendidik dan Tenaga Kependidikan, dan upaya peningkatan kepedulian dan partisipasi masyarakat. Insya Allah kita akan maju dan bermutu.