Catatan Aceh yang Tercecer; Acehkah Gayo?

Oleh M Adli Abdullah

MUNGKIN berlebihan di tengah rakyat Aceh jika saya mengatakan ada persoalan keberadaan suku bangsa Gayo berkait pesisir. Pengalaman ketika saya mendampingi – Prof Dr Nabil Chang Kuan Lin dari National Cheng-Chi University Taipe, Taiwan dalam lawatannya ke beberapa situs sejarah di Pasai dan Peureulak (1-4 Februari 2010) juga dalam satu seminar di Lhokseumawe beberapa hari lalu, ada peserta yang mempertanyakan apa benar suku bangsa Gayo itu orang Aceh atau Acehkah Gayo?

Permasalahan yang dihadapi oleh orang Gayo juga dialami orang Pidie. Saya tidak berargumen mengenai status itu. Sebab dari perspektif sejarah tidak ada bukti Aceh, Gayo dan Pidie terpisah. “Sebutan” itu adalah trik adu domba oleh kolonial Belanda untuk menghancurkan pejuang Aceh. Dan Belanda sukses menanam pemahaman masyarakat Aceh pesisir bahwa orang Gayo adalah suku Batak 27 dan orang Pidie suku bangsa yang tidak bisa dipercaya. Cara ini ditempuh oleh Belanda untuk mengurangi pengaruh Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman yang sudah menguasai sebagian besar Aceh Besar.

Belanda melalui kaki-tangannya mengatakan Teungku Chik di Tiro dan pengikutnya yang sebagian besar para ulama di Pidie seperti Teungku Chik Pante Kulu, Teungku Chik Pante Geulima, Habib Samalanga sebagai “pancuri”. Istilah yang terkenal kala itu yaitu “Ulama di Pidie sa lagee pancuri di Aceh Raya”. Namun rakyat Aceh tidak terpengaruh dengan tipu muslihat Belanda. Rakyat siap syahid bersama Teungku Chik di Tiro dan pengikutnya..

Renggali dan Seulanga
Masyarakat Aceh pesisir Gayo, mengutip istilah Yusra Habib Abdul Gani (Serambi, 2 Februari 2008) “bak bunge renggali (Aceh Gayo) dan Seulanga (Aceh Pesisir).” Russel Jones dan Hill, A.H mengatakan suku bangsa Gayo adalah penduduk asli negeri Pasai yang lari ke hulu sungai Peusangan karena tidak mau masuk agama Islam (Russel Jones, 1999; Hill, A.H 1960). Kisah ini bermula saat Syeikh Ismail dari Mekkah datang ke Samudra Pasai dan mengislamkan Meurah Silu yang kemudian bergelar Malikussaleh. Kemudian Syeikh Ismail meminta Meurah Silu mengumpulkan semua hulubalang dan rakyat Samudra Pasai untuk memeluk agama Islam.

Selain Meurah Silu, saat itu juga memeluk Islam Tun Seri Kaya yang bergelar Sayid Ali Ghiyatuddin dan Tun Baba Kaya bergelar Syeikh Semayamuddin. Sedangkan sebagian penduduk yang tidak mau masuk Islam mengungsi ke pedalaman hulu Peusangan nama lain dari Negeri Gayo. Ini adalah catatan sejarah yang paling klasik, walaupun mengenai kesahihan cerita ini perlu kajian komprehensif.

Begitu pun, dalam sejarah diaspora puak Melayu disebutkan bahwa suku bangsa Gayo berasal dari golongan Melayu Tua yaitu bangsa yang pertama sekali menduduki negeri Aceh. Hal ini dibuktikan dari penemuan pakar archeolog baru-baru ini di kampung MendalĂŠ, dekat tepi Laut Tawar, sejak 3000 tahun lalu sudah ada peradaban manusia, bahkan di daerah Serbajadi berdekatan dengan Temiang diperkirakan 6000 tahun lalu sudah ada peradaban manusia. Kedua lokasi itu sebagai wilayah orang gayo.

Sekarang, suku bangsaa Gayo bermukim pada lima wilayah. Pertama, Gayo Laut mendiami di sekitar Danau Laut Tawar. Kedua, Gayo Deret mendiami Linge Isaq. Ketiga, Gayo Lues di wilayah Blang Kejeren Kabupaten Aceh Tenggara. Keempat, Gayo Sumamah mendiami wilayah Serba Jadi Sembuang Lukup Kabupaten Aceh Timur. Kelima, Gayo Kalul mendiami Pulo Tiga di bagian Timur Kabupaten Aceh Timur. Ajaran Islam pada waktu itu telah berkembang di Gayo dan telah terbentuk Kerajaan Islam Linge. Adapun penyesuaian adat istiadat dengan ajaran Islam berlangsung secara berangsur-angsur ( Dr. Haji Roeslan Abdulgani:1980)

Peran Suku bangsa Gayo sangat besar bagi penyebaran Islam dan membangun kerajaan Islam Aceh Darussalam. Maka tidak asing dalam catatan sejarah Aceh sering kita jumpai gelar “Meurah” untuk melambangkan bahwa raja itu berasal dari bahasa Gayo seperti Meurah Sinubung, Meurah Silu, Meurah Pupuk, Meurah Bacang, Meurah Putih dan Meurah Item, Meurah Jernang. Semua mereka itu adalah anak anak raja Lingga yang menjadi raja di pesisir timur dan barat Aceh. Bahkan Meurah Johan anak Adi Genali yang dari kerajaan Lingga adalah pendiri kota Banda Aceh (Sejarah Kota Banda Aceh:1988). Meurah Johan adalah Sultan Aceh pertama setelah berasil mengalahkan kerajaan Hidu Indra Purba bersama gurunya Syeikh Abdullah Kan’an dan menjadi Sultan Acheh Darussalam, Jum’at, 1 Ramadhan tahun 601-631 H (1205-1234 M) dengan gelar Sultan Alaidin Johan Syah (A Hasjmy: 1976)

Cetak uang di Gayo
Masa Sultan Alaidin Riayatsyah Al Qahhar (1537-1565M) suku bangsa Meurah Johan digolongkan dalam Suku (Sukee) Lhee Reutoh yang diumpamakan aneuk drang, yang berarti seperti pohon padi yang tumbuh kembali setelah musim panen. Penggambaran suku Gayo ini sangat dominan di Aceh dulunya dibandingkan dengan Sukee Ja Sandang (berasal dari India) digambarkan sebagai jeurah haleuba, sukee tok bate (campuran, kaum pedagang) na bacut-bacut, sukee imuem peut (kaum ulama) yang gok-gok donya”. Hadih maja ini sering dilantunkan oleh penyanyi Aceh yakni Rafly. Sukee berarti suku sehingga hadih maja ini menggambarkan beragam etnik di Kerajaan Aceh Darussalam yang disatukan oleh Sultan Alaidin Riayatsyah Al Qahhar (1537-1565) dalam bingkai keislaman.

Sultan Aceh memberi hak penuh kepada raja-raja di seluruh Aceh untuk mengatur negerimasing-masing. Ini termasuk dengan memberi hak kepada Reje Linge mencetak uang Aceh [Ringgit] yang dipercayakan kepada ”Kupang Repèk” di Takèngon, khusus untuk keperluan hantaran uang dalam perkawinan dan transaksi perdagangan lokal. Hak ini diberi, atas pertimbangan sarana transportasi dan komunikasi yang sukar dijangkau pada masa itu. Reje Linge, akan melaporkan jumlah uang yang dicetak ke istana di Banda Aceh (Yusra Habib Abdul Gani: 2008).

Basis perjuangan Aceh
Hubungan bunge renggali —seulanga bagaikan tubuh yang satu yang dibangun dalam bingkai keislaman. Ketika perang Aceh-Belanda yang dimulai pada 26 Maret 1873, Belanda kewalahan menghadapi mujahid Aceh walaupun laut telah diblokade. Pada tahun 1902 Snouck Hurgronje membuat laporan kepada Belanda di Amsterdam bahwa untuk dapat menduduki dan menguasai kerajaan Aceh tidak cukup menguasai wilayah pesisir tatapi wilayah pedalaman Aceh yang berada kawasan Bukit Barisan yakni Gayo dan Alas untuk memutuskan hubungan logistik pejuang Aceh di pesisir.

Kawasan ini, menurut Snouck menjadi basis logistik bagi pejuang Aceh menyerang Belanda setelah membumihanguskan Batee Iliek (Bireuen sekarang) pada tahun 1901 oleh Van Heutz, maka diperintahkan kepada Overste GCE Van Daalen untuk menyiapkan pasukannya melakukan operasi di Gayo dan Alas. Tujuannya adalah menyerang pejuang pejuang Aceh disana yang dimulai pada 8 Februari 1902-23 Juli 1904. Dalam perang ini Van Daalen berucap “menyerah atau semua mati.” Van Daalen dan pasukannya melancarkan operasi di dataran tinggi Aceh selama dua tahun. Akibat operasi sapu bersih ini menyebabkan paling kurang 2.902 pejuang Aceh di Gayo dan Alas syahid. Sekitar 1.159 korban perang ini terdiri dari perempuan dan anak-anak.

Ketika GAM bergolak, tanah Gayo kembali jadi basis dan tempat berlindung ketika ratusan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini terdesak di Aceh Utara. Mereka berlindung di rimbunan Renggali sebagai jantungnya Seulanga. Maka jika ingin melihat budaya dan kait kelindan Aceh dalam sejarah, maka renggali adalah titik permulaan. Pertanyaan, mengapa hingga kini masih dijalankan politik adu domba yang memisahkan Gayo dengan Aceh?

Riwayat sejarah begitu jelas dan dimulai dari tengah. Jika sejarah Aceh dimulai dari Renggali, sejarah pesisir pun terkuak. Di sinilah mengapa kekentalan Aceh pada awalnya bermula dari Bumi Antara itu, karena wilayah itu benteng terakhir Aceh, dan kebudayaan otentik yang tersisa. Perlu diperhatikan persepsi dan imajinasi terhadap identitas di Aceh sudah diaduk-aduk atasnama sejarah perang dan sejarah adu domba. Sehingga kerikil kebudayaan Aceh diupayakan dipisah-pisahkan seperti yang dilakukan oleh para ilmuwan Hukum Adat yang dipelopori oleh Van Vollen Hoven yang memisahkan adat di pedalaman (Gayo) dari adat Aceh secara keseluruhan.Ini harus menjadi kesadaran yang harus disatukan ulang agar peradaban Aceh yang islami kembali bersemi, bukan sekedar karena nation states (negara bangsa). Bunge Renggali harus jadi bahan wajib di sekolah dan perguruan tinggi melanjutkan semangat yang dibangun oleh Sultan Alaidin Riayatsyah Al Qahhar.

Sumber: http://www.serambinews.com/news/view/24661/acehkah-gayo

Baca Tanggapan Tulisan ini oleh Win Wan Nur, berjudul ACEHKAH GAYO; sebuah tanggapan untuk M Adli Abudllah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.