ACEHKAH GAYO; sebuah tanggapan untuk M Adli Abdullah

Oleh Win Wan Nur

Beberapa hari yang lalu “Serambi Indonesia”, koran lokal terbesar di Aceh menerbitkan sebuah artikel yang berjudul ACEHKAH GAYO http://www.facebook.com/notes/i-love-gayo/acehkah-gayo/318018922010 yang ditulis oleh M Adli Abdullah. Dalam artikel tersebut penulis ini mengatakan dirinya pernah menemani Prof Dr Nabil Chang Kuan Lin dari National Cheng-Chi University Taipei, Taiwan dalam lawatannya ke beberapa situs sejarah di Pasai dan Peureulak (1-4 Februari 2010).

Artikel ini sepertinya mendapat tanggapan begitu heboh di Aceh, sampai-sampai seorang teman seangkatan kuliah saya yang sudah lama tidak pernah bertemu merasa perlu khusus mengirim SMS kepada saya untuk menanggapi tulisan ini.

Baru dua hari kemudian saya bisa membaca tulisan itu melalui facebook, dipost oleh “I Love Gayo” yang men-tag nama saya di sana. Yang lebih heboh lagi teman-teman Aceh yang bukan suku gayo pun menulis di wall saya untuk meminta tanggapan saya tentang artikel tersebut. Kehebohan ini membuat saya sangat penasaran dan ingin segera membaca artikel yang ditulis oleh M Adli Abdullah ini.

Tapi setelah saya baca, saya malah jadi kebingungan sendiri membaca tulisan yang heboh ini. Ketika membaca artikel tersebut, saya mendapatkan kesulitan dalam memahami kaitan antara satu bangun argumen dengan bangun argumen lain yang dibangun penulisnya.

M Adli Abdullah penulis artikel ini dengan sembrono menggunakan data arkeologi, pembahasan antropologi sampai kisah dan legenda sebagai sumber bukti yang diperlakukan dengan tingkat validitas yang setara.

Kemudian penulis ini juga sama sekali tidak menjelaskan kategori apa yang dia gunakan dalam mempertanyakan ACEHKAH GAYO.

Misalnya penulis yang bernama M Adli Abdullah ini, dalam tulisannya sama sekali tidak menjelaskan yang dia maksud ACEHKAH GAYO dalam tulisannya tersebut dilihat dari kategoriapa?. Dari identitas etnisitaskah?, dari identits genetikkah? atau atau identitas politikkah atau identitas budaya politik?.

Dalam tulisan ini semuanya campur baur sehingga kita yang membaca jadi pusing sendiri untuk menebak ke arah mana sebetulnya bangun argumen dari penulis ini mengarah.

Hal lain yang membuat kita pusing saat membaca tulisan ini adalah perbuatan M Adli Abdullah yang dengan entengnya main comot berbagai data yang masih mentah untuk menjadi argumen tulisannya.

Misalnya di paragraf ke-6, dia dengan enteng memasukkan hasil penelitian arkeolog baru-baru ini di kampung Mendalé, dekat tepi Laut Tawar, yang menemukan kalau sejak 3000 tahun lalu sudah ada peradaban manusia di tempat itu sebagai bukti kalau tempat itu sudah ditempati orang Gayo. Bahkan sudah ada peradaban manusia 6000 tahun yang lalu di Tamiang pun dia jadikan sebagai argumen keberadaan suku Gayo dan mengaitkannya dengan golongan Melayu Tua yaitu bangsa yang pertama sekali menduduki negeri Aceh. Tapi dia sendiri sama sekali tidak memberi kita informasi apapun tentang skala waktu penyebaran Melayu Tua itu. Dalam tulisan ini, dia sama sekali tidak menjelaskan apakah memang ada bukti sejarah bahwa penyebaran Puak Melayu Tua itu memang terjadi sebelum rentang waktu 3000 atau bahkan 6000 tahun itu.

Bukti sejarah ini sangat penting dalam argumen seperti ini karena rentang waktu 3000 apalagi 6000 tahun itu adalah rentang waktu yang sangat lama sekali. Rentang waktu yang lama ini menimbulkan pertanyaan penting, apa bukti kalau orang-orang yang mendiami ceruk mendale 3000 tahun yang lalu itu apalagi peradaban manusia di Tamiang pada 6000 tahun yang lalu itu adalah peradaban Gayo?

Pertanyaan ini penting kita ajukan karena, jangankan Gayo, peradaban besar dunia yang ada dalam rentang tahun itu pun, seperti Mesopotamia, Peradaban Ras Dravidian di India dan Mesir Kuno sudah punah semuanya. Bahasa dan adat istiadat yang digunakan orang pada masa itu, sekarang bisa dikatakan tidak lagi berbekas, padahal semua peradaban besar itu pada masa tersebut sudah mengenal tulisan. Secara etnisitas juga demikian, kemana sekarang kita bisa menemukan etnik Mesir Kuno?, Mesir yang kita kenal sekarang adalah Mesir yang dihuni Etnis Arab yang bisa dipastikan adalah campuran dari berbagai etnis-etnis kuno itu.

Kemudian Yang lebih memusingkan lagi, dalam tulisan ini M Adli Abdullah seperti asal comot data dari sana sini saja tanpa terlebih dahulu diolah dan dianalisa, sehingga ada argumen yang dia gunakan yang tumpang tindih satu dengan yang lain dan saling menegasikan.

Argumen yang tumpang tindih dan saling menegasikan ini bisa dibaca pada pembahasan M Adli Abdullah tentang sikap orang Gayo terhadap Islam.

Di paragraf ke 4 dia mengutip Russel Jones dan Hill, A.H yang mengatakan bahwa suku bangsa Gayo adalah penduduk asli negeri Pasai yang lari ke hulu sungai Peusangan karena tidak mau masuk agama Islam (Russel Jones, 1999; Hill, A.H 1960). Tapi di paragraf ke-8 dia mengatakan hal yang sebaliknya “Peran Suku bangsa Gayo sangat besar bagi penyebaran Islam dan membangun kerajaan Islam Aceh Darussalam”. Kesimpulan ini dia dapatkan dari (Sejarah Kota Banda Aceh:1988) dan (A Hasjmy: 1976). Antara kedua paragraf itu M Adli Abdullah sama sekali tidak menjelaskan skala waktu, sehingga kitapun jadi terbengong-bengong, bagaimana ceritanya suku bangsa Gayo yang adalah penduduk asli negeri Pasai yang lari ke hulu sungai Peusangan karena tidak mau masuk agama Islam tiba-tiba menjadi berperan sangat besar bagi penyebaran Islam?

Jadi kalau saya diminta untuk menyimpulkan ACEHKAH GAYO berdasarkan argumen-argumen jungkir balik dan tumpang tindih dalam tulisan M Adli Abdullah ini, saya memilih untuk “angkat tangan”, karena jangankan menyimpulkan, bahkan untuk memahami apa maksud tulisan ini saja pun saya tidak mampu.

Tapi meski demikian, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, saya tetap memberi apresiasi yang tinggi kepada penulis artikel ini. Saya memberi apresiasi karena M Adli Abdullah telah berani mengangkat isu yang berbau SARA yang biasanya tabu untuk dibicarakan di negeri ini.

Saya pribadi merasa isu yang berbau SARA dalam hubungan antara ACEH dan GAYO ini memang sangat perlu untuk sering-sering diangkat, karena saya melihat bahwa segala hubungan tidak nyaman antara Aceh dan Gayo itu jelas terjadi karena adanya permasalahan SARA yang dihadapi kedua suku yang tinggal di wilayah politik yang sama ini.

Ketidak nyamanan ini hanya bisa kita hilangkan kalau kita mau membongkar, mengangkat dan kemudian mendiskusikan permasalahan SARA ini sedikit demi sedikit. Segala hubungan tidak nyaman antara Aceh dan Gayo tidak akan pernah bisa kita selesaikan kalau kalau kita terus berpura-pura masalah itu tidak ada dan kita terus menghindar dari segala macam Isu Aceh dan Gayo yang berbau SARA ini.

Karena itulah sayapun tertarik untuk mendiskusikan masalah berbau SARA ini dari sudut pandang saya sendiri.

Menurut pandangan saya, untuk memahami pertanyaan utama dalam artikel ACEHKAH GAYO yang ditulis oleh M Adli Abdullah ini, kita harus terlebih dahulu merumuskan GAYO yang dimaksud di sini dalam kategori apa?. ACEH di sini juga harus kita sepakati dipahami dalam pendekatan kategori apa?.

Perumusan seperti ini perlu kita lakukan karena manusia adalah makhluk yang mendua. Di satu sisi, secara fisik manusia adalah makhluk natural alias alami seperti binatang yang bisa merasa sakit, bisa lapar dan bisa mati. Dalam kategori secara fisik seperti ini makhluk manusia disebut HOMO SAPIENS.

Di sisi lain secara spiritual manusia adalah makhluk artifisial yang tidak alami. Berbeda dengan binatang yang identitasnya terdefinisikan secara alami, manusia sejauh ini diketahui sebagai satu-satunya makhluk yang mendefinisikan identitas dirinya sendiri secara artifisial, alias secara SADAR dengan anugerah tertinggi yang diberikan Tuhan yaitu AKAL. Secara lebih khusus lagi, bisa kita katakan bahwa makhluk yang mendefinisikan identitas dirinya sendiri secara SADAR dengan AKALNYA inilah yang disebut dengan MANUSIA yang dipahami dalam dimensi spiritual bukan fisik.

Kalau ACEHKAH GAYO dipahami dengan pendekatan kategori identitas genetik alias manusia sebagai HOMO SAPIENS, GAYO jelas bukan ACEH dan begitu pula sebaliknya ACEH jelas bukan GAYO. Tapi masalahnya, pengkategorian seperti ini agak sulit dilakukan. Karena setelah sekian lama hidup berdampingan pasti ada percampuran ras antara HOMO SAPIENS Gayo dan HOMO SAPIENS Aceh.

Di zaman modern ini, pendekatan pengkategorian manusia sebagai HOMO SAPIENS seperti pendekatan di atas sebagaimana biasa dipakai untuk mengkategorikan binatang dan makhluk non manusia lainnya itu sudah sangat jarang digunakan dalam mengkategorikan manusia. Zaman sekarang, orang yang menggunakan pendekatan semacam ini untuk mengkategorikan manusia akan mendapat cap RASIS dan menjadi bahan hujatan orang sedunia. Malah PBB sendiri pun secara resmi telah melarang untuk mengkategorikan manusia dengan cara seperti ini.

ACEHKAH GAYO, lebih mudah dipahami kalau kita melakukan pendekatan berdasarkan kategori identitas etnisitas, karena kalau dipahami dengan pendekatan kategori ini, kita tidak perlu lagi tahu apakah secara genetik yang bersangkutan itu adalah HOMO SAPIENS Gayo atau HOMO SAPIENS Aceh.

Dengan pendekatan kategori ini, asal orang merasa dirinya GAYO, tidak peduli apakah nenek moyangnya dulu sebenarnya adalah orang Aceh yang diculik, orang Batak,orang Melayu, atau dulunya budak entah darimana yang dibawa ke GAYO, yang penting asal dia sudah menyatu dengan satu kelompok etnis bernama GAYO ya dia jadi orang GAYO.

Kalau dipahami dengan pendekatan kategori seperti ini, GAYO juga jelas bukan ACEH.

Tapi masalahnya, di zaman modern ini, banyak orang termasuk saya sendiri tidak merasa nyaman melakukan pengklasifikasian manusia dengan kategori ini, karena pengklasifikasian dengan kategori ini biasanya hanya digunakan oleh suku-suku primitif dan kaum apartheid (contohnya seperti di Malaysia).

Pada masyarakat yang peradabannya sudah lebih maju, pendekatan dengan kategori seperti ini sudah tidak digunakan lagi. Kalaupun pendekatan kategori ini digunakan, biasanya penggunaannya lebih kepada aktivitas budaya yang bersifat cair dan tidak mengikat.

Pada masyarakat yang peradabannya sudah lebih maju, manusia sudah menjadi HOMO POLITICUS yang mengkategorikan identitasnya secara politik atau budaya politik.

Identitas politik atau Identitas budaya politik ini hampir selalu terdiri dari berbagai keberagaman etnisitas. Di zaman sekarang ini, bisa dikatakan tidak ada Identitas politik atau Identitas budaya politik manapun yang cuma berisi satu etnisitas alias etnisitas tunggal.

Pendekatan dengan kategori inilah yang dilakukan oleh Cik kami, Yusra Habib Abdul Gani (Serambi, 2 Februari 2008) dalam mengkategorikan ACEH dan GAYO.

Jadi kalau untuk mengetahui ACEHKAH GAYO, yang dipakai adalah pendekatan -ACEH- sebagai sebuah identitas politik atau identitas budaya politik seperti ini, ya GAYO jelas adalah ACEH.

Dengan memakai pendekatan -ACEH- sebagai sebuah identitas politik atau identitas budaya politik, ACEH bukanlah ACEH kalau di dalamnya hanya ada etnis Aceh saja, tanpa ada etnis Gayo, etnis Tamiang, etnis Kluet, etnis Simeulue, etnis Aneuk Jamee, etnis Alas, etnis Singkil dan etnis-etnis minoritas lainnya.

Semua cara pengkategorian ini tidak memiliki sifat kestabilan yang sama.

Pengkategorian manusia secara identitas genetik sifatnya rigid dan stabil alias tidak berubah-ubah, karena kategori ini adalah bawan lahir yang tidak bisa diubah.

Pengkategorian manusia secara identitas etnisitas juga relatif stabil, karena orang yang terlahir katakanlah sebagai etnis Gayo, meskipun setelah dites DNA terbukti bukan orang Gayo, tapi hampir bisa dipastikan dia tidak bisa lagi mengubah mentalitas dan kebiasaan sehari-harinya yang ala GAYO.

Tapi pengkategorian manusia atas dasar identitas politik atau identitas budaya politik, sangat fleskibel dan bisa berubah-ubah mengikuti keadaan. Identitas model ini bersifat sangat fluktuatif. Identitas ini bisa berubah-ubah, karena identitas politik atau identitas budaya politik ini adalah sebuah proyek yang keberlangsungannya sangat bergantung atas kesepakatan bersama.

Keberlangsungan identitas politik atau identitas budaya politik sangat dipengaruhi oleh bagaimana cara orang diperlakukan di dalam proyek bersama itu. Kegagalan menerapkan sistem yang mengakui dan menghargai keberagaman etnisitas, sangat mungkin mendorong munculnya resistensi atau lebih jauh mendorong orang yang terpinggirkan, diperlakukan tidak adil, dan kemudian mereka kembali ke asal etnisitasnya.

Pendekatan identitas politik atau identitas budaya politik ini diinspirasi oleh Laclau yang Post-Marxist atau Paul Brass (lihat bukunya Ethnicity and Nationalism) dengan pendekatan etnisitas dan politik atau bahkan sedikit banyak Ben Anderson (lihat bukunya Imagined Community). Brass mengambil banyak contoh pergerakan di berbagai penjuru dunia yang dia sebut sebagai “ethnic revival” sebagai bentuk resistensi atas dominasi, atas modernisasi atau bahkan atas konsep “negara-bangsa” yang dipaksakan, terutama setelah konsep negara modern diwujudkan di berbagai negara di dunia. (Baca tulisan Taufan Damanik di milis Acehkita message #13622).

Untuk membentuk satu identitas politik atau identitas budaya politik, kadang orang harus memanipulasi kesadaran etnisitas suku-suku penyusunnya. Contohnya di Indonesia yang sangat plural ini, untuk membentuk satu rasa kebangsaan yang sama kesadaran etnisitas ini harus dimanipulasi, kalau tidak begitu tidak mungkin orang Jawa yang nenek moyangnya sudah bisa membuat Borobudur dan Prambanan ratusan tahun yang lalu dapat merasa satu identitas politik dengan orang Papua yang sampai hari inipun masih pakai koteka di Bandara di tengah Kota Wamena sana.

Sementara ACEH, sebagai satu identitas politik atau identitas budaya politik, kesenjangan peradaban antara etnis-etnis penyusunnya tidak separah itu. Tidak ada perbedaan mencolok antara peradaban Aceh yang di pesisir dengan peradaban Gayo dan Alas di pedalaman, begitu pula dengan suku-suku minoritas lain, Kluet, Tamiang, Aneuk Jamee, Simeulue dan lain-lain sebagaimana mencoloknya perbedaan antara orang Jawa yang nenek moyangnya sudah bisa membuat Borobudur dan Prambanan dengan orang pedalaman papua yang sampai hari ini masih pakai koteka…karena itulah di Aceh manipulasi kesadaran etnisitas semacam ini sama sekali tidak dibutuhkan.

Kesetaraan dalam tingkat peradaban inilah yang menjadi sebab, ketika suku Aceh yang mayoritas belakangan ini terlihat begitu agresif memaksakan dominasi peradaban sukunya, suku-suku lain yang minoritas, yang sama-sama penduduk ASLI bumi Aceh ini, yang bahkan sejarah keberadaannya di Tanah Aceh ini sudah lebih lama dari suku mayoritas ini, memandang gerakan sukuisme ACEHNISASI yang dilakukan oleh suku mayoritas yang tinggal di pesisir ini dengan perasaan aneh.

Kesetaraan dalam tingkat peradaban ini pula yang membuat ACEH sebagai sebuah identitas politik atau identitas budaya politik lebih rentan. Dominasi yang terlalu mencolok dari satu etnis dalam identitas politik atau identitas budaya politik seperti ini akan dengan mudah membuat proyek bersama ini BUBAR DI JALAN.

Wassalam

Win Wan Nur
Orang Aceh suku GAYO

www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.