Kisruh Elit Politik dan Kehendak Publik

Oleh: Muhamad Hamka*

SEMBILAN bulan sudah kabupaten Aceh Tengah tanpa bupati definitif. Rakyat Aceh Tengah pun sudah apatis dengan persoalan yang tidak jelas benang merahnya ini. Padahal, rakyatlah yang paling dirugikan oleh perseteruan para elit politik ini.

Betapa tidak, suara rakyat yang diberikan untuk elit politik pada Pilkada 9 April silam dilecehkan oleh kepentingan (parsial) elit politik itu sendiri. Tidak sampai disitu saja. Dengan molornya pelantikan bupati terpilih, rakyat Aceh Tengah kembali menuai nestapa karena akan makin banyak program pembangunan yang notabene bersentuhan langsung dengan kesejahteraan rakyat menjadi terbengkalai.

Para pihak yang menolak pelantikan bupati definitif ini bertahan pada argumentasi hukum. Dimana menurut kelompok ini, banyak sekali terjadi pelanggaran/kecurangan (secara massif) yang dilakukan oleh bupati terpilih. Sehingga sebelum ada proses hukum terhadap segala kecurangan tersebut, maka “haram hukumnya” pelantikan bupati definitif. Kira-kira seperti itulah sandaran reasoning para pihak yang sedari awal membendung pelantikan bupati terpilih ini.

Normatifitas Kebenaran

Sikap ini adalah suatu prinsip yang mesti kita hormati di negara hukum ini. Tapi apakah dengan konsistensi sikap mempertahankan normatifitas kebenaran ini, apa yang menjadi harapan dari Pilkada akan terwujud? Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan amanat demokrasi sebagai manifestasi kehendak publik (rakyat); kekuasaan dari rakyat oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun dengan kisruh Pilkada (elit politik) yang tak ada ujungnya ini, jelas mencederai hakikat demokrasi untuk rakyat. Karena demokrasi tersandera dalam tarik-menarik kepentingan elit politik.

Sementara bupati yang terpilih cendrung mendiamkan/membiarkan persoalan ini berlarut. Mestinya, sebagai pemimpin yang terpilih ia harus proaktif dan partisipatif dalam mencari jalan keluar yang terbaik. Tentunya dengan jalan membangun dialog yang jujur dan bermartabat atau dengan mekanisme yang lainnya. Peran inilah saya kira yang seharusnya di ambil oleh bupati terpilih, bukan malah membiarkan bola konflik bergelending tak tentu arah.

Kalau para elit politik ini masih bertahan dengan egoismenya masing-masing, maka bisa dipastikan Aceh Tengah akan berpotensi menjadi kabupaten gagal; gagal berdemokrasi, gagal berpolitik, dan yang paling parah adalah gagal memberikan kesejahteraan buat rakyat. Padahal, demokrasi meniscayakan kesejahteraan rakyat sebagai hukum tertinggi.

Elitkrasi

Demokrasi yang ada di Aceh Tengah hari ini sudah dibajak oleh arogansi elitkrasi. Yakni kekuasaan yang dibangun diatas kehendak privat elit politik; dari elit, oleh elit dan untuk elit politik. Hal ini terlihat jelas dari diabaikannya kepentingan rakyat oleh kepentingan elit politik. Monopolisasi demokrasi dalam tarikan kehendak privat elit politik ini, tak hanya memarginalkan rakyat dari demokrasi itu sendiri, tapi juga akan membuat rakyat menjadi antipati dengan demokrasi.

Arogansi kekuasaan elit ini merupakan malapetaka bagi demokrasi. Karena demokrasi tidak lebih sebagai pemberi legitimasi bagi elit untuk memburu kekuasaan. Sementara rakyat tak lebih sebagai objek kekuasaan yang tak berkesadaran dari elit politik. Akhirnya, rakyat semakin termarginalkan dari cita demokrasi itu sendiri yang notabene meniscayakan kesejahteraan rakyat sebagai hukum tertinggi.

Untuk itu, kita berharap kearifan dan kebijaksanaan dari elit politik ini untuk berjiwa besar mengutamakan kehendak publik (kemaslahatan rakyat) dalam segenap aktus politiknya. Karena menjadi elite politik tak sekonyong-konyong lahir dari ruang hampa, tapi atas dukungan dan kehendak rakyat. Oleh karena itu, belajarlah mendengar dan menghargai kehendak rakyat.(for_h4mk4[at]yahoo.co.id)

*Analis Sosial & Politik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.