
SELAMA ini ada pandangan salah kaprah di masyarakat berkaitan dengan pariwisata. Di banyak tempat, termasuk Gayo, ketika berbicara pariwisata tidak sedikit masyarakat yang langsung berpandangan miring, karena dalam benak mereka pariwisata adalah kegiatan hura-hura, identik dengan kemaksiatan, minuman keras, kehidupan malam dan seks bebas.
Padahal tentu saja ini adalah pandangan yang keliru. Pandangan seperti ini muncul karena kuatnya brand pariwisata Kuta di Bali dan wisata Thailand yang kental dengan nuansa kebebasan seksual.
Tidak banyak masyarakat yang tahu bahwa segmen pariwisata itu sangat luas, misalnya ada wisata lingkungan (Eco Tourism), wisata belanja (Shopping Tourism), wisata olahraga (Sport Tourism), bahkan Wisata Religi (Spiritual Tourism).
Masyarakat Indonesia tidak banyak tahu segmen-segmen wisata seperti itu karena di Indonesia ini, pemerintah nyaris tidak berfungsi dalam membuat regulasi pariwisata. Pariwisata di sini tumbuh dan berkembang sendiri secara liar tanpa kontrol. Sehingga pemerintah sama sekali tidak memiliki kendali atas perkembangan wisata di daerahnya. Pariwisata mau berkembang ke arah mana, pemerintah sama sekali tidak paham, sebab siapapun yang bergerak di bisnis pariwisata, dengan imajinasinya sendiri membuat berbagai atraksi yang dia suka untuk menarik minat wisatawan. Tanpa ada arahan dari pemerintah, biasanya baru setelah terbentuk pemerintah datang mengatur, itupun lebih kepada penarikan retribusi.
Pariwisata di Indonesia ini berkembang karena kebetulan. Ibarat ada orang lapar lewat di kampung yang tidak memiliki rumah makan, lalu mampir ke rumah penduduk di sana dia disuguhi makanan apa adanya. Kemudian dari mulut ke mulut rumah itu menjadi terkenal sebagai rumah makan. Tapi di rumah itu tidak disediakan menu, sehingga ketika ada tamu lain datang mengusulkan agar tukang masak di rumah itu membuatkan menu favoritnya, si tukang masak langsung membuatkan tanpa memikirkan dampaknya kepada situasi di rumah. Melihat menu itu berhasil, datang tukang masak lain membuat menu yang sama, lalu ada tamu lain mengusulkan membuat menu lain, langsung dibuat sehingga akhirnya si tuan rumah yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang bisnis restoran benar-benar sekali kehilangan kontrol tentang menu-menu apa saja yang disediakan di rumahnya. Pengunjung yang masuk juga tak terseleksi, siapa saja boleh masuk dan boleh mengusulkan menu apapun semaunya. Sebab bukan tuan rumah, tapi pelanggan dan tukang masak lah yang membuat menu sesuka hatinya. Bagi pemilik rumah, yang penting ada uang masuk. Selesai perkara.
Kondisi seperti ini tentu berbeda dengan rumah makan profesional, semacam KFC, Mc Donald atau rumah makan padang yang sejak sebelum dibuat, pemiliknya sudah menentukan ‘warna’ apa yang akan menjadi ‘warna’ restorannya. Di restoran seperti ini mana menu sudah ditentukan dengan jelas. Pengunjung yang datang hanya bisa memilih makanan dan minuman berdasarkan menu yang ada. Kontrol sepenuhnya ada di pemilik restoran. Dengan pengelolaan yang profesional seperti ini, pengunjung restoran pun sudah terseleksi dari awal. Contoh, ketika di papan nama restoran sudah tertulis Rumah Makan Khas Minang, pelanggan yang menginginkan menu Babi Guling sudah pasti tidak akan masuk. Sebab sebelum masuk pun pelanggan itu sudah tahu, bahwa menu yang dia inginkan tidak disediakan di restoran itu.
Dan kenyataannya, dengan membatasi menu tapi dikelola secara profesional. Pengunjung bukannya kurang, malah restoran dengan manajemen profesional seperti ini yang tampak lebih meyakinkan di mata pelanggan dan jauh lebih banyak dikunjungi dibanding rumah makan yang tidak jelas ‘warna’nya. Pengunjung ramai datang karena mereka yakin bahwa mutu makanan yang disajikan oleh restoran seperti ini jauh lebih terjamin dibanding restoran abal-abal dengan menu sesukanya apa saja ada tapi tidak jelas mutu dan kebersihannya karena nyaris sama sekali tidak ada kontrol dan kendali mutu. Ini menjelaskan kenapa turis lebih banyak datang ke Malaysia daripada Indonesia.
Karena itulah, ketika Aceh Tengah melalui Nasaruddin bupatinya telah mendeklarasikan bahwa di periode kedua kekuasaannya, katanya akan memfokuskan kerjanya untuk mengembangkan pariwisata. Kita sangat berharap bahwa sebelum mengembangkan pariwisata, bupati sudah terlebih dahulu memiliki grand design tentang bagaimana bentuk pariwisata untuk Aceh Tengah. Kita ingin, ada aturan yang jelas, ada wasit yang adil bagi setiap pemain di bisnis ini yang mengendalikan arah pengembangan pariwisata Aceh Tengah. Menu-menu yang disiapkan juga harus di desain agar sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Gayo. Dengan begitu pengunjung yang datang pun akan terseleksi dari awal, sehingga Pariwisata di Gayo bukannya merusak, tapi malah menguatkan budaya Gayo.
Selama pemerintah bisa membuat design yang tepat dan menjadikan dirinya sebagai pemegang kontrol dan regulasi yang kuat. Ekses negatif pariwisata dapat dieliminir sampai titik yang paling rendah.
Di tulisan sebelumnya, penulis menganjurkan agar Aceh Tengah menjadikan BRAND KOPI sebagai icon dan tema utama pariwisata Aceh Tengah. Dengan menjadikan Kopi sebagai icon dan tema utama wisata Aceh Tengah, bukan berarti yang bisa menjadi produk wisata Aceh Tengah nanti hanya melulu kopi atau lebih sempit lagi minum kopi.
Ibarat restoran kita bisa membayangkan KFC yang menjadikan Ayam Goreng sebagai menu utama.
Dengan menu utama Ayam Goreng, KFC menjual berbagai paket kombo, ada juga yang potongan. Ayam Gorengnya ada yang disajikan dengan style original, ada yang crispy, ada yang berupa bento. Tapi semua Ayam Goreng dan pembeli bisa memilih paket-paket itu sesuai selera. Sebagai pendamping Ayam Goreng, disediakan pilihan nasi, kentang goreng, jagung bahkan bubur. Lalu untuk minuman ada Pepsi dan saudara-saudaranya. Ketika branding sudah kuat dan konsumen sudah ada, mudah bagi KFC untuk menjual produk-produk lain yang sama sekali tidak berhubungan dnegan ayam goreng, contohnya seperti es krim dan kopi bahkan belakangan CD musik. Tapi yang menjadi magnet bagi pengunjung untuk datang ke KFC adalah BRAND KFC yang identik dengan ayam goreng, bukan nasi, kentang, bubur, pepsi atau es krim maupun kopi apalagi CD Musik, yang juga bisa ditemukan di restoran lain.
Kalau Aceh Tengah menjadikan KOPI sebagai BRANDING dan tema utama pariwisatanya. Maka Kopi akan menjadi magnet utama, yang membuat Aceh Tengah berbeda (Different) dengan daerah tujuan wisata lain. Meskipun nanti di Aceh Tengah sendiri ketika turis datang dalam paket wisata yang ditawarkan ada Laut Tawar, Burni Telong, bersepeda gunung, air terjun dan lain-lain. Ini seperti orang makan Ayam Goreng di KFC dengan nasi atau kentang. Dan orang yang makan di KFC merasakan sensasi yang berbeda makan nasi KFC dengan makan ayam goreng dan nasi di warteg. Meskipun ayam goreng di Warteg mungkin lebih enak, tapi karena brand KFC yang sudah demikian kuat, orang tetap merasa makan Ayam Goreng di KFC jauh lebih nikmat dan berkelas.
Dengan menjadikan KOPI sebagai Brand yang kuat, nantinya akan terjadi turis yang dikepalanya sudah tertanam kuat Aceh Tengah adalah Kopi, juga akan merasakan sensasi yang berbeda menikmati pemandangan danau saja dengan pemandangan danau yang identik dengan KOPI. Indah dan tidaknya pemandangan danau di tempat lain akan menjadi subjektif.
Dan nantinya sebagaimana KFC yang sukses menjual kopi bahkan CD Musik. Kalau nantinya di Aceh Tengah ada yang terpikir untuk paket wisata lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan kopi (misalnya Arung Jeram), itu jadi lebih mudah dijual karena sudah ada pasar.
Dengan desain ‘warna’dan menu yang jelas seperti ini, nantinya turis-turis yang datang ke Aceh Tengah akan terseleleksi sejak dari awal sesuai dengan tema yang dijual. Turis-turis yang mengharapkan pesta hura-hura di klub malam dengan ditemani minuman keras dan hubungan seksual secara bebas. Otomatis dari awal tidak akan datang ke Aceh Tengah, karena dari awal mereka sudah tahu bahwa ‘menu’ seperti itu tidak disediakan di Aceh Tengah.
Jadi, meminjam kata-kata David Miller yang merupakan seorang ahli pengembangan daerah, “If you have a strong mayor and a good city government, you can actually make real change very quickly.”
Dalam bahasa Indonesia “Kalau anda punya seorang walikota (Bupati) yang kuat dan pemerintahan Kota (Kabupaten) yang bagus, anda sebenarnya dapat membuat perubahan yang nyata dengan sangat cepat”.
Asalkan Nasaruddin punya niat baik untuk memajukan Aceh Tengah. Pariwisata Aceh Tengah sangat bisa di-design dan dikelola secara profesional untuk menjadi sebuah industri yang membawa kemaslahatan bagi masyarakat.
—
*Penulis adalah Direktur PT. Fortuna Media
Perusahaan Konsultan Branding berpusat di Jakarta.