Catatan dari Seminar Saman Summit 2012 (Bagian.3)
SEJUMLAH besar kesenian dan ragam kebudayaan di berbagai daerah yang kita lihat hari ini mempunyai riwayat pergulatan yang panjang antara keagamaan dan kelokalan. Budaya Minang muncul dari pertemuan antara adat yang begitu kuat dengan Islam. Warga Minang tetap menjalankan sistem kekerabatan matrilineal namun juga sekaligus sebagai penganut agama Islam yang kuat. Seperti itu pula, dialog yang panjang antara agama dan unsur-unsur lokal melahirkan kemidi rudat di Lombok, hadrah kuntulan dan berbagai jenis seni yang lain di Banyuwangi; dan sederet panjang ekspresi seni bernuansa Islam di banyak wilayah lain.
Akulturasi seperti ini menjadi semacam keniscayaan di tengah keragaman etnik, puak, suku serta berbagai unsur komunitas yang hidup dan tumbuh bersama. Di dalam hal ini, berbagai jenis seni yang muncul kebanyakan menjadi media dakwah Islam, tapi tidak dalam pengertiankeseniannya menjadi Islam, melainkan untuk mengajak dan memberitahu nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai luhur agama Islam.
Demikian beberapa butir masalah yang muncul di dalam diskusi panel ke-2 yang bertema “Seni-seni Islam di Indonesia: Dialektika antara Keagamaan, Kelokalan, dan Kenegaraan” yang dipandu oleh Putu Fajar Arcana. Diskusi ini menampilkan empat pemakalah yaitu Achiem Murachim, seorang peneliti rudat dari Lombok, H. Hasnan Singodimayan tokoh budaya Osing dari Banyuwangi, Edy Utama seorang seniman dan wartawan dari Padang, dan KH Maman Imanulhaq tokoh muda Islam yang gencar mempromosikan Islam berwajah toleran dari Cirebon.
Menurut Edy Utama, tradisi surau adalah salah satu hasil perpaduan sistem matrilineal dan Islam yang patrilineal. Surau telah menjadi bagian penting di dalam perjalanan kebudayaan Minangkabu. Namun, hubungan dinamis-dialektis antara adat dan agama itu berjalan panjang dan terkadang sangat keras. Pada abad ke-18 misalnya terjadi “pembersihan” terhadap praktek-praktek kehidupan adat Minangkabau yang tidak sesuai dengan kaum Padri, sehingga menimbulkan kegoncangan yang luar biasa di tengah masyarakat.
Akhirnya Tuanku Imam Bonjol, tokoh utama gerakan Padri, menyadari bahwa tidak mungkin menyingkirkan kaum adat. Maka kaum agama dan kaum adat bekerjasama untuk memajukan keimanan warga, dan melahirkan falsafah Minangkabau “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.” Kehidupan adat harus mengacu kepada aturan agama, meski tetap diberi ruang. “Adagium ini tetaplah merupakan sebuah konsensus yang terus berproses secara dinamis,” katanya.
Kesenian yang dipengaruhi budaya Islam berkembang pesat di pesisir barat Minangkabau dengan perwujudan sangat beragam, antara lain indang, shalawat dulang, dikia, dan berzanji. Yang menarik, meskipun jenis keseniannya sama, bentuk dan coraknya beragam. Keragaman ini, katanya, merupakan sumbangan kultural yang penting dari budaya Minangkabau yang sangat plural.
Edy Utama mengatakan sampai abad ke-20 perpaduan antara adat dan agama telah melahirkan berbagai gerakan kebudayaan, yang selalu diselesaikan dengan kecerdasan budaya yang tidak melenyapkan setiap elemen yang berbenturan. Hadirnya negara dan gempuran globalisasi membuat kehidupan budaya termasuk kesenian menjadi gamang.
“Menyaksikan pertunjukan kesenian Islami dewasa ini sangat sulit membedakannya antara media dakwah dengan seni sebagai hiburan. Jangan-jangan tanpa disadari kesenian Islami yang awalnya tumbuh dari surau dan menjadi bagian dari pendidikan budaya Islam, telah melakukan migrasi yang cukup jauh ke media hiburan yang sedang mewabah dalam masyarakat kita,” tutur Edy.
KH Maman Imanulhaq menekankan pentingnya peran kearifan lokal di dalam perkembangan kebudayaan di Indonesia. Ia merujuk sosok si Kabayan yang mestinya bisa dimanfaatkan, misalnya oleh pihak pesantren di tatar Sunda, untuk menggerakkan kembali kebudayaan yang statis. Sikap sebagian besar pesantren yang menolak seni tradisi Sunda seperti pantun, beluk, dan ngawih serta perangkat instrumental seperti suling, kecapi, dan gamelan, semakin mengidentifikasi diri pada tradisi agung, yaitu Islam resmi yang universal dan bukan lokal. Islam resmi yang universal itu tenyata adalah “arabisasi .”
Maka katanya, seandainya sosok Si Kabayan yang cerdas dan jujur, memakai ikat kepala dan berbaju hitam dengan suasana urangSunda yang ramah dan terbuka teridentifikasi oleh para santri dan pesantren di tatar Sunda, tentu akan menambah keanekaragaman interpretasi dalam keberagamaan (Islam) yang jadi rakhmat untuk kemanusiaan.
Di sisi lain ia menyebut bahwa di dalam rudat, hadrah, saman, dan lain-lain pasti ada bahasa Arab dengan dialek lokal. Terdengar menarik dan beragam, tergantung gaya daerahnya masing-masing. “Seolah ada Islamisasi lewat Rudat dan sebagainya. Menurut saya, bukan Islamisasi dalam arti supaya orang masuk Islam, tetapi lebih mengajak, memberi tahu tentang nilai kemanusiaan. Jadi mengatakan ini lho nilai-nilai Islam, keadilan, kesetaraan, penghormatan kepada orang lain, dan sebagainya.”
Menurut Maman, pernah pada masanya rudat di Cirebon menjadi alat untuk melawan penjajahan. Konteks sosial dan konteks jaman itu perlu disegarkan kembali dengan kebutuhan bangsa kita pada saat ini. Katanya, “Mengapa tidak untuk mendukung gerakan KPK? Syair-syairnya diisi yang lebih mengena untuk gerakan anti korupsi … misalnya dengan ungkapan‘koruptor itu kotor’…,” tambahnya.
Ajakan Maman ini sejalan dengan apa yang sudah terjadi di sejumlah kesenian tradisi bernafas Islam di banyak daerah. Sejumlah penampil di malam pertunjukan Saman Summit 14-15 Desember 2012 mengisi syairnya dengan ungkapan masa kini tentang keindonesiaan, tentang warga di berbagai pulau, dan hidup bersama di hari-hari ini.
Di dalam makalahnya, KH Maman Imanulhaq menguraikan pasang surut peran pesantren. Pada zaman Walisongo pesantren berperan penting dalam penyebaran agama. Pada zaman penjajahan, pendukung perlawanan terhadap Belanda. Dan sesudah kemerdekaan, menghasilkan kader-kader pemimpin. Yang menarik adalah karena watak dasarnya yang fleksibel dan toleran, pesantren mampu menjembatani antara problem keotentikan dan kemodernan secara harmonis.Meskipun demikian, belakangan ada kecenderungan pesantren menjauh dari dunia seni, bahkan sempat beberapa agamawan mengharamkan seni. Menjauh dari seni budaya membuat pesantren “gagal” mendengarkan aspirasi dasar masyarakat dan tidak mampu mengolahnya menjadi salahsatu basis dari dinamika keilmuan keagamaan di pesantren.
Ia menyebutkan bahwa karena watak dan tradisinya yang fleksibel dan toleran, maka pesantren mampu menjembatani problem keotentikan dan kemodernan secara harmonis. Pesantren akan mampu memperjuangkan tujuan-tujuan dasar Syariat Islam yakni menegakkan nilai dan prinsip keadilan sosial, kemaslahatan umat manusia, kerahmatan semesta, dan kearifan lokal. Itulah Syariat Islam yang sesuai dengan kehidupan demokrasi dan mencerminkan karakter genuinekebudayaan Indonesia, sebagai alternatif dari tuntutan formalisasi Syariat Islam yang kaffahpada satu sisi, dengan keharusan menegakkan demokrasi dalam nation state Indonesia pada sisi yang lain.
Riwayat panjang pergulatan antara keagamaan, kelokalan, dan negara tampaknya tidak akan segera berakhir. Dengan gaya jenaka, tokoh kebudayaan Osing dari Banyuwangi yang juga jebolan pesantren Gontor, Hasnan Singodimayan (82), menguraikan betapa lentur sikap berkeseniannya, dengan menerima bahkan mengambil unsur-unsur seni yang berasal dari kebudayaan lain secara leluasa. Mereka mengolahnya disesuaikan dengan kebutuhan sehingga kemudian menjadi seni baru yang sama-sama menarik. Dengan cara itulah, antara lain, kesenian di wilayah budaya Osing itu tumbuh subur.
“Ikat kepala, dengan bagian runcing di depan begini, ini Bali. Coba dibalik yang runcing di belakang, jadi Banyuwangi … Lho iya … memang begitu. Itu hak kami,” kata Hasnan sambil memberi peragaan memasang ikat kepala, disambut gelak tawa hadirin. “Itulah Banyuwangi. Kami mengambil dari mana saja yang sesuai.”
Menurut Hasnan, apapun yang datang akan bisa luluh menjadi bagian dari kekayaan setempat, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan dan budaya masyarakat. “Santri menjadi Banyuwangi, saman rmenjadi Banyuwangi, Bali menjadi Banyuwangi. Coba lihat mahkota yang dipakai penari ada kemiripan antara gandrung dan janger dari Bali, tapi itulah Banyuwangi. Itu hak kami…,” katanya, lagi-lagi diiring tawa dan tepuk tangan peserta seminar.
Hasnan Singodimayan menguraikan kesenian hadrah sholawat yang bergeser menjadi hadrah kuntulan, mengisinya dengan gerakan pencak silat dan bacaan puji-pujian yang dipersingkat. Itu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan para pelakunya, yang umumnya bukan didikan pesantren. “Yang dibawakan yang hafal saja; yang dimengerti isinya; jadi tidak lengkap seperti di pesantren,” tuturnya. Sedang isian gerak pencak silat itu merujuk pada situasi perang kemerdekaan, dan dialog yang sering diucapkan juga mirip perintah di medan tempur seperti “Siap! Tembaaakkkk!” dan itu dilakukan sambil bersilat.
Sesudah ada hadrah kuntulan, masih ada perubahan lagi, yaitu muncul kuntulan wadon, yang dibawakan oleh pemain perempuan. Di dalam waktu singkat jumlah kelompok kuntulan wadonini menjadi sangat banyak, sekitar 100 grup. Hampir setiap desa memilikinya. Akhirnya MUI memberi batasan. “Kalau lagi sholawat jangan nabuh kendang, dan jangan megal-megol(berlenggak-lenggok). Ya, saran itu kami terima saja,” kata Hasnan. “Di dalam kuntulan wadonitu unsur tari gandrung dan tari jinggoan memperkaya geraknya. Pemainnya cantik molek, jadi kemudian ya dibatasi.”
Kemudian muncul pula kuntulan dadaran atau kundaran, yang merupakan jawaban cerdas untuk menghindari konflik, karena masih ada pihak yang tidak terima dengan tarian perempuan tersebut. Kundaran itu diciptakan dengan niat untuk membuat pemisahan yang tegas dari kuntulan wadon, yaitu bahan-bahannya tidak diambil dari seni hadrah. Seni kundaran dan kuntulan ini ternyata kemudian juga diserap di kawasan Jember dan Situbondo, bahkan berkembang di Jembrana, Bali, dengan gamelan baleganjur yang sangat menarik. Riwayat kundaran ini, katanya, mirip dengan proses seni gandrung, yang berasal dari kegiatan ritual sanghyang dedari, kemudian menjadi “seblang, dan memunculkan gandrung yang dianggap sepenuhnya dalam ranah kesenian.
Kemidi rudat di Lombok juga menyimpan riwayat perpaduan berbagai unsur yang mendapat nafas Islam. Peneliti Murahim menyebutkan kemidi rudat merupakan satu bentuk teater tradisional dari rumpun Melayu-Islam. Isinya, selain rudat seperti yang tumbuh di berbagai daerah lain, secara verbal juga dikembangkan menjadi teater dengan lakon yang diambil dari khasanah cerita 1001 malam. Kemungkinan besar kesenian ini dibawa oleh pedagang-penyebar Islam dari Banjar, Kalimantan, sebagai media dakwah. Dalam hal ini bisa dikatakan, kesenian yang semula milik masyarakat Melayu kemudian juga menjadi milik masyarakat Sasak di Lombok. Namun asal-usulnya yang pasti belum ditemukan. Yang sudah jelas adalah teater ini meramu berbagai unsur kebudayaan seperti Arab, Melayu, dan Belanda.
“Baris berbaris dengan bahasa Belanda tampaknya disengaja agar tidak dicurigai, karena kemidi rudat ini membawa misi perlawanan terhadap penjajah Belanda. Itu untuk menyamarkan. Dengan demikian diharapkan pihak Belanda tidak melarang pertunjukan yang penuh resiko karena selalu diawasi oleh mata-mata penjajah,” tutur Murahim.***