MENURUT beberapa fakar pendidikan: Moegjiarto (2002), Jalius Jamma, (2008), Agustiarsyah Nur (2008), Muhammad Anshar (2010), Firman (2011), dll menyatakan bahwa ada beberapa tipe sekolah unggul yang bermunculan pada berbagai negara, termasuk di Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang bahkan di negara yang sudah maju sekalipun.
Tipe sekolah unggul tersebut adalah:
Sekolah unggul berbasis anak cerdas.
Sekolah Unggul tipe pertama ini mamandang bahwa sekolah unggul adalah sekolah yang mampu menghasilkan lulusan dengan prestasi akademik yang tinggi. Untuk mencapai hal tersebut, maka sekolah unggul tipe ini sangat selektif dalam menerima siswa barunya sehingga sekolah ini hanya menerima siswa-siswa dengan prestasi akademik yang tinggi yang termanifestasi dari Nilai Ujian Nasional yang tinggi (orisinil tanpa rekayasaya oknum).
Oleh karena ini banyak para pakar pendidikan menyebut sekolah unggul tipe ini dengan sekolah unggul berbasis anak cerdas. Dengan demikian sekolah unggul tipe pertama ini muncul dalam rangka untuk menghasilkan lulusan dengan prestasi akademik yang tinggi. Kelemahannya bisa saja pendidikan model ini mengikisnya pendidikan karakter karena menampikkan nilai-nilai budaya, norma, nilai logis dan etis dalam bermasyarakat.
Siswa yang lemah akan tersungkur alias tidak tahan dan mencari alternatif sekolah lain sebagai pelampiasan kekesalan. Dilihat dari segi kuantitas, sekolah unggul berbasis anak cerdas bisa dihitung dengan jari karena ukuran cerdas di daerah kita serat dengan pemenuhan kognitif yang hanya mampu mampu menghafal ratusan rumus matematika, kimia, fisika dan bahasa Inggris namun miskin terapan. Padahal menurut pengalaman penulis di manca negara adalah cerdas dalam terapan (realita).
Sekolah Unggul berbasis fasilitas yang unggul.
Pada sekolah unggul tipe kedua ini, di sekolah disedia fasilitas belajar yang serba mewah, (asrama dan kelas ber AC, media pengajaran dengan high technology, fasilitas olah raga yang lengkap dan lain sebagainya) sehingga daya tahan siswa untuk belajar bisa lebih lama. Disamping itu guru-gurunya juga guru-guru pilihan dengan rasio guru dan siswa yang sangat baik. Karena fasilitas pendidikan di sekolah ini yang serba mewah, maka biaya pendidikan di sekolah ini juga sangat mahal.
Dalam seleksi penerimaan siswa di sekolah ini, prestasi akademik yang tinggi bukan merupakan persyaratan utama untuk diterima di sekolah ini, tetapi umumnya siswa yang diterima di sekolah ini adalah siswa yang mempunyai orang tua yang cukup mapan sehingga mampu membayar SPP dan biaya pendidikan yang sangat mahal karena fasilitas belajar yang tersedia juga sangat mahal. Oleh karena ini sekolah unggul tipe kedua ini muncul di Indonesia umumnya untuk mengakomodir keinginan orang tua yang telah mapan terhadap lembaga pendidikan yang bermutu, “luar negeri“.
Menurut pengelola lembaga pendidikan ini, sekolah unggul tipe kedua ini juga bertujuan untuk membendung warga negara Indonesia yang berminat belajar di luar negeri. Meskipun menurut ukuran rerata masyarakat Indonesia biaya pendidikan di sekolah ini sangat mahal, tetapi bila hal dibandingkan dengan biaya pendidikan di luar negeri, seperti A.S, Inggeris, Australia, Singapura dan sekolah-sekolah di Eropa masih lebih lebih murah. Suatu waktu, penulis ada berbincang dengan beberapa kepala sekolah di daerah bahwa yang dinamakan sekolah unggul adalah sekolah dimana fasilitas belajar terutama gedung atau kelas belajarnya mewah sehingga banyak orang tua yang hendak menyekolahkan anaknya ke sana. Kelihatannya banyak sekolah di daerah kita yang pisiknya sangat bagus dengan tatanan yang rapi namun sayang output nya rendah (hasil penelitian penulis yang dimuat dalam beberapa buah jurnal lokal).
Jadi, kepala sekolah hanya mampu berujar manis (lipstik belaka) dengan dalih menyebar pesona bahwa sekolah ini lebih unggul dari yang lainnya. Sekolah model ini benar-benar memukul hati rakyat miskin yang karena tidak mampu menyekolahkan anaknya berhubung biaya pendidikan mahal padahal UUD 1945 menegaskan bahwa tujuan pendidikan ialah mencerdaskan bangsa semua elemen bukan hanya elemen masyarakat yang kaya saja.
Sekolah unggul berbasis iklim belajar yang positif.
Pada tipe ketiga ini yang dimaksud sekolah unggul adalah sekolah yang mampu memproses siswa bermutu rendah waktu masuk sekolah tersebut ( in put rendah ) menjadi lulusan yang bermutu tinggi ( out put tinggi ). Berarti pada tipe terakhir ini terjadi proses belajar mengajar yang efektif, sehingga meskipun siswa yang diterima mempunyai prestasi belajar yang rendah, tetapi lulusannya mempunyai prestasi akademik yang tinggi.
Sekolah unggul tipe ketiga ini banyak terdapat pada negara-negara maju, malah keberpihakan pada masyarakat yang kurang mampu pun menjadi prinsip utama. Sekolah unggul tipe ketiga ini muncul untuk meningkatkan prestasi akademik siswa melalui pelayanan pendidikan yang unggul. Faktor keefektifan sekolah yang dianggap penting adalah dedikasi guru yang tinggi, kepemimpinan kepala sekolah yang kuat, kepercayaan pada siswa dan guru bahwa prestasi akademik yang tinggi bisa dicapai; pemantauan yang kontinu terhadap kemajuan siswa; iklim belajar yang positif; kesempatan yang cukup untuk belajar, serta pelibatan orang tua dan masyarakat dalam program sekolah.
Bila diamati lebih detail, maka sekolah model ke-tiga inilah kepunyaan kita, artinya sesuai dengan kemampuan keuangan masyarakat, dimana tujuan belajar adalah memperoleh proses perubahan karakteristik manusia menjadi orang yang berbudi, berakhlak mulia, sopan santun, mampu mandiri dan cerdas sesuai dengan fitrah kemanusiaan.
Pengendalian Mutu
Sebagaimana dikemukakan pada uraian di atas bahwa di Indonesia sejak beberapa dasa warsa yang lalu telah muncul berbagai sekolah unggul pada berbagai kota besar/ kecil serta kabupaten, sebagai suatu alternatif untuk peningkatan mutu pendidikan. Uraian berikut ini akan mencoba mengkritisi sekolah sekolah unggul tersebut dipandang dari segi pengendalian mutu pendidikan.
Sekolah unggulan di Indonesia pada umumnya membutuhkan legistimasi dari pemerintah bukan atas inisiatif masyarakat atau pengakuan masyarakat. Sehingga penetapan sekolah unggul cenderung bermuatan politis dari pada muatan edukatifnya. Apabila sekolah unggul didasari atas pengakuan masyarakat maka pemerintah tidak perlu mengucurkan dana lebih kepada sekolah unggul, karena masyarakat akan menanggung semua biaya atas keunggulan sekolah itu, apalagi seiring dengan paradigma desentralisasi pendidikan yang dikembangkan dewasa ini dengan pengembangan MBS (manajemen Berbasis Sekolah) dan SBM ( Sekolah Berbasis Masyarakat). Oleh karena itu kebanyakan sekolah yang diunggulkan itu belum mempunyai keunggulan tertentu sebagaimana yang diharapkan.
Sekolah unggulan hanya melayani golongan kaya, sementara itu golongan miskin tidak mungkin mampu mengikuti sekolah unggulan walaupun secara akademis memenuhi syarat. Untuk mengikuti kelas unggulan, selain harus memiliki kemampuan akademis tinggi juga harus menyediakan uang jutaan rupiah. Artinya penyelenggaraan sekolah unggulan bertentangan dengan prinsip equity yaitu terbukanya akses dan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk menikmati pendidikan yang baik. Keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan ini amat penting agar kelak melahirkan manusia-manusia unggul yang memiliki hati nurani yang berkeadilan bukan mengedepankan puak atau golonganku yang berdarah biru, merah, hijau, dan lain-lain.
Profil sekolah unggulan kita hanya dilihat dari karakteristik prestasi akademik yang tinggi berupa Nilai Ujian Nasional tinggi, ketenagaan berkualitas, sarana prasarana yang lengkap, dana sekolah yang besar, kegiatan belajar mengajar dan pengelolaan sekolah yang kesemuanya sudah unggul. Wajar saja bila bahan masukannya bagus, diproses di tempat yang baik dan dengan cara yang baik pula maka keluarannya otomatis bagus. Yang seharusnya disebut unggul adalah apabila masukan biasa-biasa saja atau kurang baik tetapi diproses ditempat yang baik dengan cara yang baik pula sehingga keluarannya bagus (Uswatuddin-Kepala SMAN 1 Takengon, September, 2011). Proses pembelajaran yang baik akan melahirkan kader bangsa yang berkualitas dalam rangka merubah perkembangan bangsa ke depan.
Oleh karena itu penyelenggaraan sekolah unggulan harus segera direstrukturisasi agar benar-benar bisa melahirkan manusia unggul yang bermanfaat bagi negeri ini. Bibit-bibit manusia unggul di Indonesia cukup besar karena prefalensi anak berbakat sekitar 2 persen, artinya setiap 1.000 orang terdapat 20 anak berbakat (Daniel dan Kauffman, 1991: 6-7).
Saya kira, pelaku pendidikan daerah kita harus intropeksi diri bagaimana sebenarnya memandang, mengamati, merencanakan, memberdayakan, dan mengkondisikan sekolah unggul sesuai dengan karakter bangsa sehingga anak didik memiliki life skill yang berguna baik bagi dirinya sendiri maupun kepada masyarakat banyak.(ihsandarul[at]gmail.com)
*Guru SMA Negeri 1 Takengon