BERTEMPAT di Gedung Teater Arena Mursal Esten ISI Padangpanjang, Kamis (10/01), jeritan serune kalee dan dentuman rapaāi yang dimainkan Alung bersama Munzir Siron menandakan pertunjukan monolog Cantoi dimulai. Keadaan Cantoi memang mengejutkan para penonton. Dikarenakan Cantoi datang dari tengah-tengah penonton. Sebelum Cantoi memasukki pentas ada teriakan dari penonton,Ā āAsalamualaikumā.
Awalnya penonton terheran-heran terhadap Cantoi, sebab Cantoi menyalami beberapa penonoton mulai dari kiri panggung, kanan, dan tengah. Setibanya di tengah Cantoi langsung naik ke atas pentas. Penonton bertanya-tanya siapakah dia, apakah dia sang aktorĀ Cantoi tanya penonton. Ternyata dugaan para penonton benar. Cantoi yang dimainkan oleh Teuku Afifuddin mahasiswa semester 1 jurusan teater ISI Padangpanjang memukau para penonton.
Dengan seragam Putih Hitam, kopiah miring diĀ kepala, dan selempangan sarung, serta dilek ke-Aceh-annya Cantoi yang khas dalam memperkenalkan diri ketika menceritakan keberangkatannya dari Tanoh Rencong, Aceh, merantau ke negeri Orang yaitu Ranah Minang. Awalnya penonton tertawa dengan dialekĀ pada setiap dilogĀ cantoi ketika Teuku Afifuddin yang akrab di panggil Teuku Afeed menjadi Cantoi, tapi ciri khas itulah yang menunujukkan bahwa dari daerah mana sang tokoh berasal. Namun ketika Ia berubah menjadi Pendekar, Ulama maka berubah pulalah dialeknya.
Inilah kekuatan Afifuddin seorang aktor dalam memainkan naskah monolog berjudul Hikayat Cantoi Karya Sulaiman Juned. Karya ini menghadirkan tokoh yang memiliki kompleksitas sejarah dan psikologis. Cantoi seorang lelaki Aceh yang bekerja sebagai guru dipaksa oleh situasi untuk menjadi āpak turutā agar jiwanya selamat.Ā Hal ini terjadi karena interaksi sosial dari konflik yang terjadi di Aceh. Konflik seperti itu tentu terjadi tekanan-tekanan yang dialami setiap waktu. Perubahan karena tindakan sosial menyebabkan lahirnya ideology dan terjadi restrukturisasi terhadap tingkah laku masyarakat. Sulaiman Juned sangat cerdas bermain dalam naskah lakon iniĀ dengan gaya Komidi Satire.
Afeed memainkan Hikayat CantoiĀ mengawinkan konsepsi teater modern dengan lokalitas teater tutur Dangderia. Konsepsi bloking dalam teater modern dengan melakukan pergerakan-pergerakan dan dalam pergerakan itu lahirlah bloking yang berasal dari seudati. Afeed juga memakai kekayaan musik perkusi tubuh. Perkusi tubuh ala Aceh menimbulkan bunyi musik dengan gesekan tubuh yang dijadikan instrumen. Selain itu ada musik RapaāI dan Serunekale.Ā Inilah kekuatan naskah lewat Kramagong dan catatan samping.
Cantoi dimulai aktingnya dengan memgabarkan perjalanan kota-perkotaĀ dari Aceh sampai ke Medan Sumatra Utara. Perjalanan cantoi menumpang bus PMTOH di visualisasikan dengan kupiahnya, dan mengahadirkan suara klakson bus tersebut dengan menggunakan serunee kale yang di mainkan oleh padlon. Cantoi bukan hanya menceritakan tentang kejadian pada masa konflik tempo lalu yang ada di Aceh, tetapi Cantoi juga menceritakan apa yang didapatkan di negeri orang. Kehadiran Cantoi ke ranah Minang membuat para penonton senang. Pesan Cantoi terhadap penonton yang sangat menarik pada pertunjukan tersebut ājadilah diri sendiri, dan jangan pernah jadi orang lain misalnya Geucik Cantoi, Ustad Cantoi, Camat Cantoi, dosen Cantoi, Bupati Cantoi, Gubernur Cantoi, Menteri Cantoi, apalagi Presiden Cantoi. Contohnya seperti Cantoi, Cantoi tidak pernah mau menjadi orang lain. Cantoi ya Cantoi, Sekali Cantoi tetap Cantoi ujarnya sambil berteriak. Hidup Cantoi. (Iwan_Rantow)