Penyair Sali Gobal, Memejam Mata Mencipta Puisi

Oleh L.K.Ara

Hidup sebagai anak yatim sejak kecil Sali Gobal selalu merasa sepi. Ketika sudah dewasa ia tinggal dikebun disebuah lembah. Tetangga disekitar itu ada tapi jauh. Ia dicekam rasa sepi. Lalu ia menulis puisi berjudul Rebe Panang. Ia tak tahan dihunjam rasa sepi. Ia jual kebun itu. “Saya ingin berkumpul-kumpul ramai-ramai pergi ke air menjala ikan, lalu makan bersama-sama,” kata Sali Gobal. “Sebab kita lihat dalam keadaan ramai-ramai ada pikiran-pikiran yang tumbuh di antara teman-teman. Dalam keadaan sepi saya tak tahan. Tapi tak takut mati.”

Sali Gobal dikenal di Gayo, Aceh Tengah sebagai penyair yang mempunyai puisi didong yang sangat kuat. Ia telah menulis ratusan puisi dan didong-didongnya telah diterbitkan dalam antologi “Kemara” (l979), “Manuk” (l979) dan lain-lain.

“Bagaimana cara Anda menciptakan puisi didong?”
“Cara menciptakan puisi didong buat saya, dengan memejamkan mata, kubayangkan semuanya. Aku selalu teringat pada teman-teman terdahulu, teman-teman yang sudah pergi merantau. Saya rasa mereka tak teringat lagi pada tanah Takengon dan banyak teman-teman pergi, tapi anehnya tak kembali. Jadi masalah itu yang saya sesalkan. Jadi lagu didong itu merupakan rasa sesal saya. Teman-teman yang pergi seperti air terus saja mengalir tidak ingat kembali ke hulu.”

“Anda mencipta pada saat bagaimana? Apakah malam hari atau pagi atau siang hari dan sebagainya? “Saya mencipta malam atau tidak malam, sepi atau ramai itu bisa saja. Pernah saya menulis dalam keadaan ramai. Ada memang kadang-kadang orang dalam sepi dulu baru mencipta, saya tidak. Dalam keadaan ramai pun saya bisa mencipta. Sebab ketika saya memejamkan mata, saya sudah memusatkan pikiran.”

“Saya tertarik sekali pada dua buah puisi Anda, Jejari (jari) dan Roda (kincir). Bagaimana Anda menciptakan Jejari? Idenya tergerak oleh apa, ketika timbul rencana menciptakan puisi itu? “Sebenarnya Jejari ingin memperlihatkan keadaan dimana kadang-kadang kacang lupa akan kulitnya. Pencipta tak bisa memperlihatkan lain, kecuali ia membuat didong. Hasilnya mungkin berupa keluhan.”

“Ada sementara peminat didong bertanya-tanya apakah Jejari bukankah berupa protes yang keras dengan bahasa yang indah? Dalam hal ini unsur apa yang menjadi perhatian Anda. Apakah Anda terbayang masyarakat yang kurang selaras misalnya? “Saya tak bermaksud demikian. Saya kalau dendam biasanya tak lama. Kalau berupa didong yang sudah diciptakan ini dalam puisi dan lagu itukan berupa dendam akan lama. Pada saya tak ada maksud protes keras. Tapi hanya sebagai bayangan begitu saja. Saya menampilkan secara kelakar. Demikian juga didong Roda. Didong inipun berupa keluhan. Roda, ini merasa sakit, itu merasa sakit. Perasaan hati yang menderita. Bukan maksud hati, seseorang akan diancam, bukan. Saya merasa mengungkapkannya pelan saja, tetapi kalau ada yang merasa kena secara keras itu saya tidak tahu.”

KINCIR BERKATA

“Kapan Anda menciptakan Jejari dan Roda?”
“Roda saya ciptakan di Tensaran, Kampung Bintang dalam hutan. Di situ dalam sebuah lembah saya membuat roda mainan lalu berpikir. Saat itu saya iseng dan melalaikan hati. Tangan saya sebelah kanan sudah cedera, apa yang bisa saya buat, coba-coba dan hasilnya roda mainan. Jejari saya ciptakan tahun l959 di Genting Gerbang. Saat itu kami baru saja pindah dari Bintang. Di Genting Gerbang ada sebuah kolam. Disitu saya lihat simpil (sebangsa binatang pemakan ikan). Tiba-tiba entah bagaimanamuncul pemikiran saya pada jejari. Dulu bersama Aman Sepiah Pulu Padang dan Ateb Bensu kami sering berbincang-bincang tentang jejari. Sebab jejari ini tentu saling rebut-rebutan. Dalam Kiraah ada juga dalam bahasa Arab.”

“Pernah dilagukan dimana saja lagu Roda dan Jejari?”
“Di Takengon tahun l960 saat itu masyarakat sudah rindu pada saya dan penonton ramai sekali. Saya diminta melagukan sebuah didong dan saya membawakan lagu itu. Ketika naik pentas nampak penonton banyak sekali. Siang hari waktu itu saya bawa lagu Roda. Mungkin ketika itu orang bergairah menyaksikan pertunjukkan itu, terutama bukan karena lagu Roda, tetapi rindu pada saya yang sejak sembilan tahun sudah menghilang dari tengah masyarakat Takengon. Malam itu acara hiburan berlangsung lagu Roda saya tampilkan pula. Lagu itu sebenarnya saat itu saya tujukan kepada Moh Daud Bintang SH. Saya bersama Kodim Aceh Tengah saat itu kampanye memberitahukan bahwa keadaan sudah aman. Setiap muncul di pentas saya selalu membawa lagu Roda. Baik di kampung Bintang, Isaq, Angkup, Reronga, Lampahan, Pegasing, Simpang Tige, dan lain-lain. Pada saat itu Ceh Daman menampilkan lagu Perahu. Rombongan kami pada waktu itu terdiri dari tujuh sampai delapan mobil.”

“Kalau misalnya ada pertanyaan, didong apa pertama Anda ciptakan? Apakah Anda ingat, puisi yang pertama-tama sekali diciptakan? “Didong yang pertama saya buat masih saya ingat. Judulnya Gelak Gelukke Lagu Bujang Kemara. Setelah itu baru lahir lagu Genit Atom. Saya dulu memang rajin urusan seni didong ini. Pernah selama tiga puluh hari selama bulan puasa di kampung Kung, Ceh To’et dan Talep dari grup Siner Pagi saya ajak kerumah berdidong dan bersaer. Di jalanan saya berdidong dirumah bersaer. Lama-lama saya terpikat kepada didong.”

“Seingat Anda kapan mulai bertanding didong dan dengan grup mana?”
“Kami mengadakan pertandingan didong pada saat pesta perkawinan di Kampung Celala. Jalan ke kampung itu masih melewati hutan rimba. Waktu itu zaman Jepang. Jalan belum dibuka kearah sana. Di Celala ada empat grup didong, dari kampung Arul Kumer, Kampung Celala, Kampung Berawang Gading dan Paya Kolak. Kebetulan lawan diundang dari grup Kemara Bujang. Pertunjukkan ini diadakan untuk mengumpulkan dana pembangunan sekolah di Celala. Dalam pertandingan di Celala inilah pertama kali saya membukakan mulut berdidong. Sebelumnya di kampung Gelelungi saya berdidong, tetapi tidak bisa membuka mulut. Malu, kalau membukakan mulut rasanya malu sekali.”

GEDUNG SEKOLAH

“Jika diingat-ingat sudah berapa kali Anda mengikuti pertandingan didong? “Wah itu jumlahnya sudah sulit menghitungnya. Begini saja, kampung yang tidak kami kunjungi tinggal sedikit. Pertama Nosar ke dua Ketol. Sedangkan kampung lainnya di seluruh Aceh Tengah sudah kami kunjungi untuk mengikuti pertandingan didong. “Selama mengikuti pertandingan didong, umumnya pantia pengundang mengumpulkan dana untuk keperluan apa saja? “Kami bertanding didong untuk mengumpulkan dana pembangunan mesjid, gedung sekolah, jembatan, jalan, rumah sakit dan lain-lain.”

“Kira-kira sudah berapa banyak sekolah yang sudah dibangun selama pertandingan grup Kemara Bujang yang Anda pimpin dengan grup didong lainnya? “Saya kira cukup banyak, misalnya sekolah di kampung Bintang, Toweren, Gelelungi, Simpang Kelaping, Angkup, Celala, Atang Jungket dan lain-lain.”

“Sekarang tentang beberapa puisi Anda. Puisi Umah (rumah) nampaknya memberikan kritikan kepada masyarakat bagaimana, apa benar? “Begini didong Umah itu ingin memberikan sentilan. Tapi juga hendaknya masyarakat tidak cepat teringat. Dan kepada pendengar yang menyelami maknanya lebih jauh, itu terserah jugalah.”

“Dalam didong Uten (hutan) terasa ada kesulitanmenangkap isinya, apa bisa dijelaskan sedikit? “Didong Uten, wah susah menerangkannya. Hutan tentu suasana dalam hutan begitulah adanya. Di dalam hutan keadaan paling sedih adalah sore hari. Orang-orang pulang kerumah di kampung, kami pergi ke gunung, jadi terpisah, rumah dengan gunung, ramai dengan sunyi.

“Didong Tanoh Takengon menurut hemat saya liriknya sangat kuat untuk menggambarkan keindahan alam Takengon. Dimana anda ciptakan? “Didong Tanoh Takengon saya ciptakan dalam rumah penjara di Pematang Siantar tahun l957.”

“Yang menggerakkan Anda untuk menciptakan itu sebenarnya apa? Rindu pada Takengon barangkali? “Saya menciptakan didong Tanoh Takengon karena saya rindu pada teman-teman. Bukan orang rindu atau aku rindu pada Takengon. Perasaanku seolah-olah aku berada di Takengon, rindu sekali aku kepada orang-orang yang sudah pergi dari Takengon.”

“Apa bisa menyebutkan didong ciptaan Anda yang membuat Anda puas? “Wah pengarang tak pernah merasa puas. Sebentar puas kemudian ada lagi kekurangannya. Jadi tak pernah merasa puas. Saya tak pernah merasa puas. Dan juga tak bisa saya sebut didong mana yang bisa memberikan sedikit kepuasan. Yang jelas banyak yang kurang bagus, hanya sedikit yang bagus.” (BLOG L.K ARA)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.