
Oleh: Drs. Jamhuri,MA*
BANYAK buku dan tulisan yang membahas tentang pemenuhan kebutuhan dalam rumah tangga, tapi hampir tidak ada yang membahas tentang pengkategorian kebutuhan dalam kaitannya dengan tujuan pensyari’atan dari hukum Islam. Tujuan pensyari’atan hukum Islam yang dimaksud sebagaimana di pahami oleh pada ushuli (ahli ushul fiqh) adalah dharuriyah, hajjiyah dan tahsiniyah, atau boleh disamakan dengan kebutuhan yang bersifat primer, skunder dan tersier kendati tidak begitu persis sama.
Kebutuhan yang bersifat dharuri adalah keperluan kebutuhan yang harus dipenuhi dan bila tidak dipenuhi maka kehidupan berumah tangga tidak bisa berjalan sampai ketujuan. Kendati Hukum Islam menjadikan kasih sayang semua orang yang ada dalam rumah tangga sebagai prinsip yang tertinggi sesuai dengan harapan Tuhan yang termuat dalam al-Qur’an “mawaddah wa rahmah” dengan tidak mengabaikan kerelaan suami dan isteri yang menikah. Terkadang kasih sayang ini sangat sulit diterjemahkan dalam kehidupan berumah tangga pada zaman modern sekarang ini, karena standar yang digunakan oleh kebanyakan orang menjadi lebih sempit dan berubah.
Al-Qur’an dan hadis Nabi menjadikan standar kasih sayang dalam makna yang luas mencakup idealis dan meterialis secara berimbang, Nabi menganjurkan kepada seseorang untuk menikah dengan pertimbangan kemampuan (secara fisik dan mental) dan bila belum sanggup maka dianjurkan untuk menahan diri dengan cara berpuasa.
Dengan tidak memperhatikan kematangan mental secara penuh dan pada saat ini menjadikan kemampuan materiil lebih utama, nampak kepermukaan bahwa standar kebahagiaan sangat ditentukan oleh materi. Negara juga mengajak kita untuk menetapkan standar kebutuhan dengan kategori primer dengan terpenuhinya sandang, pangan dan papan, dan dalam perkembangannya untuk saat sekarang ini tidak lagi memadai lagi dengan tiga hal tersebut sehingga memerlukan penambahan dengan kebutuhan terhadap kesehatan dan pendidikan. Sedangkan selain yang lima tersebut dikelompokkan kepada kebutuhan penunjang, seperti perlengkapan rumah tangga yang digunakan sehari-hari dan sebagai pelengkap seperti kenderaan dan hiburan.
Untuk pemenuhi kebutuhan ini tulisan ini ingin melihat dari teori skala prioritas yang berkaitan dengan tanggung jawab dalam keluarga, dengan membaginya kepada :
Pertama, pemenuhan kebutuhan bersifat dharuri. Untuk pemenuhan kebutuhan ini semua anggata keluarga (utamanya) suami isteri berkewajiban untuk mengadakannya. Sebagai contoh : apabila beras tidak ada di rumah maka suami atau isteri tidak perlu mendapat persetuan salah satu untuk membelinya dan bila isteri mempunyai uang maka ia juga sama dengan suami dalam kewajiban pengadaannya.
Demikian juga dengan biaya pendidikan anak, suami isteri mempunyai kewajiban yang sama dalam pembayaran atau pengadaan biayanya. Bila anak memerlukan uang untuk membayar uang kebutuhan sekolah siisteri boleh menggunakan uang hasil usaha suami dengan tidak perlu meminta izin atau persetujuan dari suami dan sebaliknya juga bila isteri punya uang dari hasil usaha sendiri, suami boleh menggunakannya tanpa meminta pendapat atau izin isteri atau suami yang menggunakan uangnya untuk kebutuhan pendidikan anak tanpa persetujuan isteri, bila isteri memiliki uang maka isteri juga mempunyai kewajiban yang sama seperti suami.
Kewajiban yang sama antara suami dan isteri dalam menggunakan biaya sebagaimana pada pendidikan juga berlaku untuk kesehatan keluarga, dimana biaya pengeluaran untuk kesehatan tidak perlu memperhitungkan uang siapa dan tidak juga perlu menunggu izin atau persetujuan karena itu termasuk kebutuhan dharuri. Tidak hanya untuk tiga hal tersebut tetapi juga untuk kebutuhan sandang dan papan dalam kaitan dengan kebutuhan dharuri.
Kedua, pemenuhan kebutuhan bersifat hajji. Berbeda dengan kebutuhan dharuri (primer) di atas, untuk kebutuhan hajji (penunjang) seperti lemari makam, meja makan, perabot rumah dan lain-lain yang dijadikan sebagai pendukung. Bila ingin membelinya maka perlu mendapat persetujuan dari suami jika isteri yang akan membeli dan perlu persetujuan isteri apabila suami yang hendak membeli.
Ketiga, pemenuhan kebutukan bersifat tahsini (pelengkap). Kebutuhan ini tidak dinggap mendesak dan juga tidak begitu dibutuhkan, mereka yang tidak memiliki atau tidak dapat memenuhinya tidak merasakan kesulitan, malah apabila seseorang yang memilikinya sedangkan padahal belum pantas maka orang lain akan mencemoohkannya atau juga dapat mengganggu kebutuhan yang bersifat dharuri dan hajji. Seperti membuat kolam ikan di pekarangan yang sempit, membeli barang harus di kota dan toko tertentu padahal di kota dan toko terdekat juga memiliki kualitas dan harga yang sama, membeli barang mewah kendati merupakan kebutuhan yang mendesak tetapi dari sisi nilai dianggap sebagai tahsini. Untuk memenuhi kebutuhan yang ketiga ini maka tidak cukup dengan inisiatif sendiri dan juga tidak cukup dengan meminta restu atau persetuan suami atau isteri, tetapi untuk hal ini diperlukan musyawarah dan kesepakatan.
Skala Perioritas pemenuhan kebutuhan keluarga dalam kajian hukum keluarga pada saat ini sangat diperlukan, karena perkembangan orintasi pemikiran yang lebih mengedapkan materiil hampir tidak bisa dibendung. Di sisi lain nilai-nilai aqidah dan moral semakin merapuh pada setiap jenjang staratifikasi masyarakat, akibatnya banyak terjadi putusnya perkawinan disebabkan oleh siapa yang berkewajiban memenuhi kebutuhan dalam keluarga dan siapa juga yang berhak menggunakannya.(jamhuriungel[at]yahoo.co.id)
* Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh