Oleh: Joni MN Aman Rima*
ORANG Gayo atau masyarakat Gayo memiliki edet yang merupakan turunan dari konsep agama Islam, seperti yang sering dilantun-lantunkan masyarakat dan para tokoh masyarakat di dataran tinggi ini, yaitu; “syari’et berules, edet besebu”, ini menegeskan bahwa adat dan syari’et (dalam hal ini agama Islam) bernuansa islam, bahwa hukum edet merupakan implementasi dan yang dibudayakan pada praktik berkehidupan dan peradaban yang bersumber dari ajaran-ajaran yang ada pada agama Islam. Konsep berkehidupan yang telah dibudayakan merupakan perkembangan akal dan budi yang menyelaraskan kehidupan dan lingkungan dari hal ini timbulah beberapa perinsip yang bersifat kearipan lokal (contoh; penerapan “sumang 4” di dalam praktik berkehidupan), semangat dan usaha masyarakat Gayo untuk mencapai kehidupan yang bermakna.
Untuk mencapai kehidupan yang bermakna tentu kita tidak terlepas dari membudayakan kebermanfaatan kita terhadap sesame, oleh karena itu masyarakat Gayo etos kerja dan etos menuntut ilmu merupakan bahagian dari pada kepribadiannya. Namun pada saat ini akibat pengaruh budaya luar etos tersebut sudah mulai terkikis.
Budaya dalam hal ini berasal dari dua suku kata, yaitu; budi dan daya. Budi menunjukkan bahwa sebagai aspek yang terdapat pada dalaman manusia tiga nilai manusia yaitu; cipta, rasa, karya. Hal tersebut harus dapat berinteraksi dengan lingkungan dan hal tersebut memiliki sifat yang komplementer guna meraih kehidupan yang bermakna. Kemudian hasil cipta itu dapat bernilai karena segala sesuatu yang sudah melekat pada sekelompok masyarakat yang tidak dapat ditinggalkan guna menjalani proses hidup dan mencapai tujuan hidup, maka karenanya ia akan dapat bermanfaat sendiri dan orang lain.
Kemudian, kristalisasi dari pda nilai-nilai budaya sudah tercermin dalam adat, istiadat, dan resam, dan hal ini merupakan akar dari identitas suku Gayo, maka perlu ditumbuh-kembangkan serta dilestarikan agar nilai-nilai tersebut tidak terkontaminasi dari terpaan budaya-budaya luar. Untuk menghindari terjadinya akulturasi yang bersifat negative perlu adanya langkah-langkah (pemikiran-pemikiran) di dalam melestarikannya secara prinsip, sebagai berikut:
Penggalian kembali yang hilang (Osop beperah-beluh bertunung)
Budaya yang masih eksis berkembang perlu diadakan penguatan (I pegeri, I jamuri, igelasahi).
Pengembangan budaya itu perlu adanya pelestarian (program pelestaraian/pengawetan) (I timang beret I juel merege)
Cipta; merupakan, kesadaran manusia untuk menyadari bahwa adanya hidup, dan daya cipta ini merupakan anugrah yang besar, yang telah diberikan oleh yang Maha Kuasa kepada Manusia atau disebut dengan potensi diri manusia itu sendiri. Dengan adanya unsur cipta maka kita menyadari adanya kita karena sang Khaliq yang merupakan penciptanya. Ketika kita dapat menyelaraskan ketiga aspek tersebut, maka kita akan dapat merasakan kebesaran Allah, keselarasan ini merupakan keselarasan perbuatan, perkataan, serta dapat dan mampu memperaktikannya dengan baik melalui pengalaman hidup. Hasil ciptaan tersebut mempunyai nilai yang sangat tinggi dan sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran agama kemudian dapat dimanfaatkan oleh orang lain.
Adapun yang dimaksud dengan Rasa adalah; setiap apa-apa yang dilakukan dan yang dikatakan tidak boleh hanya berpihak atau berpatokan kepada satu sisi, seperti yang ada di dalam ungkapan-ungkapan bijak, yaitu; “pakailah kacamata orang lain untuk melihat orang lain” . dalam hal ini tentu mengekspresikan, bahwa; apa-apa yang tidak orang lain suka tentu kita juga tidak menyukainya, apabila orang merasa senang kalau kita bertutur kata baik, tentu kita juga meyukainya, dan apa-apa yang menyakitkan orang lain dalam hal ini kita juga pasti demikian. Jadi, pertimbangan tentang rasa sangat penting diperhatikan di dalam menjalani kehidupan yang arahnya kepada kebermaknaan hidup.
Adapun yang dimaksud dengan Karsa adalah; hal ini ada dalam bentuk keinginan yang akan diaplikasikan, sebagai contoh; nilai-nilai yang ada di dalam ungkapan-ungkapan bijak (Peri Mestike), seperti; “keramat mupakat, behu berdedele”, nilai yang terimplikasi secara implisit di dalam ungkapan tersebeut, merupakan seruan bahwa dengan kebersamaan segala sesuatu itu akan dapat dicapai atau diraih, misalnya; ada sebuah ide yang akan diaplikasikan menjadi suatu pedoman praktik berkehidupan, hal ini harus melalui proses mupakat dengan cara duduk bersama guna untuk meraih “keramat” atau dapat dimaknai ‘dapat dijadikan suatu konsep yang benar-benar relevan dan bernilai baik untuk bersama’ sehingga dengan adanya kebersamaan hasil kesepakatan yang sudah dikeramatkan tersebut dapat menjadi kekuatan secara bersama yang dapat dijadikan suatu pedoman hidup. Langkah pertama adanya suatu gerakan yang bersifat komperhensif, dan melalui sosialisasi guna menumbuhkan persepsi anggota masyarakat terutama para generasi muda dalam hal penghayatan dan pembudayaan nilai-nilai adat dan budaya Gayo secara kafah.
Jadi, dari ungkapan tersebut dapat dimaknai bahwa, para leluhur orang Gayo dahulu menginginkan segala sesuatu yang diputuskan untuk kepentingan bersama harus melalui musyawarah dan mupakat, agar tidak ada misi atau kepentingan pribadi yang masuk kedalam suatu kebijakan tersebut, sehingga dapat mencapai kehidupan bermakna yang bermanfaat bagi orang lain. Jadi, domain karsa ini merupakan kebijakan seseorang untuk meng-elaborasikan antara daya cipta dan daya rasa kedalam praktik kehidupan dengan memfungsikan keselarasan Intlektualitas, Emosional, dan Spiritualitas yang sudah menjadi bawaan sejak lahir pada masing-masing manusia itu sendiri.
Teraplikasinya hal tersebut di atas ke-dalam praktik kehidupan manusia sehari-hari tentu hal ini akan menimbulkan dampak yang positif, karena hal tersebut merupakan prinsip kerjasama (PKs) yang ada pada masyarakat Gayo untuk menjadikan diri lebih bermanfaat bagi orang lain. Dengan pengkondisian nilai-nilai budaya Gayo akan dapat memberi peluang dan penguatan pelaksanaan syari’at Islam secara kafah dan secara riil, maka teraplikasilah kata-kata bijak yang berupa “adat bersendikan saraq, saraq bersendikan kitabullah” (adat dengan agama lage zet ngon sifeut). Di samping itu, masyarakat Gayo juga memiliki konsep-konsep untuk mencapai keselarasan di dalam praktik berkehidupan bersama, seperti; “umah mupepir, hamal bertabir, cerak berpikir, lut mupasir”, hal ini yang menopang ungkapan “remalan bertungket, peri berabun”, untuk tujuan keberhasilan berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesama masyarakat tutur (speech community).
Umah mu-pepir; ‘rumah memiliki (*teras)’, setiap rumah pasti memiliki “pepir” atau seng yang melebihi dinding yang berada di posisi samping (kanan-kiri) dan di depan di belakang rumah, dan panjangnya berpareasi, ada yang 1,5 m, ada yang 2 m dari batas dinding luar, dan seterusnya, yang fungsinya untuk berteduh dan apabila hujan dan panas, dan air hujan atau panas teriknya matahari tidak langsung menyentuh dinding rumah, selebihnya apabila ada orang yang tiba-tiba kehujanan, mereka bisa berteduh sementara hujan berhenti, dan lainnya.
Maksudnya, kita hidup harus dapat bermanfaat dan melindungi bagi orang lain, agar kehidupan kita dapat bermakna, dan kita harus dapat mengayomi orang – orang yang membutuhkannya dan juga tidak boleh tutup mata kepada orang – orang yang membutuhkan bantuan. Ketika nilai filosofi tersebut diterapkan kedalam praktik kehidupan, misalnya ketika berinteraksi dan berbicara dengan sesama anggota masyarakat, maka kita harus memperhatikan situasi dan kondisi mitra tutur (O2) dan menerapkan prinsip accounting atau pelibatan kebersamaan, yaitu; keramah-tamahan, serta tidak menganggap remeh (spele) para penutur (O1) harus selalu melindungi dan memperhtikan hak-hak dan kesempatan mitra tutur untuk berbicara (hak berbicara dan mendengarkan) serta tidak mempermalukan mitra tutur.
Hamal betabir; ketika hendak berkomunikasi dengan O2 dan yang akan diperhatikan oleh O3 (audiences) atau Speech Community, kehati-hatian saat memberi informasi dan kebenaran (quality) dari isi tuturan yang akan diberitahukan adalah sangat perlu diperhatikan guna untuk kelancaran peristiwa komunikasi dan kesuksesannya. Tuturan yang akan kita digunakan ketika berkomunikasi harus dipikirkan terlebih dahulu atau penutur diharapkan dapat memahami situasi dan kondisi mitra tuturnya, apa, siapa, kepada siapa, bagaimana, dimana dan kapan tuturan tersebut digunakan atau menggunakan.
Kemabali kepada rasa manusia, artinya setiap tuturan yang akan dituturkan diharapkan dapat menjaga kedamaian, tidak memaksa, dan dapat menciptakan ketenangan mitra tutur, tentu hal ini tidak terlepas dari background knowledge atau pengetahuan dasar penutur atas konteknya. Pikirkan dahulu sebelum mengeluarkan tuturan kepada O2 dan/ atau O3. Karena apabila hal ini tidak dijadikan dijadikan pemahaman dasar penutur, maka akan dapat berdampak negative, seperti pepatah yang pernah di lantunkan oleh Almarhum Daman, yaitu; “awah-mu kin kule-mu” yang artinya ‘mulut kamu dapat menjadi harimau kamu’ yang bermakna, dari mulut datangnya penyakit.
Melalui mulut sumber informasi dan ungkapan – ungkapan yang lain dikeluarkan, mulut merupakan media dari tuturan yang dikeluarkan kepada O2 dan/atau O3, oleh sebab itu kualitas serta kuantitas dari tuturan harus benar-benar diperhatikan dan dijaga, karena kata-kata itu bisa menjadi lebih tajam dari pedang, seperti memberi informasi (contoh; dia kan nggak tau apa-apa dengan hal itu/ yang dia katakana itu semuanya salah) kepada seorang atasan dengan maksud menjelek-jelekan atau menjatuhkan orang lain demi mendapatkan jabatan atau perhatian dari atasan (mengorbankan orang lain demi meraih keuntungan pribadi) atau membuat lebel-lebel lainnya, ungkapan atau lebel sejenis inilah yang dapat menjadikan ungkapan atau kata-kata yang bisa menjadi lebih tajam dari pedang dan akan menjadi harimau yang akan menggerogoti diri sendiri. Jadi, perkataan atau ungkapan (lebel) yang akan dituturkan harus dilihat kedepannya dan harus dipikirkan terlebih dahulu sebelum ungkapan (lebel) tersebut dituturkan, karena kalau tuturan tersebut sudah dituturkan ini sudah merupakan hak orang lain bukan milik si penutur lagi, sewajarnyalah hal tersebut dapat dijaga guna mencapai kehidupan bermakna.
Cerak berpikir; artinya ‘ berbicara berpikir’ dianjurkan sebelum mengeluarkan ungkapan atau kata yang akan dikomuniksikan diharapkan dapat dipikirkan terlebih dahulu, apa ungkapan dan kepada siapa ungkapan tersebut ditujukan, hal ini sudah dikuatkan dengan tuturan yang berasal dari leluhur masyarakat Gayo, yaitu; “warus barang kapat wajib mu-tempat”, ketika bertutur tidak boleh sembarangan, warus barang kapat – dapat bermakna lebih kurang yang harus bisa sembarangan tempat, kalau yang wajib ada tempatnya’, maksudnya ketika sesuatu itu di dalam keadaan terpaksa atau bersifat emergensi sesuatu yang masuk ke dalam domain kemali, atau jis dan juga sumang pada saat-saat tertentu dapat dilakukan, seperti contoh berikut;
antara anak menantu dan bapak mertua, ketika ada salah satu dari anggota keluarga dalam kecelakaan dan sudah berada dirumah sakit, maka anak menantu ini menjumpai bapak mertua, kebetulan berjumpa ditengah perjalanan. Di sini si anak menantu dapat memegang tangan bapak mertua dan/atau berbicara dekat dengan bapak mertua tersebut, dan lainya).
Lut mupasir; ‘laut ada pasirnya’ setiap laut pasti ada pasirnya, tidak ada laut yang tidak memiliki pasir. Keberadaan pasir di laut, ada yang berada di dalam dasar laut, dan ada juga terdapat di pinggir laut. Keberadaan pasir pada laut ini menandakan bahwa dapat dimaknai setiap manusia itu memiliki kekurangan atau tidak semua manusia itu sempurna. Dalam hal ini orang Gayo tidak tertutup (implisit) tetapi terbuka, karena mereka menyadari bahwa setiap manusia itu memiliki kelebihan dan kekurangan serta harkat dan martabat. Masyarakat Gayo dalam kontek ini tidak ada berpikir secara diskriminatif, sebagai contoh riil; orang Gayo tidak membatasi berkeluarga dengan suku-suku yang ada di luar dengan suku Gayo, asalkan tidak berbeda akidah (Agama).(joniakuwoy[at]yahoo.co.id)
*Akademisi, tinggal di Takengon