Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA[*]
Kehidupan para tokoh dicatat dalam sejarah sejak dari awal adanya manusia terlebih bagi mereka yang mempunyai karya, karena melalui karya yang ditinggalkan orang sangat mudah dikenal baik oleh orang semasanya atau oleh orang-orang sesudahnya. Ketokohan bersifat universal tanpa mengenal batas waktu, tempat dan agama.
Seperti tokoh filsafat Socrates, Aristoteles, Plato dan dan masih banyak tokoh filsafat lainnya masih tetap dikenang, karena karya mereka selalu jadi panduan atau rujukan sampai saat ini behkan untuk masa mendatang. Tokoh sosial seperti E. Durkhem, Maks Waber dan yang lainnya tetap menjadi sumber inspirasi dalam ilmu sosial dan kemasyarakatan seolah para peneliti sosial dan kemasyarakatan tidak bisa keluar dari bingkai kerangka yang dibuat.
Tidak terkecuali tokoh-tokoh agama dalam berbagai bidangnya, seperti Ibn Arabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan Ibn Khaldun serta para ahli yang lain dalam bidang pemikiran sosial dan filsafat. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Daud Zhahiri dan ulama-ulama fiqh lainnya yang telah mengikat semua orang melalui karyanya seakan tidak sah beribadah kepada Tuhan tanpa mengikatkan diri mereka kepada salah satu dari mazhab tersebut. Padahal al-Qur’an dan Hadis Nabi sendiri tidak menganjurkan untuk mengikuti mazhab.
Para tokoh iti semua dikenal sebagai tokoh melalui karya dan pemikiran mereka, hasil karya mereka diikuti dan dijadikan panduan dalam beramal, baik dalam ibadah mahdah kepada Tuhan ataupun melakukan ibadah ghairu mahdah melalui transaksi secara individu maupun secara bersama-sama dalam kehidupan bermasyarakat.
Memperhatikan realita dalam kehidupan para tokoh, tentu tidak semua orang pinter sama dengan para tokoh tersebut kendati juga tidak semuanya bodoh. Karena kalau semua pinter tentu semua orang pasti menjadi tokoh, demikian juga tidak semua orang yang menjadi murid mereka mampu memahami apa yang mereka jelaskan, sehingga akhirnya hanya sebagian dari murid mereka yang menjadi tokoh.
Kemampuan para tokoh dalam menggunakan pemikirannya, dalam memahami firman Tuhan yang tertulis dalam Kitab suci, atau juga dalam memahami apa yang menjadi firman Tuhan secara qawniyah membuat sebagian orang lain memahaminya dan sebagian lain mengabaikannya. Mereka yang memahaminya akan menjadikan sebagai panduan dalam kehidupan sedangkan bagi mereka yang tidak memahaminya, mengikutinya secara taqlid atau mengabaikannya.
Dipahami atau tidak oleh murid dan masyarakat sekitar tentang pemikiran para tokoh , tentu tidak membuat mereka berhenti untuk berpikir dan berkarya, karena makna seorang tokoh adalah orang yang selalu berkarya dan akan meninggalkan karyanya untuk orang lain walaupun tidak dipahami dan diamalkan oleh orang semasa dengannya. Ini terlihat dari karya mereka yang sangat banyak dan seolah tidak pernah berhenti berpikir dan berkarya. Sebagai contoh yang mudah dipahami adalah pemikiran dan karya Imam Syafi’i, dikatakan mudah karena ada anggapan bahwa hampir semua masyarakat Indonesia bermazhab dengan mazhab Syafi’i. Artinya semua amal ibadah dan mu’amalah yang dilakukan didasarkan kepada dalil dan pendapat Imam Syafi’i, namun juga belum semua pendapat Imam Syafi’i telah diamalkan oleh masyarakat yang bermazhab Syafi’i. Demikian juga dengan aliran teologi asy’ari yang juga belum semua orang yang mempunyai aliran tersebut memahaminya, ditambah lagi dengan mazhab dan aliran yang lain. Dari sini bisa dipahami bahwa perkembangan pemikiran lebih cepat daripada perubahan perilaku atau pemikiran dapat mengendalikan arah yang anak dituju oleh prilaku.
Dasar pemikiran ini pulalah yang menjadikan para tokoh untuk selalu berpikir berkarya, kendati masyarakat sekitar tidak bisa memahami pemikiran yang dihasilkan, karena pemikiran yang tidak bisa dipahami dan dikerjakan oleh para tokoh akan dijadikan sebagai bahan tulisan yang nanti satu saat orang akan memerlukannya.