Oleh: Yusra Habib Abdul Ghani
Pada awalnya, pacu kuda hanya aktivitas iseng pemuda-pemuda kampung, seusai musim panen padi di sekitar Danau Laut Tawar. Sudah menjadi kebiasaan anak muda, menangkap kuda yang kerkeliaran dengan kain sarung tanpa setahu empunya dan memacunya.
Saat memacu, kadangkala terserempak dengan kelompok pemuda dari kampung lain, yang melakukan hal yang sama. Lalu terjadi interaksi sosial, dimana para joki dari masing-masing kampung sepakat untuk mengadakan pertandingan pacu kuda antara kampung tanpa hadiah bagi pemenang.
Tidak disadari, akhirnya sejak awal tahun 1930-an, aktivitas ini berubah menjadi tradisi tahunan yang melibatkan beberapa kampung. Pada masa itu, penyelenggaraannya masih sangat sederhana. Panitia dibentuk bersama-sama dan memilih lapangan ”Musara Alun” sebagai satu-satunya gelanggang arena pertarungan; sampai kemudian, pada tahun 1956-an (bersamaan dengan lahirnya UU.No.7 Drt/1956 dan UU. No. 24/1956 terbentuknya Kabupaten Aceh Tengah), pelaksanaan pacuan kuda ini diambil alih oleh Pemda Aceh Tengah. Pada priode tahun 1950-an, kuda pacu asal kampung Kenawat, Gelelungi, Pegasing, Kebayakan dan Bintang, boleh dikatakan paling aktif dalam perlombaan ini.
”Rule of the game”
Pacu kuda ini tidak ada aturan main yang pasti-pasti tentang atribut: baju, celana, sepatu, topi, pemecut (cambuk), usia seorang joki dan alat pengaman tubuh, pagar dan tali yang benar-benar memenuhi standard keamanan. Jadi, jika joki jatuh, luka-luka, bahkan mati sekalipun, cukup dengan menghubungi pihak Rumah sakit. Para joki berkaki telanjang dan berpakaian bebas. Ada joki yang memakai jacket hujan saat berpacu tanpa memperhitungkan factor keselamatan dan arus angin yang mempengaruhi kecepatan. Mereka tidak dibekali pengetahuan tentang ”rule of the game”. Pihak Pemda belum berpikir menyediakan perangkat computer perekam pada garis start, mensyaratkan pakaian yang memenuhi standard keselamatan dan tidak berupaya mengasuransikan para joki, sekiranya mereka mendapat musibah kecelakaan.
Tiga orang juri duduk di atas sebuah menara bertingkat yang jaraknya kira-kira 100-200 m dari garis start; sementara seorang juri pembantu berdiri di atas garis start. Kuda-kuda yang akan dipacu dikendalikan oleh joki dan pemiliknya. Juri pembantu mula-mula memberi aba-aba dengan mengangkat ”bendera start” warna putih sebagai isyarat pertarungan segera berlangsung. Curi start bisa disaksikan disini, saat para joki merapatkan kuda mereka ke garis ”start”. Jika kuda tersebut sulit diajak kompromi (berdiri persis di garis start), maka sang joki yang kekangnya dipandu oleh pemilik, dibenarkan mengambil ancang-ancang jauh dari belakang. Apa yang terjadi? Setiap start perlombaan yang disertai oleh 4 atau 5 peserta, posisi kuda hampir tidak pernah persis berdiri di atas garis start. Juri pembantu hanya memberi peluang beberapa saat agar masing-masing menyiapkan diri; jika tidak, bendera start tetap dikibarkan. Tidak dikenal rumus ”ralat”, ”silap”, ”ma’af”, ”ampun” dan ”menggugat” jika terjadi ketidaksamaan gerak start. Pemegang bendera start adalah raja yang tak tidak pernah melakukan kesalahan dan tidak boleh digangu gugat.
Inilah yang membedakan antara paduan kuda tradisional di ”Negeri Antara” dengan pacuan kuda di Inggeris dan Spanyol. [Saya pernah saksikan siaran langsung pacuan kuda tradisional di Spanyol lewat layar TV, yang melebihi 28 menit belum juga berhasil dimulai, karena masing-masing kuda sukar diajak kompromi untuk berdiri persis di atas garis start.]
”Taruh (judi)”
Sebelum kuda dipacu, “harie” (”juru penerangan”) lebih dahulu menceritakan sejarah ringkas dari masing-masing kuda, pemilik dan prestasi lewat pengeras suara dari atas balkon yang sesak dengan toké-toké dan petaruh ”kelas kakap” untuk memilih jagoan masing-masing. Kuda tadi dipromosikan di lapangan balkon yang luasnya kira-kira 30×40 m2. Nilai taruhan disiarkan secara langsung. Selain pataruh resmi tadi, penonton dari segenap lapisan masyarakatpun juga ikut bertaruh. Transaksi berlangsung singkat dan tunai. Ini ”pèng kilat”! Tradisi pacu kuda ini, menghalalkan atau melegitimasi taruh (judi) secara resmi dan terbuka. Dengan kata lain: arena pacuan kuda adalah zona bebas judi.
”Unsur magic”
Suatu hal yang tidak bisa dinafikan ialah: tradisi pacu kuda ini identik dengan permainan ilmu magic, yang menghadirkan dukun-dukun kesohor. Lazimnya, mereka berdiri berdekatan dengan garis start. Sang dukun mampu membelokkan arah kuda lawan (musuh) saat melewati tikungan tertentu atau tersungkur. Di era tahun 50-an, dikenal dua dukun terkenal, yaitu: Aman Lumah (yang biasa dialog dan merokok bersama dengan jin) dan Guru Gayo, asal kampung Kenawat. Keduanya hampir setiap tahun mampu memenangkan ”Kude Kenawat” berkulit warna pink campur garis hitam, milik Aman Saleh Bur. Piala-piala yang diraih turut musnah bersama piala juara Didong group Seriwijaya, ketika kampung Kenawat dibakar hangus akhir tahun 1959 oleh pasukan Diponegoro, saat pergolakan Darul Islam (D.I Aceh) bergolak. Caranya: memandikan dan menepung tawari kuda ini terlebih dahulu sebelum dilagakan. Di era tahun 1960-an, ”Kude Bènyang”, ”Kude Gerbak” dan ”Kude Bupati Isa Amin” adalah diantara kuda yang populer. Arena pacuan kuda merupakan gelanggang pertarungan antara dukun-dukun untuk menguji kejituan ilmu magic. Bahkan sering didapati sesajèn di lokasi tertentu yang bisa menyungkurkan kuda musuh. Tidak ada pacuan kuda tanpa kekuatan magic.
”Gerak Tawaf”
Lokasi pacuan kuda ”Musara Alun” bagaikan ”ka’bah”, dimana kaula muda melakukan tawaf di luar lini pacuan, dibatasi oleh tiang pagar yang diikat seadanya. Tiang-tiang itu bukan dikuatkan oleh tali pengikat, melainkan oleh telapak kaki ”’adiyati dhabha” (”kuda pacu yang berlari kencang”) yang ”fa’astarna bihi naq’a” (”yang menerbangkan debu”) dan dibentengi secara massal oleh peserta tawaf yang mengelilingi arena pacuan. Konsep ”tawaf” ini, tidak sama dengan konsep tawaf yang sesungguhnya di Mekah Al- mukarramah. Para pemuda dan gadis-gadis desa bershaff-shaff melakukan tawaf dengan gerak searah dan berlawanan arah (bersilang) mengelilingi lapangan ”Musara Alun” sepanjang pacuan kuda berlangsung. Jama’ah tawaf ini bebas, darimana memulai dan mengakhiri. Tawaf ini bukan refleksi dari keimanan, akan tetapi gerak jiwa untuk mengubur segala bentuk kegelisahan dan kebosanan; ianya juga gerak untuk menemukan butir-butir cinta kasih yang bertabur dan terhampar di padang terbuka.
Romantisme akan larut dalam gerak tawaf atau pencarian yang sesungguhnya; sebab disini wajah-wajah gadis manis bersembunyi di sebalik kerudung dan payung warna merah, melintas dan disergap dengan lirikan kumbang-kumbang girang. Dalam tawaf ini terjadi pandangan dan sentuhan massal yang menawar muka dengan penuh harap dan bersaing secara fair. Surat cinta yang adressnya tak jelas, siap dilayangkan ke tangan gadis-gadis yang ikut bertawaf itu.
”Musara Alun”, bukan saja arena pertarungan kuda untuk meraih gelar juara dan piala, tetapi juga berpacu dalam irama cinta yang tumbuh, mekar seketika dan bergelora. Gadis-gadis tidak mau diwakal, termasuk muhrim sekalipun. Mereka bebas dalam batas-batas kewajaran, sebebas kuda berpacu. ”Musara Alun” adalah zona bebas mukrim. Buah yang bisa dipetik dari ”tawaf” ini biasanya berujung kepada jenjang perkawinan.
Kisah ini mungkin dirasakan asing atau bahan tertawaan. Tetapi inilah sebenarnya historiography pacu kuda di ”Negeri Antara”, yang kini sebagian episodenya (gerak tawaf) hampir tidak dijumpai lagi, setelah kebelakangan ini lokasi pacuan kuda dipindahkan dari ”Musara Alun” ke ”Belang Bebangka” dan ke satu lokasi di Kab. Bener Meriah. Pacuan kuda sekarang, lebih mengedepankan pertimbangan ekonomis ketimbang historis, yang tidak lagi diselenggarakan setahun sekali pada momen yang berkesan, tapi diadakan seenak jidatnya; tidak mengkodifikasi nama-nama kuda yang berprestasi sebagai khazanah sejarah budaya Gayo yang unik. (acehvision.com)
Comments are closed.