
Oleh: Agus Muliara*
Pembentukan Panitia Khusus (Pansus) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah guna mengevaluasi Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Tahun 2024 kembali menjadi peristiwa rutin dalam dinamika ketatanegaraan lokal.
Seolah menjadi simbol dari berjalannya fungsi pengawasan legislatif, namun pertanyaannya: apakah ini sekadar formalitas atau sungguh-sungguh menjadi instrumen kontrol yang substansial?
Sebagai mahasiswa hukum tata negara, saya memandang bahwa praktik ini layak diberi apresiasi secara normatif, namun harus dikritisi secara substansial.
Dalam berbagai literatur hukum tata negara dan studi demokrasi lokal, pengawasan terhadap eksekutif tidak cukup hanya dengan memenuhi prosedur pembentukan tim, tetapi harus menjamin adanya efektivitas kontrol, transparansi, dan partisipasi publik yang bermakna.
Formalisme Prosedural Tanpa Daya Gigit
Kita harus menyadari bahwa rekomendasi Pansus atas LKPJ bersifat tidak mengikat. Dalam kerangka hukum yang berlaku, termasuk UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah tidak memiliki kewajiban hukum untuk melaksanakan seluruh rekomendasi DPRK.
Ini menyebabkan fungsi pengawasan cenderung menjadi simbolik, dan tidak memiliki daya paksa untuk membenahi praktik birokrasi atau meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Hal ini mengarah pada kondisi “formalisme prosedural”, di mana DPRK menjalankan fungsi pengawasan hanya sebagai rutinitas politik tahunan tanpa kejelasan dampak yang nyata bagi masyarakat.
Pengawasan tidak seharusnya berhenti pada serapan anggaran dan capaian administratif, tetapi juga menyentuh aspek kualitatif seperti efektivitas kebijakan, akuntabilitas kinerja, serta keberpihakan terhadap kepentingan rakyat.
Ketiadaan Mekanisme Evaluasi Partisipatif
Tidak dijelaskan dalam laporan bahwa proses evaluasi ini melibatkan masyarakat sipil, akademisi, media, maupun tokoh adat yang menjadi bagian dari struktur sosial Aceh Tengah.
Padahal, dalam logika demokrasi partisipatoris, keberhasilan evaluasi LKPJ tidak hanya ditentukan oleh integritas legislator, tetapi juga keterlibatan publik yang kritis.
Dalam konteks Aceh yang memiliki kekhususan hukum dan otonomi, partisipasi masyarakat seharusnya menjadi elemen utama dalam setiap evaluasi kebijakan daerah.
Sayangnya, praktik pengawasan daerah sering tertutup dan elitis, sehingga jauh dari prinsip transparansi dan inklusivitas sebagaimana diamanatkan dalam semangat reformasi desentralisasi.
Kondisi ini turut memperkuat kejenuhan publik terhadap keberadaan Pansus. Selama ini, masyarakat mulai bosan dengan pembentukan Pansus yang seolah hanya bersifat seremonial, karena tidak ada hasil konkret yang terpublikasi dari seluruh giat yang dilakukan.
Harapan pun kini tertuju pada Pansus DPRK Aceh Tengah agar mampu menghadirkan pembaharuan yang nyata, membangkitkan kembali kepercayaan publik, serta menepis anggapan adanya romantisme antara legislatif dan eksekutif.
Saran untuk Perbaikan Substansi Pengawasan
Sebagai bentuk koreksi dan solusi, saya mengusulkan beberapa langkah strategis sebagai berikut:
1. Penerapan Indikator Kinerja Berbasis Out come
DPRK perlu membangun sistem evaluasi LKPJ yang terukur dan berbasis hasil (out come), bukan hanya serapan anggaran (output). Evaluasi kinerja harus menggunakan indikator yang konkret, misalnya peningkatan indeks kepuasan masyarakat, kualitas pelayanan publik, dan capaian program strategis daerah.
2. Pengesahan Rekomendasi Pansus melalui Peraturan DPRK
Untuk meningkatkan daya ikat rekomendasi, perlu dibuat inovasi hukum berupa penguatan posisi hasil Pansus dalam bentuk peraturan DPRK. Meskipun tidak secara eksplisit diatur dalam UU, namun langkah ini dapat memberikan legitimasi politis yang lebih kuat dan menjadi tekanan moral bagi kepala daerah untuk menindaklanjuti rekomendasi tersebut.
3. Keterlibatan Multi stakeholder dalam Evaluasi LKPJ
DPRK harus membuka ruang konsultasi publik, menghadirkan akademisi, tokoh masyarakat, dan organisasi sipil dalam rapat dengar pendapat (RDP) selama proses evaluasi berlangsung. Ini akan menjamin bahwa evaluasi tidak semata menjadi domain elit politik, melainkan juga refleksi kebutuhan riil masyarakat.
4. Peningkatan Transparansi Proses dan Laporan Evaluasi
DPRK perlu mempublikasikan secara terbuka seluruh hasil evaluasi dan rekomendasi Pansus melalui laman resmi atau kanal komunikasi lainnya, agar masyarakat dapat mengakses dan menilai proses tersebut. Ini penting sebagai bentuk akuntabilitas politik dan sosial.
Sudah saatnya fungsi pengawasan legislatif di daerah dibaca dalam kerangka reformasi substansial, bukan sekadar prosedural.
Pansus LKPJ semestinya menjadi instrumen yang mendorong perbaikan nyata dalam tata kelola pemerintahan daerah, bukan menjadi panggung seremonial politik tahunan. Evaluasi yang tajam, terbuka, dan berdampak adalah wujud dari demokrasi lokal yang sehat.
*Penulis adalah Mahasiswa Hukum Tata Negara – Universitas Bung Karno.