Balada si Roy dan Seorang Pemuda Gayo

Catatan : Win Wan Nur*

My Blue Ransel, efek Balada Si Roy.
My Blue Ransel, efek Balada Si Roy.

Lupus dan Si Roy adalah dua tokoh fiktif yang menjadi ikon remaja pada akhir tahun 80-an dan awal 90-an.

Kedua tokoh fiktif ini dipopulerkan oleh majalah Hai, majalah yang menjadi trend setter remaja seluruh Indonesia pada masa itu. Kedua tokoh ini muncul sebagai serial di Majalah remaja ini.

Lupus adalah fenomena, penjualan buku-buku karangan Hilman Hariwijaya sampai menyentuh angka jutaan. Sebuah keajaiban di negeri yang tidak memiliki tradisi kuat membaca ini. Lupus menarik karena ceritanya yang dekat dengan keseharian remaja kebanyakan. Ceritanya kocak, sederhana dan mudah dicerna oleh siapa saja, karena cerita Lupus memang tidak dibebani dengan berbagai pesan moral, misi atau ideologi apapun. Ibarat semboyan Opera van Java, “Yang penting bisa tertawa”.

Begitu populernya Lupus, sampai tingkah laku keseharian tokoh fiktif ini yang diceritakan Hilman dalam bukunya menjadi trend di kalangan remaja pada masa itu. Permen karet dan rambut ala John Taylor dari Grup Musik Duran Duran yang menjadi ciri khas Lupus menular menjadi trend nasional. (fenomena ini sempat disinggung oleh Si Roy dalam salah satu episode-nya).

Demam Lupus semakin menjadi-jadi ketika cerita ini difilmkan, meskipun banyak pembaca fanatik Lupus yang merasa kurang sreg dengan filmnya (sebagaimana juga dialami oleh pembaca fanatik Harry Potter), tapi tak pelak dengan keluarnya film ini kepopuleran Lupus semakin menjadi-jadi. Acara ‘Temu Lupus’seolah menjadi agenda reguler majalah Hai dari kota ke kota.

Banda Aceh termasuk salah satu kota yang beruntung menjadi acara temu Lupus, saat itu saya yang masih duduk di kelas II SMA, dalam kapasitas sebagai wartawan majalah sekolah kami GEMASMADUA bersama Sayed Muhammad (Sekarang Anggota DPR-RI, fraksi PDIP mewakili daerah pemilihan Malang Raya, Jawa Timur) yang saat itu berposisi sebagai pemimpin redaksi sempat mewawancarai Hilman di Hotel Kuala Tripa.

Sementara itu Si Roy, tokoh fiktif ciptaan Gola Gong adalah sosok yang berbeda.

Ibarat grup musik di Inggris tahun 60-an. Lupus adalah The Beatles, sedangkan Roy adalah Rolling Stones.

Meskipun dalam kisahnya, baik tokoh Lupus maupun Roy keduanya digambarkan sebagai anak Yatim yang dibesarkan oleh seorang Ibu yang tidak bisa dikatakan cukup berada. Tapi berbeda dengan cerita Lupus yang gurih, garing dan mudah dicerna sebagaimana musik The Beatles yang manis dan disukai semua kalangan. Balada si Roy, sarat dengan semangat pemberontakan sebagaimana Rolling Stones, hanya disukai oleh kalangan tertentu saja, anak-anak muda berkarakter pemberontak.

Dalam kisahnya, baik Lupus maupun si Roy digambarkan sebagai sosok yang sangat menyayangi ibunya.

Tapi kalau Lupus menunjukkan rasa sayangnya dengan menjadi anak manis yang suka sekolah dan selalu dengan senang hati membantu pekerjaan ibunya. Si Roy sebaliknya, Gola Gong menggambarkan tokoh ini sebagai sosok remaja yang tidak dimengerti para pemegang otoritas dan mendapat cap negatif dari ‘orang-orang normal’ di sekelilingnya (sosok seperti ini belakangan muncul dalam video klip grup metal asal New Jersey, Skid Row, melaui karakter Ricky tokoh sentral dalam lirik lagu 18 and Life).

Si Roy, digambarkan sebagai sosok remaja yang kecewa dengan pendidikan formal dengan ‘disiplin nggak jelas’ ala sekolah dan memilih menempa diri dalam pendidikan yang sesungguhnya, langsung di alam dan di masyarakat.

Kalau Lupus ibarat Total Football dalam membuat kelucuan khas kehidupan masa remaja. Balada si Roy dari awal saja sudah dimulai dengan serius, sebelum masuk ke cerita, Gola Gong selalu terlebih dahulu memulainya dengan mengutip bait-bait puisi dari Toto ST Radik.

Lupus hidupnya penuh warna-warni, ceria dan selalu riang gembira, sementara si Roy sebaliknya, cenderung kelam, menyembunyikan kegelisahan dan menyimpan kemarahan.

Meskipun penggemar Si Roy tidak sebanyak dan seheboh Lupus, tapi penggemar Si Roy rata-rata lebih ideologis. Dalam pengertian kalau penggemar Lupus dalam meniru idolanya hanya sebatas tampilan luar, karakter tokoh si Roy lebih merasuk ke dalam kepribadian penggemarnya. Ini terjadi karena penggemar Si Roy biasanya memiliki kegelisahan yang sama dengan yang dimiliki tokoh ini. Merasa tidah dimengerti lingkungan, menyimpan kemarahan, ingin mencari, menunjukkan jati diri dan membuktikan pada dunia bahwa AKU BISA.

Daya tarik lain dari Balada Si Roy adalah kisah petualangannya yang digambarkan begitu hidup dan nyata oleh penulisnya sehingga pembaca merasa benar-benar ada di sana ikut bersama si Roy dalam perjalanan yang dibumbui dengan kisah-kisah romantis yang digambarkan dengan sangat LAKI.

Satu kisah dalam Balada si Roy yang begitu melekat dalam kenangan saya adalah ketika Si Roy bertualang ke Maluku, di sana si Roy bertemu dengan gadis setempat yang sangat suka membaca. Tapi dengan segala keterbatasan yang ada di sana, tidak banyak buku berkualitas yang bisa dia baca. Novel yang dia punya untuk dibaca hanya Novel ‘Nick Carter’ (roman picisan tahun 80-an yang menceritakan tentang kisah detektif ala James Bond yang banyak dihiasi dengan kisah percintaan erotis).

Begitu kuatnya magnet tokoh si Roy ini, seorang teman saya mengaku sampai berhenti membaca Balada si Roy, karena seorang temannya yang terobsesi dengan kisah Balada si Roy, benar-benar menjadi anak yang pemberontak dan membuat orang tuanya sering menangis melihat perubahan anaknya.

Saya sendiri, sejak masih kecil sering diceritakan kisah-kisah petualangan. Sebelum saya tidur, almarhum kakek saya selalu menceritakan kisah petualangan, mulai dari kisah Sindbad yang baru selesai dalam waktu berbulan-bulan. Kemudian ada kisah Banta Baramsyah yang petualangannya digambarkan sangat khas kondisi geografis Gayo yaitu ‘Masuk hutan keluar hutan, masuk padang rumput keluar padang rumput’ sampai cerita nyata petualangan kakek saya semasa muda, kisah petualangan Kakek dari Kakek saya. Yang pada akhir pesan moralnya selalu, pesan moral khas Gayo yang jauh dari sifat feodal “Beginilah seharusnya menjadi seorang laki-laki. Bergantung pada diri sendiri, bukan merengek dan bersembunyi di balik nama besar orang tua”

Kisah-kisah seperti ini yang diceritakan sejak saya masih sangat kecil sepertinya masuk ke alam bawah sadar dan membentuk kepribadian dan juga selera. Sehingga meskipun saya menyukai Lupus, tapi cerita yang benar-benar meninggalkan kesan mendalam bagi saya adalah Balada si Roy.

Seperti kebanyakan remaja di masa saya, saya pun awalnya mengenal Balada Si Roy dari Majalah Hai.

Tapi novel-nya sendiri baru saya baca pertama kali di rumah Delsy Ronnie , teman sekelas saya yang sekarang lebih dikenal dengan nama De Ronnie. Dia yang anak tunggal yang hanya tinggal berdua dengan bapaknya Round Kelana, seorang pelukis terkenal di Banda Aceh, memiliki koleksi lengkap Balada Si Roy.

Dari koleksi Balada si Roy milik Ronnie inilah saya terlibat mendalam secara psikologis dengan karakter ciptaan Gola Gong ini.

Setamat SMA ketika saya sudah diterima kuliah di Fakultas Teknik Unsyiah, didorong oleh obsesi yang dibentuk oleh kisah-kisah dalam Balada si Roy, saya akhirnya benar-benar menjejaki langkah si Roy menjadi seorang Back Packer. Dan seperti si Roy, saya juga punya ransel Biru.

Di setiap daerah baru yang saya kunjungi. Seperti si Roy saya selalu berbaur dengan masyarakat setempat, berkenalan dengan gadis-gadis setempat berkenalan, akrab, dan setelah itu tak pernah bertemu lagi. Beberapa diantaranya meninggalkan kesan mendalam tapi tak ada kelanjutan sesudahnya. Untuk saya sendiri, yang sempat mengenal seseorang yang meninggalkan kesan mendalam ketika saya sedang back packing di Thailand. Namanya Noi, keponakan dari istri seorang kenalan saya. Noi yang waktu itu baru berumur 16 tahun dan masih duduk di bangku SMA, menemani saya seminggu penuh berkeliling Bangkok, mulai mengunjungi istana Sanam Luang sampai nonton film di Phra Pin Klao. Itu terjadi 15 tahun yang lalu (wow berarti Noi sekarang sudah berumur 31 tahun), dan sesudahnya putus kontak. Ketika sekarang dunia sudah menjadi hanya selebar daun kelor, dibuat kecil oleh Blackberry, I phone, Android, facebook dan Twitter, saya pernah mencoba menelusuri keberadaan Noi, tapi sampai hari ini masih belum berhasil saya temukan. Dan celakanya lagi semua foto-foto waktu itu tertinggal di Banda Aceh dan habis tersapu tsunami.

Ketika masih tinggal di Gayo, meskipun saya banyak membaca buku-buku petualangan. Tapi karena daerah kami yang terisolasi dan melakukan perjalanan keluar daerah adalah sebuah kemewahan. Saya sering merasa minder terhadap teman-teman yang datang dari luar daerah, apalagi kalau datangnya dari kota besar, seperti Banda Aceh, Medan, apalagi Jakarta.

Tapi perjalanan-perjalanan back packing ala Balada si Roy yang sangat sering saya lakukan (bahkan masih sering saya lakukan sampai hari ini) membawa saya mengenal orang-orang dari berbagai daerah dan negara sehingga saat ini saya bisa lancar berkomunikasi dalam 8 bahasa, membuat cara saya memandang dunia dan penduduknya menjadi sangat berbeda dengan cara pandang saya sebelumnya.

Akhirnya cara pandang, pengalaman dan jaringan yang tanpa direncanakan telah saya bangun selama perjalanan-perjalanan itu, membentuk kepribadian dan pilihan hidup saya sehingga jadilah saya menjadi seperti hari ini.

Begitu besar pengaruh Balada Si Roy dalam membentuk hidup saya. Karena itulah saya begitu geregetan, ketika beberapa hari yang lalu saya membaca status Facebook, Akhyar teman seangkatan kuliah saya yang sekarang menjabat kepala cabang BRI Syariah Banda Aceh yang katanya menemani Gola Gong penulis Balada Si Roy, untuk berkeliling di Banda Aceh. Padahal semasa kuliah dulu, ketika membaca kisah-kisah petualangannya, saya sering membayangkan seandainya Gola Gong datang ke Banda Aceh saya akan dengan senang hati menawarkan diri menjadi guide-nya secara gratis.

Lebih geregetan lagi, ketika saya tahu ternyata sehabis dari Banda Aceh, Gola Gong berkunjung ke Takengen, Kota tempat kelahiran saya difasilitasi oleh teman-teman yang saya kenal semua… DAMN!!!.

*Pembaca Balada Si Roy

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.