Banda Aceh | Lintas Gayo : Acara KEBERNI GAYO hari jumāat tanggal 8 April 2011 jam 20.00 s/d 21.00 kembali live di Aceh TV salah satu stasiun TV local yang mempunyai jangkauan siaran Banda Aceh, Aceh Besar dan Sabang. Acara Keberni Gayo merupakan acara mingguan dan ditonton tidak hanya oleh masyarakat Gayo tetapi juga oleh suku lain yang tinggal di tiga Kabupaten tersebut. Hal ini dibuktikan adanya unkapan mereka yang bukan orang gayo āsana Kenerni Gayoā bila bertemu dengan kita dari Gayo atau mereka akan tanya apa artinya āKeberni Gayoā yang ada di Aceh TV.
Untuk Jumāat kemaren tema yang diambil berkaitan dengan demo ribuan guru dari dua Kabupaten (Aceh Tengah dan Bener Meriah) yang berlangsungĀ di Aceh Tengah dalam rangka ikut prihatin tentang nasib seprofesi mereka yang dijatuhkan putusan oleh jaksa karena menyakiti muridnya di Jagong. Tema yang diambil sebagaimana tertera di atas dalam bahasa Gayo āHukumen den Pendidikenā dengan narasumber kali ini adalah : Al Juhra, S.Sos.I, M.Si (Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry) dan Arfiansyah, MA (Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry).
Pembahasan mengenai hukuman dan pendidikan dimulai dengan pemaparan tentang pengalaman mereka ketikaĀ duduk dibangku sekolah, mereka mengatakan bahwa ketika sekolah mereka juga pernah merasakan bagaimana rol patah dibadan mereka, juga terkadang gagang sapu, menurut cerita al-Juhra hal yang demikian tidak hanya didapati disekolah dan kalau melakukan kesalahan atau tidak patuh aturan dirumah akan mendapat hukuman yang sama malah terkadang lebih berat, demikian juga menurut Arfiansyah ketika ia belajar di Sekolah Dasar, pernah rol patah di badanya dan ada juga hukuman lain tetapi semua hukuman itu diterima pasti ketika melakukan kesalahan atau tidak mengerjakan pekerjaan rumah atau disuruh tidak bisa karena tidak belajar di rumah. Pengalaman Arfian juga ketika melanjutkan pendidikan ke Pesantren, dimana di Pesantren peraturan lebih ketat dan hukuman juga lebih beragam. Diantaranya ketika melakukan kesalahan direndam pada malam hari dan juga hukuman fisik lainnya.
Menyikapi apa yang mereka terima ketika sekolah dan juga dirumah pada saat ini mereka bersyukur kepada Allah dan selalu mengenang bahwa hukuman yang diberikan dan mereka terima adalah sebagai sebuah keikhlasan pembelajaran dan tidak pernah merasa dendam dan mereka tidak melakukan hal yang serupa kepada murid mereka. Karena menurut mereka pada saat itu, itulah yang dapat merubah sikap anak didik dan guru mereka tidak punya bahasa lain. Guru sekarang sudah punya bahasa : Tolong kerjakan PRnya, karena kalau tidak kalian kerjakan nanti kamu akan rugi, dan bagi mereka yang berprestasi akan mendapatkan hadiah walaupun dengan ucapan terima kasih.
Menurut Al-Juhra sebagai dosen Fakultas Tarbiyah mengatakan metode pembelajaran saat ini menghendaki tidak ada lagi kekerasan atau dalam bahasa dahulu adalah hukuman, tetapi memberikan reward kepada keberhasilan dan punishment kepada kesalahan dengan wujud yang berbeda dengan masa lalu.
Ungkapan Al-Juhra secara langsung mendapat tanggapan dari seorang penelpon (Riswan : Salah seorang guru di Kabupaten Aceh Tengah), ia mengatakan bahwa teori ilmu pendidikan secara konsep tidak banyak yang dapat diterapkan dilapangan apalagi di kampung yang terkadang harus dengan melakukan kekerasan dan kalau tidak tujuan pembelajaran tidak akan tercapai dan anak didik tidak pernah merubah sikap. Seperti pernah terjadi ketika diadakan razia di sekolah, yang dapat dikantong siswa adalah tembakau hijau (genye). Karena itu menurut Riswan perkembangan metode pendidikan adanya aturan Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) adanya Aturan HAM tidak boleh dipahami terlalu kaku apalagi digunakan sebagai alat.
Belum habis dijawab nara sumber apa yang ditanggapi Riswan, saudara Juanda pegawai Dikjar Bener Meriah dan juga mantan Guru menyebutkan bahwa penghukuman yang terkadang dengan kekerasan mesti tetap dilakukan. Karena kalau kita Tanya sekarang Guru mana yang menghendaki muridnya tidak jadi orang pintar tetapi terkadang yang aneh ada orang tua yang menyekolahkan anaknya hanya sekedar menghabiskan waktu disekolah dan tidak berharap anaknya pintar. Untuk itu sebaiknya kita kembalikan ke prinsip dasar sekolah orang Gayo bahwa ketika disekolah anak adalah urusan guru dan di rumah anak adalah urusan orang tua ditambah lagi dengan masyarakat sekitar.
Win Rahman juga seorang penelpon, menanggapi problema pendidikan sekarang dimana orang tua menghendaki atau menuntut anaknya agar sama dengan dia, sedang orang tua kalau bisa kita katakan sangat sulit jadi contoh untuk anak-anak dalam masyarakat, sebagai contoh kita lihat orang tua menjadikan pos kamling sebagai tempat (niru) ia tidak membimbing anaknya belajar. Guru-guru juga demikian apalagi yang masih muda (bujang/beru), kadang sudah ketemu di laut sama-sama bawa pasangan. Inilah masalah kita di Gayo.
Menurut narasumber memang masalah panutan, suri tauladan adalah permasalahan yang besar untuk masa sekarang. Anak muda sudah menjadikanĀ artis sebagai idola yang terkadang jangankan dengan agama dengan adat saja sudah bersalahan, mau kita tunjuk sesorang jadi tokoh tapi terkadang sulit dipertahankan.
Lalu, melahirkan tokoh tugas siapa. Kalau kita tanya pada anak kita, suatu saat kamu mau jadi seperti siapa. Apakah ada upaya menjadikan Nabi Muhammad sebagai contoh. Tapi apakah orang tua, guru mampu menggambarkan Muhammad kepada anaknya atau anak didiknya. (Drs. Jamhuri, MA)
bebas beragument. selo mera maju kite, si salaha i tetahi nume i tamah remok
Itu bukan komentar, tapi kopian artikel, wan penulisan zahri oya ara beda e. ke lagu noya nguk kam kin nara sumber ya !
Bentuk hukuman dalam pendidikan anak
Hukuman yang diberikan kepada anak dalam pendidikan, karena kesalahan yang dilakukannya ada dalam bentuk yang bermacam-macam. Tidak kesemuanya patut dan dapat digunakan dalam mendidik seorang anak. Berikut beberapa paparan bentuk hukuman tersebut, dan mana saja yang patut dihindari, agar tidak memberikan efek negatif dalam mendidik seorang anak.
Beberapa Teori Hukuman
1. Teori hukuman alam.
2. Teori hukuman balas dendam.
3. Teori hukuman ganti rugi.
4. Teori hukuman menakut-nakuti.
5. Teori hukuman memperbaiki.[1]
Teori hukuman alam
Teori hukuman alam tersebut mempunyai pandangan bahwa hukuman buatan itu tidak perlu diadakan seperti hukuman yang diberikan secara sengaja oleh seseorang kepada orang lain yang melakukan kesalahan atau pelanggaran, tetapi hendaknya anak dibiarkan berbuat salah atau pelanggaran biar alam sendiri yang akan menghukumnya.
Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Umar Muhammad Al-Taumy Al-syaibany bahwa ā alam natural bukan saja mencakup segala mahluk yang akan tetapi juga merangkum sistem, peraturan atau undang-undang alam yang semua bagian alam tunduk kepada dasar-dasarnya dan sesuatu itu terjadi atau berlaku mengikuti ketentuan persyaratan disekelilingnya.[2]
Pandangan teori hukum alam ini menyatakan bahwa hukuman alam tersebut merupakan hukuman yang wajar dan logis sebab merupakan akibat dari perbuatannya sendiri.
Seperti anak yang senam memanjat pohon adalah wajar dan logis, apabila suatu ketika ia jatuh. Jatuh ini merupakan hukuman menurut alam sebagai akibat dari perbuatannya sering memanjat pohon. Dengan pengalamannya tersebut anak merasa akibatnya dan akan belajar sendiri dengan pengalamannya.
Teori Hukuman balas dendam
Dalam hal ini biasanya diterapkan karena si anak pernah mengecewakan seperti si anak pernah mengejek atau menjatuhkan harga diri guru disekolah atau pada pandangan masyarakat dan sebagainya.[3]
Memperhatikan pendapat diatas maka hukuman ini adalah hukuman yang paling jahat yang tidak dapat dipertanggung jawabkan dalam dunia pendidikan.
Hal ini terjadi mungkin pendidik kecewa baik kekecewaan itu karena orang lain yang akibatnya siswa kena sasaran hukuman atau oleh karena siswa sendiri. Sehingga pendidik mencari kesempatan kapan ia dapat menghukum atau membalas terhadap siswa tersebut, baik hukuman itu secar langsung kepada siswa atau tidak.
Dalam hal ini nampaklah teori ini kurang tepat dengan ilmu mendidik bila seorang guru sampai menggunakan hukuman dengan teori balas dendam tersebut, namun demikian bila memang terpaksa seorang pendidik menggunakan teori balas dendam juga tidak ada salahnya, asal masih dalam garis kepentingan demi tercapainya tujuan pendidikan bukan karena kepentingan pribadi.
Teori Hukuman ganti rugi
Menurut teori ini siswa yang melakukan kesalahan diminta untuk bertanggung jawab atau menanggung resiko dari perbuatannya.[4]
Sebagai akibat ia harus mengganti atau menanggung resiko dari perbuatannya misalnya, siswa yang berkejar-kejaran dikelas kemudian memecahkan kaca jendela itu.
Kebaikan dari teori ini adalah :
1. Siswa diajar disiplin dan bertanggung jawab atas perbuatannya.
2. Dapat menimbulkan perasaan jara, sehingga siswa dapat berhati-hati untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Sedangkan dampak negatifnya, teori ini adalah :
1. Bagi siswa yang mampu tidak ada kesan terhadap hukuman yang diterima tersebut.
2. Bagi siswa yang tidak mampu terasa berat sekali.
Teori Hukuman menakut-nakuti
Menurut teori ini hukuman diberikan untuk menakut-nakuti anak , agar anak tidak melakukan pelanggaran atau perbuatan yang dilarang. Dalam hal ini nilai didik telah ada, namun perlu diingat oleh para pendidik jangan sampai anak itu berbuat kesalahan lagi, hanya rasa takut saja. Melainkan tidak berbuat kesalahan lagi karena boleh jadi anak akan tunduk hanya dilandasi takut saja kepada pendidik, maka jika tidak ada pendidik kemungkinan besar sekali ia akan mengulangi perbuatannya. Ia akan melakukan perbuatannya secara sembunyi, jika terjadi demikian maka dapat dikatakan bahwa nilai didik dan hukuma itu sangat minim sekali.
Teori Hukuman Memperbaiki
Menurut teori ini hukuman diberikan untuk memperbaiki siswa yang berbuat salah dengan harapan agar selanjutnya tidak melakukan kesalahan lagi atau insaf atas kesalahannya, insaf yang timbul dari kesadaran hatinya, sehingga tidak ingin mengulangi lagi. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Umar Hamalih ā Penyadaran atas hal-hal yang menyebabkan kegagalan ini perlu sekali dengan maksud agar dengan usaha sendiri ( Self Direction ), kita dapat mengatasinya dan memperbaikinya.[5]
Agar siswa insaf, maka pendidik harus memberikan penjelasan diwaktu menjatuhkan hukuman dalam hal apa mereka salah dan apa akibat dari perbuatannya itu. Dengan demikian siswa akan memahami segala tingkah laku dan akibat dari perbuatannya. Hal semacam ini akan membawa siswa pada kematangan berfikir dan kedewasaan.
Dengan uraian diatas berarti hukuman tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara pedagogis apabila :
1. Hukuman tersebut dapat menginsafkan siswa atas perbuatannya yang salah.
2. Siswa mempunyai pengertian tentang akibat perbuatan yang baik dan buruk.
3. Berjanji dalam hatinya untuk tidak mengulangi atau berjanji untuk memperbaiki kesalahannya dan akan melakukan hal-hal yang baik.
Karena hal-hal yang demikianlah hukuman yang bersifat memperbaiki sering disebut hukuman pedagogis. Jadi hukuman itu dapat diterapkan dalam pendidikan terutama hukuman yang bersifat pedagogis, menghukum bila perlu jangan terus-menerus dan hindarilah hukuman jasmani.
dikutip dari :
[1] Amir Daein Indrakusuma, Opcit, hal 1-18
[2] Umar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, Hal 58
[3] Drs.H. Abu Ahmadi, Ilmu pendidikan, Rineka cipta, Jakarta,1991,Hal 154
[4] Amir Dalen Indrakusuma, Opcit, hal 149
[5] Umar Hamalik, Metode Belajar dan Kesulitan-Kesulitan Belajar, Tarsito, Bandung, 1990, Hal 130
kalau kita melihat secara teori, emang sudah begitu adanya…. sebenarnya bagaimana seorang guru menginterpretasikan makna kompetensi Profesionalisme, sehingga sertifikat pendidik (pendidik yang profesional) yang telah didapatkan oleh seorang guru, bukan hanya sekedar kebanggaan atau bahkan menjadi pajangan saja… berejen…. Wallahu’alam…..