Pemilu dan Kedermawanan Musiman

Oleh : Muhammad Hamka *)

Salah satu fenomena menarik yang selalu mengiringi jalannya proses pemilu di Indonesia adalah tabiat politikus yang tiba-tiba menjadi dermawan. Kedermawanan musiman ini hanya terjadi sebelum pelaksanaan pemilihan umum (pemilu). Kesalehan sosial para politikus ini tiba-tiba menyeruak tanpa malu. Para politikus ini pun tiba-tiba menjadi dekat dengan rakyat. Bahkan tanpa merasa sungkan mereka menghamburkan uang untuk rakyat.

Lokus nasional

            Dalam lokus nasional, kedermawanan musiman ini masih terpatri dengan segar dalam ingatan kolektif bangsa ini, yakni program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang sekarang sedang berjalan. BLSM yang kata pemerintah dan koleganya (parpol pendukung kenaikan BBM) di Senayan sebagai kompensasi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), adalah contoh bagaimana rakyat di kibulin oleh “kedermawanan semu” pemerintah.

            Apapun argumentasi yang dilontarkan oleh rezim Yudoyono soal rasionalitas pemberian BLSM tetap tak bisa menutupi agenda tersembunyi yang merupakan tujuan utama dari program ini. Agenda tersembunyi tersebut adalah pencitraan politik. SBY bersama parpol pendukung di Senayan menjadikan BLSM sebagai muslihat untuk “mempolusi” nurani rakyat Indonesia yang notabene mayoritasnya adalah masyarakat yang tuna politik.

            Dengan program BLSM, partai besutan presiden Yudoyono bersama partai pendukung pemerintah lainnya akan mengkampanyekan program BLSM sebagai wujud “kedermawanan” mereka terhadap rakyat Indonesia. Sehingga rakyat Indonesia yang sebagaian besar belum melek politik ini akan memercayakan harapan mereka selama lima tahun kedepan kepada partai besutan SBY dan parpol pendukung program BLSM.

            Padahal konstitusi memerintahkan kepada negara (pemerintah) untuk mensejahterakan rakyatnya. Sehingga sudah menjadi kewajiban bagi pemerintahan Yudoyono tanpa menggunakan alasan kompensasi BBM dalam pemberian BLSM. Adalah kewajiban konstitusional pemerintah untuk memberikan bantuan langsung ataupun tidak langsung kepada rakyatnya. Dan merupakan muslihat politik tak etis namanya, ketika pemerintah membangun pencitraan politik diatas uang yang merupakan hak rakyat itu sendiri. Jadi terang, bahwa program BLSM hanya skenario pencitraan politik menuju pemilu 2014 mendatang.

            Para politikus yang bertahta di Senayan pun setali tiga uang. Oknum anggota DPR yang malas menghadiri sidang dan doyan plesiran ke luar negeri adalah contoh bagaimana wakil rakyat terhormat ini tak memiliki sensifitas terhadap kenestapaan yang menerpa hampir sebagaian besar rakyat di pelosok-pelosok negeri. Bahkan, tidak sedikit anggota DPR yang ditangkap oleh KPK karena maling uang rakyat. Ironisnya, menjelang pemilu tiba-tiba mereka tanpa malu berbicara lantang soal kepentingan rakyat.

Uang rakyat” pun di gunakan untuk membeli kemerdekaan politik rakyat itu sendiri. Kenapa di katakan uang rakyat, karena ketika mereka terpilih menjadi wakil rakyat, maka uang yang sudah dikeluarkan tersebut akan di kembalikan dengan cara mengemplang uang yang seharusnya digunakan untuk hajat hidup rakyat.

Maka jangan heran kalau banyak fasilitas publik yang cepat rusak disebabkan kualitasnya yang tidak bagus karena sebagaian dananya sudah disunat oleh politikus culas ini. Kejahatan korupsi pun tak surut, tapi justru kian berkibar dengan pelbagai modus operandi. Muasalnya berawal dari kedermawanan musiman politikus culas tadi yang menghamburkan uang untuk membeli hak politik rakyat. Gaji mereka sebagai wakil rakyat tidak cukup untuk mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan, maka digunakanlah cara-cara illegal semacam korupsi.

Jargon politik

   Disamping kedermawanan musiman diatas, satu lagi fenomena yang akan senantiasa mengiringi proses pemilu di negeri ini, yakni jargon politik. Hati-hati dengan dengan jargon politik yang bakal berseliweran dengan semakin dekatnya pemilu 2014. Karena jargon politik tersebut tak lebih sebagai muslihat manipulatif untuk “mempolusi” akal sehat dan nurani rakyat.

 Karena sudah banyak bukti dimana jargonnya sungguh bagus kedengaranya pada saat kampanye, tapi begitu menduduki kursi empuk diatas sana, jargon tersebut menjadi lapuk seturut dengan lunturnya idealisme politikus tersebut yang sudah terbeli oleh syahwat hedonis dan pragmatis.

Tapi jangan takut, galau, dan gelisah karena ditengah masifnya politikus yang dermawan musiman tersebut, masih banyak politikus yang konsisten menjadi penyambung lidah rakyat. Tentu, semuanya kembali kepada kita sebagai rakyat yang punya hak pilih. Apakah kita akan memberikan kehidupan kita selama lima tahun kedepan dalam cengkraman politikus dermawan musiman atau kepada politikus yang konsisten dan amanah sebagai penyambung suara rakyat?

Jadi pemilih cerdas

            Oleh karena itu mari kita jadi pemilih yang cerdas dengan senantiasa menelusuri rekam-jejak, visi-misi dan program kerja setiap para politikus yang berlaga dalam pemilu nanti. Jangan pernah memberikan suara kita karena sekarung beras, sekardus mie instan, dan selembar rupiah.

Karena ketika itu yang kita lakukan maka jangan menyesal kalau selama lima tahun para politikus yang terpilih sebagai anggota DPR tak pernah memperjuangkan kepentingan rakyat. Karena ketika mereka sudah membeli suara rakyat dengan sekarung beras, sekardus mie dan selembar rupiah, maka putus sudah hubungan kita sebagai konstituen dengan politikus tersebut sebagai wakil kita di legislatif.

              Untuk itu, tugas kita sebagai pemilih hanya satu, yakni tetap merawat akal sehat dan hati nurani dari segala bentuk “polusi politik” yang ditebar oleh politikus dermawan musiman ini.

Mantan Aktivis PMII/berdomisili di Aceh*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments