by

Bahasa Gayo Kusayang Tareng Kenangan

Oleh: Reni Gemasih*

Reni Gemasih Lintasgayo.comPagi itu seperti biasa Ipak, Sara, dan Bengi siap-siap untuk berangkat kampus. Hari itu pertama mereka masuk kuliah setelah lama liburan . Ipak, Sara, dan Bengi, mahasiswi Gayo kuliah di Banda Aceh .

Pagi itu mereka berangkat, seperti bisanya menumpang  labi-labi.  Di dalam labi-labi  sudah ada  2 orang mahasisi yang duduk manis. Mereka berdialog dengan akrab mempergunakan Bahasa Indonesia.

Walau mereka berbicara dengan Bahasa Indonesia, tetapi dari dialeg ada kata-kata unik, yang sudah terbiasa terdendar di telinga tiga mahasiswi Gayo ini.  Sebuah kata yang khas, ge! Dialeg ini jelas hanya ada di Gayo, karena itu Bahasa Gayo.

Tiba –tiba  Sara, berbicara dengan ipak yang duduk di sebelahnya.  “Ipak jema si konol i arap te nie jema gayo leh”.  Ipak memberikan diri berbicara dengan dua gadis yang duduk berhadapan dengannya, dengan ramah “Orang mana dek?. Salah seorang mahasiswi  menjawab dengan sopan dan ramah “orang Takengon kak.”

“Isi i Takengen dik,”  bengi ikut berbicara.  “Di kotanya kak,”  kata salah seorang  mahasiwi.    Bengi,” sahan gerel dik?”
“Saya bensu kak, kawan saya ini Mampat,” jawab gadis ini. Ipak, Bengi dan Sara, heran dan terkejut melihat dua gadis asal Gayo ini. Setiap diajak berbicara dengan Bahasa Gayo, justru dijawab dengan Bahasa Indonesia.

Sara bertanya lagi “ Dik Mampat, kusi male dik.”    “Mau kuliah kak, hari nie Ospek kak.” Bensu tak ketinggalan cepat “menyambar dengan pertanyaan selanjutnya,” Ben mayo keta adik. Nge sidah lo ospek dik.”

Pertanyaan Ipak ini kembali dijawab gadis manis ini dengan kata-kata lembutnya sambil menunjukkan sikap malu.  “kakak sebenarnya kami gak bisa Bahasa Gayo.  Kami ngerti yang kakak bilang,  tapi kami gak bisa jawabnya dengan Bahasa Gayo ,” jawab Mampat, wajah khas Gayonya muncul, sedikit kemerah-merahan.

Jawaban itu membuat Ipak, Sara dan Bengi terheran-heran dan mulai kesal. Nada kesal Ipak muncul ketika dia menjawab dialog itu ahirnya dengan Bahasa Indonesia. “   Iya dek gak pande bahasa Gayo. Sangat sayang sekali.  Orang Gayo tidak pandai bahasa Gayo.”

Belum habis Ipak berbicara, Bengi menyambungnya. “ Orang akan mengenal kita siapa, karena mereka mengetahui bahasa apa yang kita pergunakan. Orang Gayo harus mempergunakan Bahasa Gayo dan bangga dengan bahasanya, kalau bukan kita yang menjaganya siapa lagi dik?” nada bicara Ipak sudah mulai agak tinggi.

“Kita semuanya  semua mahasiswa Gayo harus menjaga dan tidak boleh malu dengan bahasa ibu kita.  Bahasa Gayo kusayang tereng kenangan mi we dek, tareng bahan dongeng ken penerus te. Ke senipe kite gere bebasa Gayo,”  Sara yang semula diam ahirnya  muncul khasnya, adrenalinnya akan naik bila dia berbicara membela Gayo. Nadanya  suara yang sedikit emosi.

Lain lagi dengan Bengi yang dari tadi menatap tajam wajah gadis Gayo ini.  “Nama Bensu sama  Mampat, tetapi bahasa Gayo tidak bisa.  Malu dik maluuuuuuuu. Malu kakak sebagai orang Gayo, adiknya tidak pandai Bahasa Gayo.”

Dialok kami dalam labi-labi itu, berahir ketika lokasi kampus sudah di depan mata. Sambil berjalan usai turun dari mobil, Bengi masih “ngoceh”. “ Nugee kune nge kite ni. Urang diri gere pane basa diri, te jema ke male ikini mujege basate.” (Red. AR)

*Mahasiswa Poltekes Kemenkes Aceh Jurusan Farmasi

Comments

comments