Urang Gayo dan Pengemis!

Oleh: Alfazri

gelandanganKetika melihat banyaknya pengemis di seputaran kota Takengen, penulis teringat tentang fatwa  Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahwa mengemis itu haram.  Apalagi  dilakukan oleh orang yang fisiknya sehat.

Bagaimana dengan ketua MPU Aceh? Penulis juga mengkliping Koran, jawaban ketua MPU Aceh Tgk. Prof. DR. H. Muslim Ibrahim,  walau tidak menyebutnya haram, namun Muslim Ibrahim mengatakan harga diri sipengemis rendah.

Muslim Ibrahim menilai ada kelompok pengemis yang memiliki fisik mampu mencari nafkah, namun tidak menjaga martabat dan marwah diri. Dia masih tetap mengemis. Tidaklah heran bila kota-kota di Aceh, terutama di kawasan terminal dan pasar, bertabur pengemis.

Demikian dengan Bumi Gayo juga bertabur pengemis. Namun mereka bukan penduduk lokal, akan tetapi datang dari kawasan Aceh Pesisir. Di Gayo mengemis itu tabu karena menyangkut harga diri dan marwah.

Ada sebuah falsafah  tentang pengemis. Gayo tidak mengenal budaya mengemis. “ Bier hine morep te leegeh, enti sempat gemade. Kemel kite ie erah jema.  (Walau hidup kita hina, benar-benar susah jangan sempat kita menjadi pengemis, malu kita dipandang orang).
Bila ada warga lokal di sana yang hidupnya susah, sepahit apapun mereka tidak akan menjadi pengemis. Mereka lebih mau menjadi orang upahan, apapun pekerjaannya walau dengan gaji yang sangat minim. Tidak ada seorangpun penduduk lokal di pegunungan itu yang menjadi pengemis.

Falsafah itu memang dipegang teguh oleh masyarakat Gayo.  Harga diri dan marwah tetap mereka pelihara, walau keadaan mereka benar-benar susah. Seandainya bila ada yang menjadi pengemis, orang Gayo di sana akan malu. Hampir semua orang menanyakan siapa dia, siapa saudara, apa saudara tidak mampu mengurusnya, sehingga membiarkan menjadi pengemis.

Mengapa di Aceh Tengah dan Bener Meriah bertabur? Memang benar di sana juga dibanjiri pengemis. Namun yang perlu menjadi catatan, tidak ada penduduk lokal yang menjadi pengemis.  Mereka yang datang meminta-minta di Gayo, berasal  dari kawasan pesisir Aceh.
Budaya malu di Gayo sudah mendarah daging. Hal tabu di sana bila dilakukan akan membawa aib.  Budaya tabu itu melekat dalam budaya turun temurun, walau sekarang sudah mulai agak terkikis. Namun  mengemis, tetap merupakan hal yang tabu bagi warga Gayo.
Lantas mengapa sebagian warga Aceh lainnya dari kawasan pesisir justru menjadikan Dataran tinggi Gayo sebagai ajang pencari nafkah, walau Orang Gayo sendiri tidak ada dan tidak mau menjadi pengemis.

Aceh yang bertabur uang, dana APBA trilyunan rupiah, namun negeri ini dibanjiri pengemis. Apakah Pemerintah Aceh susah mengurus pengemis. Mengapa pengimis itu dibiarkan, bukankah itu bagian dari harkat dan martabat.

Akankah sebagian orang Aceh yang fisiknya memungkin untuk mandiri, masih mengandalkan tangan di bawah. Apakah ini bagian budaya Aceh?  Mungkin iya, tetapi tidak buat  Gayo. Rakyat di pegunungan ini sangat malu menjadi pengemis.

* Wartawan dan Penulis Lintas Gayo

Tulsian Terkait:

Urang Gayo tak ada yang jadi Pengemis ?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.