Review Buku “Jurnalisme Sastrawi”

Oleh Ria Devitariska*

Berawal dari kedatangan saya ke Kantin Batas Kota “Gayo Espresso Kupi” dengan pemiliknya Win Ruhdi Bathin menyediakan beberapa buah buku di tepi meja tempat para pengunjung biasa memesan minuman dengan bahan dasar kopi.

Buku – buku yang tersedia tergolong “berat” menurut saya, mungkin karena sejak sekolah dulu saya tidak terlalu suka dengan pelajaran sejarah, yang menurut saya terlalu menjemukan. Mata saya kemudian tertuju pada buku berjudul “JURNALISME SASTRAWI” sebuah antologi liputan mendalam dan memikat, terbitan Pantau, suntingan Andreas Harsono dan Budi Setiyono.

Saya membuka halaman pertamanya untuk mengetahui seberapa lama buku ini telah diterbitkan, cetakan pertama tahun 2005. Setelah membuka beberapa lembar, saya mulai tertarik dan penasaran dengan isi buku ini.

Jarum jam telah menunjukkan pukul 17.30 Wib, sedangkan saya baru membaca kata pengantarnya saja dan bagi saya kata pengantar itu penting sekali walau kadang hanya ucapan terimakasih, minimal saya tahu bagaimana suka duka sang penulis saat proses pembuatan buku tersebut, seberapa banyak orang – orang yang membantunya, atau lagu apa yang menemaninya selama penulisan, entah kenapa saya suka sekali memperhatikan hal – hal kecil seperti itu. Bersyukur sang empunya buku mengizinkan saya meminjam bukunya dalam tempo seminggu.

Isi buku ini merupakan kumpulan reportase yang pernah diterbitkan di majalah Pantau dalam rentang waktu 2001 – 2004. Majalah ini berisikan tentang media dan jurnalisme. Tujuannya memantau perilaku media dan wartawan baik dalam negeri maupun luar.

Amat disayangkan majalah ini harus ditutup dengan permasalahan utamanya keuangan, pemasaran dan managemen yang buruk. Ada delapan narasi di buku ini yang diulas secara apik, dalam dan sesuai fakta. Bukan hasil rekayasa seperti cerita fiksi pada umumnya.

Pada pengantar buku ini, terdapat tujuh pertimbangan jika hendak menulis narasi menurut Robert Vare, seorang wartawan yang pernah bekerja di majalah The New Yorker dan The Rolling Stones.

Pertama, Fakta. Jurnalisme menyucikan fakta, walau pakai kata dasar “sastra” tapi ia tetap jurnalisme. Kedua, konflik. Sebuah tulisan panjang lebih mudah dipertahankan daya pikatnya bila ada konflik. Ketiga, karakter. Karakter membantu mengikat cerita. Keempat, akses. Seyogyanya penulis memiliki akses kepada para karakter. Kelima, emosi. Emosi menjadikan cerita hidup, ia bisa rasa cinta, pengkhianatan, kebencian, pergulatan bathin/pemikiran dan lainnya. Keenam, perjalanan waktu. Laporan panjang adalah sebuah film yang berputar layaknya video. Bisa bersifat kronologis atau flashback. Dan yang terakhir ketujuh, unsur kebaruan. Tidak ada gunanya mengulang – ulang lagu lama, akan lebih mudah mengungkapkan kebaruan itu dari kacamata orang biasa yang menjadi saksi mata pada peristiwa tersebut.

Dari kedelapan narasi tersebut, ada dua laporan yang menarik bagi saya, mungkin karena bisa membayangkan bagaimana kejadian tersebut, yaitu laporan tentang Aceh pada masa dan pasca DOM (Daerah Operasi Militer) dahulu.

Ada Chik Rini dengan laporannya “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” dan Alfian Hamzah yang mengambil judul “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan”. Dua cerita ini benar – benar meyita perhatian saya, bahkan sempat merasa bahwa saya masih berada di masa – masa itu. Sampai saya harus meyakinkan diri bahwa masa itu telah berlalu.

Bukan, ini bukan tanggapan yang berlebihan, hanya sebuah reaksi saat luka yang telah terpendam lama kembali diungkit. Ini bukan berarti saya tidak menyukai tulisan mereka, justru saya bisa melihat para tokoh di narasi ini dari sisi yang berbeda.

Bagaimana Chik Rini berupaya untuk bersikap netral ketika menceritakan ini walau pada akhir cerita kita tetap akan tahu siapa yang menjadi dalang peristiwa tersebut. Bagaimana Alfian Hamzah bersusah payah mengikuti TNI (Tentara Nasional Indonesia) yang sedang bertugas di Aceh, saya jadi tahu senjata jenis apa saja yang mereka gunakan, perang yang terkadang kekanak-kanakan, proses penyekolahan (sekolah adalah istilah slang TNI untuk menembak mati anggota GAM yang tertangkap), dan yang membuat saya menyunggingkan senyum adalah saat mengetahui ternyata TNI merujuk pada peta topografi yang dibuat oleh Dinas Topografi TNI AD bekerja sama dengan lembaga di Australia berdasarkan pencitraan satelit pada tahun 1974 (hal ini mengakibatkan mereka sering tersasar). Sedangkan pada masa saya kuliah dulu untuk tugas – tugas kuliah diwajibkan bagi mahasiswa untuk mendapatkan peta tahun terbaru, bagaimanapun caranya. Sangat kontras.

Selain cerita tentang Aceh, buku ini juga berkisah tentang konflik antar agama di Maluku (reportase Eriyanto dan Agus Sopian). Konflik antara kuli tinta di managemen majalah Tempo dan The New Yorker (reportase Coen Husain Pontoh dan Andreas Harsono).

Konflik antara pemulung sampah di Jakarta yang sang tokoh utamanya dibakar hidup – hidup (reportase Linda Christanty). Tak ketinggalan konflik grup musik the Legendnya Indonesia – Koes Plus dengan pemerintah Indonesia, karena mereka dianggap sebagai kaki tangan kaum imperialis untuk mendiskreditkan nama baik Presiden/Panglima Besar Revolusi Bung Karno melalui lagu – lagu barat yang sering mereka nyanyikan saat manggung (reportase Budi Setiyono).

Membaca buku ini menyentakkan saya bahwa menjadi penulis narasi itu bukan hal yang bisa dipandang sebelah mata. Media saat ini banyak, tapi yang bisa menampilkan tulisan narasi dan mampu membawa perasaan sang pembaca sangat sedikit.

Saat kita harus mengorek kembali cerita yang telah dikuburkan entah di tanah bagian mana, saat para saksi lebih memilih untuk menutup mulut mereka karena berpikir bahwa bercerita atau tidak tetap tidak akan pernah mengembalikan anggota keluarga atau anggota tubuh mereka yang hilang, dan saat harus bersikap tidak memihak karena penulis bertindak sebagai orang ketiga.

“Kami ingin menyediakan bahu kami agar generasi wartawan yang lebih muda, yang lebih segar, bisa menggunakannya sebagai pijakan karier jurnalistik mereka” (Andreas Harsono).

Kalau boleh request, saya ingin membaca narasi kisah heroik seorang korban yang menjadi relawan bencana Gempa dan Tsunami Aceh pada akhir tahun 2004 silam. Adakah ?

 

*Penulis adalah Staf Lintas Gayo berdomisili di Takengen

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. Membaca, membuka jendela dunia. Memasuki pikiran dan pengalaman orang lain secara langsung. jangan batasi diri dengan bahan bacaan , baca saja dan biarkan otak bekerja.Sejarah dimulai dari kepingan catatan,,,,selamat datang didunia jurnalistik yang membuka ruang bagi mereka yang mau menuliskan hurup menjadi kata dan kalimat berdasarkan kisah nyata atau fiksi. Bismillah kan saja..semuanya akan menjadi mudah. yang penting masuklah kedalam sebuah proses, jangan pikirkan endingnya. Just Do it.

  2. Alhamdulillah, dengan membaca, jendela dunia terbuka. Jangan batasi diri dengan bacaan. Apapun bukunya baca saja, nanti otak kita akan memilih buku mana yang sesuai jiwa kita masing-masing…mulailah menulis setelah membaca. Tulis dan tulis. Sejarah yang baik dimulai dengan catatan…selamat adinda, aku menunggu tulisanmu