Ada yang abadi dari peran seorang guru dalam mendidik para siswanya agar menjadi pintar. Peran itu adalah memberi “warna” setiap generasi pada jamannya. kita lihat saja film laskar pelangi k “Laskar Pelangi”, walaupun film ini telah lama beredar, tapi masih ssegar diingatan kita bahwa betapa tampak kesederhanaan dan sikap yang sangat santun yang bijak dimana mampu menggetarkan sosok-sosok lugu anak pedalaman itu.
Saya sangat tertarik oleh cerita dalam film tersebut, bukan saja lantaran “sikap” nakal atau jenakanya lakon anak-anak dalam film itu. Saya terhenyak menyaksikan sosok guru itu, dengan cinta yang luar biasa, mampu “mengubah” cara berpikir anak didiknya menghadapi segala rintangan yang mereka alami. Guru masa kini, juga bukanlah sosok Umar Bakrie, yang menyita perhatian “orang” karena belas kasihan. Ia punya peran heroik yang tidak mudah digantikan. Ini kiranya satu hal yang pantas direnungkan ketika menyadari akan betapa pentingnya peran guru bagi masa depan anak-anak didiknya.
Peran guru era saat ini tentu saja lebih kompleks daripada barangkali yang digambarkan dalam film tadi. Kompleksitas itu ditunjukkan, misalnya, bagaimana seorang guru mesti merespon beragam kebutuhan anak didik yang berubah, perkembangan teknologi yang demikian cepat merambah dan mengisi dalam dunia kerja, atau tuntutan meraih keunggulan dari masyarakat saat ini, serta perubahan konstruksi sosial di dalam masyarakat dan ledakan globalisasi yang menggurita.
Celakanya, citra guru masih bergerak di tempat. Masyarakat acapkali mengidentikkan guru dengan kelas pekerja bergaji rendah dan kompetensi mengajar yang kurang memadai. Itulah mengapa program sertifikasi guru “laris manis” dalam wacana guru saat ini. Satu sisi ia membidik profesionalitas, pada sisi lain diharapkan mampu mengangkat “derajat” guru melalui insentif tambahan yang diterimanya. Meski demikian, harus diakui program itu secara linier tidak akan mengatasi masalah rendahnya kompetensi guru, seperti ditunjukkan oleh rendahnya angka prosentase hasil uji kelayakan mengajar baik untuk guru negeri maupun swasta.
Berada dalam tegangan antara idealisme peran yang dijalankan dan realitas empirik di lapangan, pertanyaannya adalah sejauhmana seorang guru masih mampu menjalankan perannya menjadi agen perubahan di dalam masyarakat banyak.
Sejak menjatuhkan “pilihan” sebagai guru, sejatinya seorang guru terikat kontrak menjadi seorang agen perubahan. Peran itu terjadi pada titik perjumpaan antara sang guru dengan anak didik di sekolah. Guru memiliki andil demikian besar dalam menentukan dan membuat perbedaan kepada anak didiknya. Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa baik atau buruk, hitam atau putihnya “gambaran” anak didik di masa depan sangat ditentukan oleh peran masa kini sang guru di sekolah. Sekolah merupakan satu-satunya institusi sosial yang secara khusus dan terorganisir mengembangkan anak didik memperoleh pemahaman dan keterampilan perihal kebenaran, keindahan, dan keadilan.
Itulah mengapa, sekolah dan guru di dalamnya diharapkan mengembangkan dan memperbaharui diri terus menerus agar mampu mengimbangi gerak cepat perubahan dalam diri anak didik dan kebutuhan masyarakat. Seorang guru yang memilih status quo, akan kehilangan peran momentumnya sebagai agen perubahan. Ia akan menjadi “korban” perubahan kurikulum yang tak kunjung henti di sekolah, sementara ia tak akan pernah memahami esensi pengajaran yang dijalankan.
Guru diharapkan mampu memainkan peran membawa perubahan-perubahan positif bagi anak didik dan sekolahnya. Peran itu setidaknya dijalankan dalam konteks kurikulum, di mana guru menjalankan kurikulum dan mengevaluasi pelaksanaan kurikulum dalam interaksi bersama anak didik di kelas. Lebih luas dari itu, seorang guru juga diteladani oleh anak didiknya dalam kaitan dengan kebiasaan pribadi yang dilakukannya.
Itulah tanggungjawab moral guru. Tanggung jawab moral guru itu melekat erat dalam diri seorang guru di manapun ia berada atau bagaimanapun situasi dan kondisi yang terjadi dengan guru itu.
Dalam perannya sebagai seorang agen perubahan, seorang guru setidaknya perlu memiliki karakteristik dan watak dasar yang selaras dengan hal tersebut. Kemampuan itu digambarkan secara indah oleh Fullan (1993), dalam bukunya berjudul Change Forces: Probing the Depths of Education Reform, dengan empat kapasitas dasar yang harus melekat dalam diri seorang guru sebagai agen perubahan. Adapun kapasitas dasar watak itu adalah :
1. Pengembangan visi pribadi. Adalah sangat penting bagi seorang guru memiliki visi pribadi dan berusaha menghidupi itu dalam keseharian. Seorang guru dengan visi pribadi yang “kuat” senantiasa bertanya, dan bertanya lagi, untuk memperjelas intensi mengapa yang bersangkutan sampai memilih profesi menjadi guru. “Perbedaan seperti apa yang akan saya tawarkan kepada anak didik ketika saya menjadi guru?” merupakan langkah awal yang baik ketika seorang memutuskan diri untuk menjadi guru. Seorang guru akan mencintai perubahan atau status quo, acapkali juga ditentukan oleh akusisi visi pribadi yang dimilikinya.Keberadaan visi pribadi tidak lepas dari nilai-nilai yang menghidupi visi atau cita-cita pribadi itu. Seorang guru yang mengedepankan nilai “jujur” dan “teliti”, akan sangat menaruh perhatian, misalnya, bagaimana ia harus menjalankan pembelajaran yang fair kepada kepada anak didiknya. Dalam arti, seberapa jauh tujuan dan pendekatan pembelajaran yang dipilihnya menjawab kebutuhan anak didik sesuai tuntutan jaman, atau sejauhmana sistem penilaian yang dilakukan mencerminkan kemampuan anak didik secara personal.Visi pribadi dan visi lembaga sama pentingnya. Meskipun visi pribadi terkesan implisit dan personal, ia lebih memberi dorongan perubahan pada diri seorang guru. Sebaik apa pun perubahan yang ditawarkan kepada kelompok atau lembaga yang hanya dipenuhi visi lembaga, hanya akan berhenti di permukaan, bersifat formalitas, tidak ada ikatan kuat dan rasa memiliki setiap pribadi dalam kelompok itu. Akibatnya adalah perubahan susah dijalankan bahkan mungkin tidak terjadi. Kegagalan reformasi kurikulum di sekolah selama ini (sejak 1947 sampai kini), salah satunya diakibatkan karena tak pernah menyentuh visi pribadi masing-masing guru di sekolah. Visi pribadi seorang guru adalah jembatan menuju visi bersama di dalam sekolah.
2. Kebiasaan inquiry. Ini adalah sebuah kebiasaan di mana seorang guru terus mengembangkan diri dengan bertanya, mempersoalkan, dan menguji beragam hal yang sifatnya mendasar. Belajar inkuiri hendaknya dimulai dan dilatihkan semenjak seorang guru menginjakkan kaki menjadi guru di sekolah. Bagi Fullan, hal itu dapat dilakukan melalui praktek reflektif, jurnal pribadi, penelitian tindakan, bekerja dalam standar tertentu, dan kerjasama dengan rekan sejawat dan bentuk lainnya.Aktifitas inkuiri bersifat trial and error, tidak ada rumus dan jaminan baku. Seorang guru yang mencoba model pembelajaran baru di kelasnya, mungkin akan mendapat hasil yang tidak pernah ia prediksi sebelumnya. Keberanianya mencoba sesuatu yang baru, akan mengantarnya masuk “ruang kreatif” yang membuat ia menemukan cara berpikir baru dalam pengajarannya. Kebiasaan bertanya dan melakukan suatu “terobosan” ini dilakukan guru secara kontinyu (lifelong) sepanjang hayat dalam berbagai bidang pembelajaran.Anak didik perlu dikenalkan dan dibiasakan melakukan pembelajaran inkuiri di kelasnya. Alasannya sangat jelas, perubahan yang terjadi dimasyarakat sifatnya tidak linier, unpredictable, dan tidak ada rumus memecahkan beragam permasalahan. Seorang guru membangun kultur inkuiri di kelasnya dengan membiarkan anak didik belajar bebas bertanya, sesungguhnya telah mengantar mereka pada ruang eksplorasi pengetahuan tanpa batas yang dibutuhkannya.
3. Pentingnya penguasaan. “Penguasaan” dimaksudkan bahwa guru tidak boleh berhenti dalam tataran berpikir saja, melainkan harus beraksi dan berperilaku dalam gagasan dan keterampilan baru. Penguasaan berarti mendekati setiap pengalaman hidup secara kreatif, menjalani hidup dengan kreatif dan bukan reaktif. Tatkala penguasaan pribadi telah menjadi disiplin atau terintegrasi dalam hidup pribadi guru itu, menurut Senge (1990), maka akan memberikan setidaknya dua manfaat berikut. Ia akan terus mempertanyakan mana yang sesungguhnya penting atau prinsip sejalan visi pribadinya, dan selanjutnya memungkinkannya belajar memandang realitas dengan lebih jernih. Maka yang terpenting dalam belajar bukan seberapa banyak informasi yang diperoleh, melainkan sejauhmana itu membawa hasil nyata sesuai yang dikehendakinya (visi dan cita-cita pribadi).
4. Kolaborasi. Belajar secara bersama atau kemampuan untuk bekerja sama amat dibutuhkan. Selain untuk mengatasi kelemahan belajar secara pribadi, yang biasanya terbentur dalam keterbatasan dalam diri, bekerja dalam kelompok juga menjadi ciri perkembangan modern belakangan ini. Kolaborasi yang efektif biasanya diimbangi dengan keterampilan pribadi dalam berinkuiri secara terus-menerus. Tanpa dimbangi dengan hal tersebut, kolaborasi hanya jatuh dalam bentuk fisik, tidak mendalam, dan formalitas belaka. Kolaborasi hanya jatuh pada indahnya bentuk, namun kehilangan esensi.Ruang kolaborasi di sekolah nampak nyata misalnya melalui kesediaan diri dalam pembelajaran kolaboratif meliputi beberapa guru lintas bidang studi. Melalui kesediaan berbagi dalam kegiatan seperti ini, sebuah tema pembelajaran, dapat didekati dengan perpektif dan wilayah kajian berbeda. Bagi anak didik, model ini dirasakan lebih menarik dan lebih riil, karena mengajak mereka masuk dalam realitas hidup sesungguhnya dengan kompleksitas dan beragam aspek di dalamnya. Dalam perspektif lebih luas guru dapat melakukannya bersama dan dengan stakeholders lain.
Keseluruhan kapasitas dasar di atas akan menjadi modal dan melengkapi keterampilan guru sebagai agen perubahan dalam peran pengajaran di hadapan anak didiknya. Namun demikian, seorang guru tidak akan mampu menjalankan peran agen perubahan itu secara optimal tanpa kendali tanggung jawab moral sebagaimana disampaikan di bagian awal tulisan tadi. Perubahan dan pembaharuan yang dilakukan guru melalui anak didik dan masyarakat sekitarnya akan menjadi serpihan-serpihan gagasan tanpa arah dan tidak menyasar dalam secara tepat.Sebaliknya, dalam kendali tanggung jawab dan cita-cita moral yang benar, kapasitas dan kemampuan dasar perubahan tadi akan menjelma menjadi sebuah keterampilan dan nafas kehidupan bagi setiap guru dalam menjalankan peran sebagai agen perubahan. Itu artinya ungkapan guru sebagai agen perubahan bukanlah suatu kemustahilan, melainkan sebuah keniscayaan.
apa yang dikemukakan oleh darmawan sangat ok, apalagi referensinya ok, namun apabila nilai Islam terutama keikhlasan dalam mengajar tidak ada, semua konsep dan teori sebaik apapun tidak akan terlaksana. Apalagi fenomena yang tejadi di lapangan, ketika seorang guru masih honorer aktifnya bukan main. Ketika telah diangkat jadi PNS semua teori dan konsep hilang berbaringan dengan datangnya rupiah.
Cukup Idealis apa yang ditulis oleh Dermawan, saya belum pernah lihat diantara guru adanya kolaborasi (berdiskusi sesama guru) untuk menunjang pelajaran, saya juga belum dengan adanya group diskusi antar guru, dan itulah mungkin yang menyebabkan agen perubahan sebagaimana diharapkan tidak pernah terjadi. Kalau sepakat sebagai seorang guru juga bagaimana kalau kita buat group diskusi apakah sebulan sekali atau kapan aja boleh