Muatan Lokal Tangkal Punahnya Bahasa Gayo

Jakarta | Lintas Gayo : Kepala Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional, Sugiyono pernah menyebutkan bahwa 671 jenis bahasa dari 746 bahasa yang ada di Indonesia terancam punah (Media Indonesia, 8 Juli 2010). Hal itulah yang mendorong beberapa pelajar, mahasiswa, dan pemuda Gayo yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pemuda, Pelajar, dan Mahasiswa Tanoh Gayo Jabodetabek menggelar diskusi terbatas di Senayan, Jakarta (26/4).

Hadir dalam diskusi tersebut, diantaranya Agus Salim (pengusaha), Bakri Gayo (pengusaha), Agustia Feriandi (pemuda Gayo-Jakarta), Chairul Amri (pemuda Gayo-Medan), Burhan (mahasiswa Gayo Lues), dan Yusradi Usman al-Gayoni (akademisi)

“Perlahan orang Gayo, khususnya di Takengon akan hilang,” kata Agus Salim mengawali diskusi. Agus Salim, sebagai orang tua yang ikut dalam diskusi itu menambahkan bahwa selain jumlah orang Gayo yang sedikit, perwakinan silang dan asimilasi budaya sangat mempengaruhi hal tersebut.

Saya tidak tahu persisi kondisi di Gayo Lues, sebut Agus Salim. Lebih lanjut, kata Agus Salim, identitas suku ada pada bahasa. Kalau bahasanya tidak dipakai, maka hilanglah suku tersebut.

Bakri Gayo, pembuat Atlas dan Peta Indonesia-Dunia mengamini pernyataan Agus Salim. “Dalam beberapa kesempatan pulang ke Takengon, saya memperhatikan bahwa bahasa Gayo sudah mulai jarang dipakai,” tutur Bakri.

“Bahkan, saat pergi ke kampung-kampung pun, anak-anak sudah mulai berbahasa Indonesia. Harusnya, mereka berbahasa Gayo dalam keluarga dan lingkungan sosial. Karena, bahasa Indonesia secara otomatis didapatkan di sekolah,” tegas Bakri

Sementara itu, Yusradi Usman al-Gayoni, salah seorang pemerhati bahasa Gayo dan penggiat ekolinguistik (ecolinguistics) memperkirakan bahwa jumlah penutur bahasa Gayo semuanya ada sekitar 500 ribu. “Pastinya, jumlah ini lebih kecil dibandingkan dengan penutur bahasa Aceh, di atas satu juta.

Di sisi lain, Gayo etnik kedua terbesar di Provinsi Aceh. Namun, besar-kecil penutur tidak menjamin kelangsungan bahasa. Kunci kelangsungan bahasa terletak pada penuturnya. Dalam artian, bahasa dipakai, diajar, dan diwariskan, terutama kepada generasi muda,” papar Yusradi.

Dalam amatannya, ketiga hal itulah yang kurang pada masyarakat Gayo. Namun, kesetiaan berbahasa Gayo di Gayo Lues lebih baik dibandingkan Takengon dan Bener Meriah. Solusinya, kata Yusradi yang juga Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah, selain pengajaran dan pemakaian dalam keluarga, lingkungan sosial, dan pendekatan informal lainnya seperti melalui lagu, cerita, didong, puisi, teater, film, dan lain-lain; bahasa Gayo perlu dilembagakan dalam dunia pendidikan mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi melalui muatan lokal.

Yusradi al-Gayoni mengharapkan agar Pemerintah Gayo, terlebih Pemkab Aceh Tengah melalui Dinas Pendidikan tambah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dapat memfasilitasi Workshop bahasa Gayo dengan melibatkan pelbagai stakeholder terkait. Pada akhirnya, akan dihasilkan rumusan materi pembelajaran dan pengajaran bahasa Gayo yang akan diajarkan di sekolah-sekolah di tanoh Gayo (Win Kin Tawar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. P2DTK sudah pernah mengadakan pelatihan Penyusunan Standar Kompetensi /Kompetensi Dasar Bahasa Gayo bagi guru sebagai dasar memasukkan pelajaran Bahasa Gayo dalam mata pelajaran muatan lokal ditingkat SD/SMP sederajat,tapi sepertinya tidak ada tindak lanjut dari Dinas terkait.