Oleh : Win Wan Nur*
Di luar pembahasan masalah demokrasi, poin menarik lainnya dari artikel “Legalisasi Syariat ISLAM Serambi Mekah, Politik Atau Indetitas ? “http://www.lintasgayo.com/45701/lagalisasi-syariat-islam-serambi-mekah-politik-atau-indetitas.html#comment-53499Â yang ditulis oleh Dedy Saputra E adalah tentang komodifikasi syariat Islam.
Di sini saya sangat sepakat dengan Dedy yang mengutip pendapat Darmansyar Djumala (2013),yang mengatakan bahwa Legalisasi syariâat Islam hanya dijadikan âalatâ baik oleh pemerintah RI maupun GAM dalam proses perundingan Helsinki. Dimana Islam digunakan sebagai amunisi baik oleh pemerintah RI maupun GAM saat kedua pihak ini berunding di Helsinki karena masing-masing pihak mengharapkan untuk merangkul kelompok tradisional agar berpihak kepada kepada mereka. Pendeknya Islam dijadikan komoditas politik untuk saling tarik kepentingan.
Hasilnya, ‘Syari’at Islam’ akhirnya memang diterapkan di Aceh, termasuk Gayo. Tapi akibat dari komodifikasi Islam ini, penerapan syariat Islam di Aceh jalan di tempat.
Ketika di tulisan ini, Dedy mengaitkan apa yang terjadi dengan Islam ini dengan demokrasi. Ada baiknya kita mengulas sejarah, mengapa Islam yang dulu sempat menjadi puncak peradaban sekarang malah terpuruk menjadi komoditas politik yang menjadi mainan para penguasa. Sementara demokrasi yang merupakan produk barat malah membawa peradaban barat ke puncak kegemilangannya.
Perlu kita ketahui, meskipun sempat berjaya dengan peradaban Yunani yang gilang-gemilang. Peradaban barat pernah ditidurkan oleh fundamentalisme Kristen selama lebih dari SERIBU tahun, pada masa yang terkenal dengan nama Abad Pertengahan atau Abad KEGELAPAN.
Pada masa itu, kegemilangan peradaban dunia diambil alih oleh masyarakat Islam yang diawali oleh keputusan Khalifah Al-Mansyur (712â775), khalifah kedua dari dinasti Abassiyah yang menggantikan dinasti Umayyah yang baru saja menundukkan persia untuk menterjemahkan semua buku di dalam perpustakaan persia yang dipenuhi ilmu pengetahuan India, Persia, Yunani dan Romawi ke dalam bahasa Arab. Penerjemahan buku-buku yang memakan waktu seratus tahun ini kemudian melahirkan masyarakat rasional dengan tokoh-tokoh yang kita kenal dengan nama Al Kindi, Ibnu Sina, Al Khawarismi sampai Ibnu Rushd.
Dunia islam menikmati kegemilangan ini selama lebih kurang 3 abad lamanya. Islam hampir saja masuk ke dunia sains yang gilang-gemilang ketika di dalam kalangan intelektual Islam masa itu timbul satu perdebatan.
Awalnya dalam dunia Islam yang intelek dan tercerahkan, berbagai masalah diulas secara cerdas. Mulai dari etika (akhlak), ilmu alam, sampai ilmu kedokteran dan tentu saja tentang ketuhanan yang semuanya sebenarnya merupakan pokok bahasan filsafat. Cuma karena para intelektual Islam , seperti Ibnu Maskaweh, Ibnu Sina, Ibnu Thufail dan para tokoh intelektual semasanya gagal menggabungkan pemikiran filsafat dengan ilmu-ilmu di atas. Sehingga saat itu kalau sudah bicara filsafat, itu artinya bicara tentang “ketuhanan”.
Dalam masa itu, lahir tokoh-tokoh besar Islam seperti Omar Khayam dan Al Ghazali yang sangat keras menentang adanya pikiran Rasional dalam beragama dan memahami Tuhan.
Al Ghazali, melalui “Thahafut al Falasifah” mengkafirkan Ibnu Sina dan kawan-kawan karena tiga “kenyakinan”; dan membid`ahkan mereka karena 17 masalah. Akibatnya tokoh-tokoh filsuf Islam diasingkan dan dijadikan sasaran hujatan.
Ibnu Rushd yang lahir 25 tahun setelah wafatnya Ghazali berusaha mengembalikan masyarakat Islam ke dalam pemikiran rasional, melalui pemikirannya yang terangkum dalam ‘Tahafut al Tahafut’yang dengan cerdas mendebat pandangan-pandangan Al Ghazali dalam Tahafut Al Falasifah, terbukti gagal total.
Tekanan lebih parah terjadi pada masa Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun yang lahir lebih dari setengah abad setelah wafatnya Ibnu Rushd. Kalau sebelumnya Imam Ghazali mengkafirkan Filsuf, maka pada masa ini, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun para koleganya mengbid`ahkan bahkan mengharamkan filsafat. Saat itu tidak sedikit buku-buku yang berkaitan dengan filsafat dimusnahkan. Dan stigma negatif itu berlanjut hingga sekarang.
Sementara Islam yang memilih mengembangkan pemikiran Ghazali malah kemudian banyak mendalami pemikiran Ghazali yang menggabungkan metode dakwahnya dengan sufisme yaitu ide penyatuan diri dengan Tuhan dengan meniadakan hubungan dengan semua hal-hal duniawi. Dan inilah yang kita lihat sangat kentara dalam pemikiran Islam hingga saat ini.
Barat yang sebelumnya mengalami masa kegelapan, memungut ajaran Ibnu Rushd yang bersumber pada filsafat Aristoteles yang berbasiskan rasionalitas yang dicampakkan oleh Islam sebagai dasar bagi perkembangan peradaban mereka. Di dunia barat, rasionalisme Ibnu Rushd ini kemudian dipertajam oleh filsuf kristen Thomas Aquinas, kemudian semakin ke depan diteruskan oleh berbagai filsuf Yahudi yang menyebut diri mereka sebagai Averroan (Pengikut Ibnu Rushd) sampai ke Immanuel KANT, filsafat positivis terbesar yang menulis **Critique of PURE REASON** yang menjadi dasar pemikiran Sains modern yang juga merupakan landasan dari Demokrasi.
Di barat Ibnu Rushd atau Averroes juga dikenal sebagai bapak SEKULARISME. Voltaire dan Rousseau yang buah pemikirannya mencetuskan era Renaissance di Perancis yang mengubah wajah Eropa secara keseluruhan hingga hari ini bukan hanya sebagai seorang yang mengagumi Ibnu Rushd tapi mereka bahkan terang-terangan mengakui kalau mereka mendapat ilham untuk menulis karya mereka setelah membaca karya Ibnu Rushd.
Pembagian masyarakat berdasarkan kelas seperti yang dilakukan ‘nabi’ kaum kiri Karl Marx dan mereka yang sealiran dengannya juga jelas sekali terinspirasi dari ide pembagian masyarakat kepada dua golongan iaitu golongan elit yang terdiri daripada ahli falsafah dan masyarakat awam yang digagas Ibnu Rushd.
Pemikiran Ibnu Rushd yang tidak mendapat penghargaan di kalangan umat Islam ini, justru diadopsi oleh para cendekiawan barat yang kemudian menjadi dasar dari Demokrasi modern yang menghasilkan perkembangan sains yang gilang-gemilang.
Sementara, itu kita umat Islam. Meskipun sejak kejatuhan Turki Ustmani terus dikatakan tidak akan lama lagi kembali menguasai peradaban. Tapi kenyataannya, sampai hari ini kita masih saja sibuk dengan urusan bid’ah membid’ahkan dan saling kafir mengkafirkan.
Dan seperti yang dikatakan di dalam artikel yang ditulis oleh Dedy Saputra E, ini. Di Aceh, Islam malah dijadikan komoditas untuk saling memperebutkan kekuasaan.