Oleh Rizal Fahmi, MA*
Mungkin kita banyak tahu apa itu ginset, dan apa kegunaannya?. Mungkin pertanyaan ini agak konyol atau tidak berbobot karena orang semua sudah tau jawaban nya. Ginset adalah sebuah alat tenaga listrik yang biasanya dijadikan mesin cadangan ketika listrik yang dikelola negara itu padam makanya ginset adalah salah satu mesin yang bisa menghidupkannya kembali. Terkait dengan Ginset Politik, mungkin istilah ini kalau dihubungkan terasa jauh kedudukan konotasi bahasa maupun kaitannya, tapi penulis tertarik dengan pengguanaan bahasa ini, sesuai dengan budaya kita yang masih kental dengan mazas dan satre, ataupun sebagainya yang coba mengungkapkan ungkapan dengan bahasa yang halus walaupun terkesan keras.
Akhir-akhir ini memang suhu politik menjadi bahan perbincangan di warkop, dan kedai kopi yang meliputi dari berbagai kalangan ada yang meliputi kalangan aktivis, praktisi dan akademisi perbincangan ini tidak akan pernah habisnya dan menjadi tranding topic di medsos maupun headline media cetak maupun online. Bakal calon kandidat-kandidat sudah bermunculan kepermukaan ada yang masih malu-malu mengungkapkannya kepermukaan atau masih bergeriliya. Ginset politik yang sudah lama tidak terpakai lagi kini dipasang lagi untuk menambah arus menghidupkan kembali energi yang selama ini sudah mati. Agenda-agenda politik yang dilakukan tentunya banyak mengumpulkan energi yang di distribusi untuk kekuatan, sejauh mana bisa menyalakan energi kekuasaan yang bisa menghidupkan mesin kekuasaan yang ingin diraih dan dicapai.
Ginset yang selama ini terawat tentunya banyak menghasilkan tenaga yang begitu besar, akan tetapi ginset politik yang sudah karatan maupun usang ini tentunya harus membutuhkan tenaga baru untuk dijadikan kekuatan arus dengan baik. Dalam kekuasaan tentunya ada beberapa hal yang memang diinginkan dalam pencapaian amupun tujuan, jika menilik faham kekuasaan yang dianut Nicholo Machivieli kekuasaan dicapai tidak memperhatikan nilai kekuasaan itu benar atau tidaknya. Penganut faham ini biasanya untuk mencapai segala sesuatu bisa digunakan dengan berbagai cara apakah kekuasaan direbut dengan cara money politik, kamuflase atau sabotase, pembajakan, atau black campaingn ini semua dihalalkan bagi yang syahwat kekuasaannya tinggi yang tidak terkendali. Akan tetapi jika kekuasaan yang dinginkan atas dasar konsensus perubahan tentunya ia menginginkan nilai cita-cita dasar atas rakyatnya bukan kehendak yang lain.
Apakah sesuci itu politik tanpa trik dan intrik yang seolah-olah manusia setengah dewa tanpa ada kesalahan dalam perkara dunia, mungkin itu pertanyaan yang sering dilontarkan. Memang politisi, aktivis, dan aktor-aktor lainnya bukan setingkat Nabi, tapi yang perlu diketahui makhluk yang Bertuhan tahu akan ajaran yang mana benar dan salah, setelah itu juga makhluk yang meyakini Nabi tentang ketauladanannya melalui sifat Tabligh, Sidiq, Fathanah, dan Amanah mungkin ini bisa menjadi referensi politik yang sekarang hambar nurani untuk mengatakannya akan tetapi selalu logika yang berdealitika dalam alam realitas politik pragmatis. Kita selalu terlalu rumit mendefinisikan atau menterjemahkan Good Governance dalam membangun kekuasaan, padahal warisan itu sudah lama dijalankan Islam.
Hembusan angin kekuasaan
Janji politik memang manis membuat masyarakat terbuai dan terpedaya dengan hembusan-hembusan angin kekuasaan. Hembusan tersebut mulai perubahan nasib masyarakat secara kolektif, pembangunan, dan bagi-bagi jabatan. Semua ini sudah dibungkus dalam kemasan kampanye mulai dari kampanye yang santun maupun kampanye hitam. Banyak energi yang terkuras bagi calon kandidat maupun tim sukses yang bekerja hingga bermalam-malam untuk memperjuangkan kandidat yang di usung. Keadilan, pembangunan dan kesejahteraan selalu menjadi bahagian visi-misi mereka untuk mencalonkan diri, akan tetapi visi-misi tersebut hanya sebagai orasi lepas dilapangan setelah itu tidak tertuang dalam kinerja penguasa. Namun jangan pernah banyak berharap terhadap hasil final yang terkadang kandidat yang diharapkan menang tapi kalah,dan timbulnya kekecewaan yang mendalam bagi timses dan pendukung karena tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan. Sebenarnya inilah keputusan politik yang terkadang tidak semua orang bisa menerimanya.
Politik yang dipahami sekarang bukan atas dasar nilai, melainkan hanya tujuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan perorangan dan kelompok. Kekecewaan atas harapan yang dinginkan dalam hajat politik tersebut membuat masyarakat kehilangan kepercayaan dan apatisme terhadap partisipasi politik yang sebenarnya harus dijalankan. Selain itu juga tim pendukung ataupun tim sukses mengajarkan ajaran nilai politik akan pentingnya perubahan yang mendasar atas nilai-nilai humanisme dalam membangun infrastruktur sosial. Realitas yang terjadi dalam masyarakat butuh diagnosa dan rekayasa sosial untuk membuka pemahaman bagaimana keterlibatan partisipatif aktif mereka sebagai masyarakat politis terhadap menyikap berbagai persoalan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Perlu diketahui, pilkada yang akan dilaksanakan diperkirakan pada antara 2017, tentu ini sebenarnya adalah baro meter indikator menentukan nasib kedepan, dan inipun tidak hanya calon kandidat yang tertumpunya perubahan tersebut, jika masyarakatnya pun mau masih bisa disuap dengan nasi bungkus maupun iming-iming tapi bukan harapan kolektif atas perubahan bersama, maka jangan heran pemimpin itu abai dan lupa ketika sudah terpilih.
Adapun calon-calon kandidat penguasa di daerah mereka sedang menghidupkan ginset politiknya, tentunya aliran energi kekuasaan yang digunakan tentunya bukan hanya untuk kepentingan 5 tahun sekali yang hanya mengejar kekuasaan semata, melainkan kepentingan tanggung jawab segala sektor yang harus dibenahi dengan konsep pemerintahan yang lebih baik. Selain itu juga harus ada pemahaman kolektif yang dimiliki calon kandidat paling tidak memiliki pemahaman atas berbagai persolan yang terjadi di daerah. Idealnya konsep pemimpin ia bisa menterjemahkan visi misinya untuk pembangunan segala sektor, dan faham akan psikologi masyarakat dari beragam karakter masayarakat nya.
Penulis adalah Peminat Kajian Pemikiran Politik dan Alumni S2 Pemikiran Islam UIN Ar-Raniry