Oleh: Mhd Darul*
Gayo dikenal sebagai suku bangsa yang mendiami dataran tinggi Gayo dimana Aceh bermula dan jauh sebelum Indonesia terbentuk. Di Aceh rakyat Gayo secara mayoritas mudah kita jumpai di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh tenggara dan 3 kecamatan di Aceh Timur, yaitu kecamatan Serbe Jadi, Peunaron dan Simpang Jernih. Selain itu rakyat Gayo juga mendiami beberapa desa di kabupaten Aceh Tamiang dan Abdya. Rakyat Gayo merupakan pemeluk agama Islam dan dikenal taat dalam agamanya serta menggunakan bahasa yang disebut bahasa Gayo (baca: nadaceh.wordpress.com/2012/02/01/gayo-di-aceh/).
Dari History ini penulis ingin mengulas tentang “mengapa Gayo luput dari pemiliknya sendiri (nutupen salak)” ?. Apakah ini menandakan kalau orang Gayo sudah tidak butuh lagi akan mengenai identitasnya, lupa dari mana dirinya berasal sehingga banyak generasi saat ini sepertinya malu menunjukkan ke publik kalau ianya adalah orang dari Gayo atau karena sesuatu hal lain yang penulispun kurang faham akan jalannya daya pikir generasi sekarang ini.
Seiring berjalannya waktu, peradaban zaman terus maju dan berkembang. Pemilik Gayo sendiri masih terlelap tidur sehingga dalam kesehariannya telat bangun untuk memperbaiki nasibnya sendiri. Kita mengetahui Dataran tinggi Gayo jauh dipedalaman, terletak 29000 kaki di atas permukaan laut dan diapit oleh bukit barisan di Pulau Sumatera yang mungkin menjadi penghambat sehingga menempatkan wilayah ini terisolir serta jauh dari kemajuan. Menurut penulis kalau kita mau mengkaji peradaban bangsa dunia “sepertinya hal tersebut bukanlah sebuah alasan yang tepat sebagai penyebab kemunduran sebuah peradaban”.
Berawal dari kesadaran dalam menyikapi penomena ini, mari kembali kita ulang kaji mengenai peran seorang “Tokoh”. Ketokohan yang dimaksud adalah orang yang sifat cerdik pandai (baca: Sifat Nabi Besar Muhammad SAW) yang merupakan seorang pembaharu yang dapat merubah dunia yang sudah centang peranang menjadi dunia berperadaban tinggi dalam waktu singkat. Nilai dan sifat mulia ini mungkin termasuk tugas yang berat untuk diterapkan dalam suatu kaum dan bangsa. Penulis yakin, hanya dengan konsep inilah sebuah bangsa dapat berjalan mengarungi zaman dengan selamat akibat dari pengaruh budaya yang bernilai tinggi dan pikiran cemerlangnya. Penulis ingin katakan prodak boleh dibawah bendera kusam tapi daya pikir haruslah lebih maju dan berbudaya.
Dahulu kita masih memiliki tokoh hebat dan tangguh serta kharismatik, sekilas seperti alm. Aman Dimot yang berperang di medan Area untuk Kemerdekaan Indonesia dan ternyata beliau memiliki Guru yaitu Tuen Ali Taat (alm.) yang mampu mencetaknya menjadi manusia tangguh di medan perang. Sebelum generasi Tuen Ali Taat juga ternyata ada Tokoh berjasa yang katanya merupakan datunya Tuen Ali Taat dan beliau panglima perang di Gayo dan juga hebat dalam berunding untuk membebaskan orang Alas dari perburuan orang Batak yang menumpas orang Alas (sumber: Saksi hidup, Aman Ruban di Koyon).
Kemudian beralih lagi pada masa/zamannya Tgk. Lyes Lebee yang merupakan Tokoh besar masa DI/TII yang gigih berjuang mewujudkan Negara Islam dan sekaligus sahabat Hasan Tiro ketika menggagas dan menggerakkan AM di Buntul Kubu Takengen Aceh Tengah sebelum terjadi pengkristalan Deklarasi AM di Gunung Halimun pada 4 Desember 1976 silam. Orang Gayo juga memiliki Tokoh agama sekelas Tengku Ali Jadun dan di Teruskan oleh Prof. Dr. Alyasa Abu Bakar di Kute Reje dan masih banyak lagi tokoh yang berasal dari Bangsa ini yang belum terungkap dan luput dari pandangan mata generasi saat ini.
Dalam konteks kekinian penulis belum melihat akan adanya orang-orang sekaliber tokoh yang boleh menjadi panutan bagi generasi muda seperti tokoh yang kita ulas diatas. Artinya generasi saat ini telah mengalami “Krisis Ketokohan” yang berbudaya dan pemikiran cemerlang yang mampu memajukan bangsa Gayo ini. Kita bisa melihat dan amati secara nyata dilingkungan kita bahwa kita telah mengalami Krisis Tokoh Agama, Krisis Tokoh Adat, Krisis Tokoh Masyarakat, Krisis Tokoh Pemuda. Jangan heran kalau sekarang kita sudah kalang kabut karena para Tokoh dan masyarakat kita sudah lari dari sipat mulia Rasul dan tidak memiliki jiwa relawan.
Ulasan ini merupakan sebuah bentuk tantangan sekaligus ancaman bagi kita generasi muda Gayo, dan ini adalah sangat membahayakan Suku Bangsa Gayo bahkan dapat mengakibatkan losse generation sebagai Suku Bangsa Gayo. Untuk itu, kita harus berpikir dan menggiring serta merubah mindset sebagai Suku Bangsa Gayo untuk membangun karakter ketokohan yang memiliki jati diri Cerdik, Lisik, Bidik, Mersik dan Islamik (belajar dari sifat mulia Rasul).
Untuk menjadi dan membentuk Jati Diri yang permanen, maka mari kita lakukan Gerakan Revolusi dengan cara membuka diri kearah demokratisasi, transparansi dan akuntable dalam membentuk, membangun serta mengembangkan ketokohan sebagai Suku Bangsa Gayo. Hanya dengan cara ini kita bisa menjadi bangsa maju yang memiliki nilai peradaban tinggi. Sadarlah Bangsaku “Kite turah saling dukung-mudukung ike kenak male mujadi bangsa maju, Kerna ternyata urang Gayo gere lebih muharge ari urang asing atan Negerite sendiri”.
Sekjend Forum Aspirasi Rakyat Gayo*
menurut saya pak segala sesuatu di dunia ini ada awal ada akhirnya, di zaman nabi ibrahim tidak dikenal namaya bangsa arab atau bangsa israil namun lebih di kenal dengan bangsa semit seiring berjalannya waktu, akhirnya menjadi beberapa bangsa yang kita kenal dengan(Arab dan Israil). pointnya adalah kita tidak kehilangan identitas tapi akan menemui identitas baru.