Menakar: “Nilai dan Harga Diri Perempuan Gayo Dalam Tradisi”
Oleh: Hasan Basri, S.Ag
Kerje Bertenes
Salah satu model pernikahan etnis Gayo adalah “juelen”, yakni isteri pindah dan menetap di rumah suami menjadi keluarga suami sekaligus masuk menjadi warga belah suaminya dan tidak boleh menetap di tengah-tengah keluarga isteri (Mahmud Ibrahim, 2010) kegiatan mengantarkan anak perempuan yang dinikahkan secara juelen menuju rumah orangtua dan keluarga suaminya menurut tradisi Gayo disebut munenes. Jenis pernikahan juelen ini adalah anak perempuan yang dinikahkan dengan seorang laki-laki dengan sejumlah mahar serta teniron (permintaan barang) dilengkapi dengan subang, statusnya beralih dari anggota keluarga dan warga klan/kampung orangtuanya menjadi keluarga dan warga klan/kampung suaminya.
Jenis pernikahan ini adalah refresentasi dari sistem kekeluargaan suku Gayo yang bersipat Patrilineal.[1] Seorang wanita yang ijuelen, terkadang akan “kehilangan” segala hak dan kewajiban pada orangtua serta keluarganya, karena telah beralih pada orangtua serta keluarga suaminya. Pengabdian dan bakti terhadap orangtua dan keluarga suami terkadang dianggap sebagai suatu “keharusan” bahkan tidak jarang menjadi sebab tumbuhnya penilaian “negative” dari keluarga suami terhadap seorang perempuan (isteri).
Isak tangis dan kesedihan mendalam terlihat dengan jelas pada ungkapan sebuku (ratapan), seorang ibu yang akan melepas pengantaran (munenes) anak perempuannya menuju rumah kediaman orangtua dari suaminya. Kesedihan, isak tangis ketika bersebuku (meratap) tersebut mengindikasikan adanya “kekhawatiran” seorang ibu atas “ketidak sanggupan” sibuah hati jantung rasa (anak) untuk menghadapi “suasana” dan “kondisi” serta “perilaku” dari keluarga suami yang dipastikan berbeda dengan situasi yang dijalani dengan keluarganya sendiri. Berikut contoh kutipan sebuku (ratapan) munenes, dari anak perempuan
“Akuni umpama tongar manut, isihen sergen ione sangkut, enti kase ama peberguk, enti kase ine mukale, enti kase ine reroyan mumenge dengetni pintu urum gerdakni tete”. “Ine ike bersebuku kase pepilo bayur i pematangni umahteni, oya tenengku ine muninget kin ine, isesop ni ine kase bereni rara I dapur, keti musesop ate karu ni ama rum ine” “Wooo Ine nge le mutulok batang ruang ton ku kejet tempatku bermenye, nge mutoroh lepo peresek saputku, nge mutulok ton pekuburenku, …. Woo ine kusihenmi wa kase aku mungadu, kutangaken ku langit emun wa si beloh, kutungkuken ku bumi name wa siruluh”. (AR Hakim Aman Pinan, 1998)
Anak perempuan yang telah ijuelen (itenesen) menjadi argument “keengganan” orangtua dan pihak keluarga untuk mengunjungi serta menjenguknya. Orangtua dan keluarga dianggap gere mukemel (tidak memiliki rasa malu), akibat terlalu sering menjenguk dan mengunjungi, apalagi sampai menetap beberapa hari di rumah anak perempuannya tersebut. Orang tua atau keluarga isteri hanya sekali datang ke rumahnya atau rumah bisannya(ume) ketika penting seperti sakit, melaksanakan sinte. Orangtua yang sering mendatangi anaknya disebut “kurik pedatas” (Mahmud Ibrahim, 2010) istilah kurik pedatas, merupakan suatu ungkapan metaforis yang mengandung makna negative.
Anak perempuan yang telah dinikahkan secara juelen, otomatis akan bertempat tinggal dirumah orangtua suaminya. Kehadirannya sebagai anggota baru bagi keluarga suami, ternyata dianggap sebagai orang yang “pantas” untuk mengerjakan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan rumah tangga. Kewajibannya sebagai anak juelen dipastikan bertambah, disamping ia berkewajiban untuk berbakti kepada suami, juga diharuskan “berbakti” terhadap orangtua dan keluarga suami, khususnya keluarga suami yang belum berumah tangga.
Kelalaian dan keengganan anak juelen melaksanakan kewajiban tambahan “yang dibebankan” kepadanya, terkadang menjadi penyebab “kebencian” dari keluarga suami, hal ini tercermin dari kalimat te nge ibeli (sudah dibeli) yang sering diungkapkan oleh keluarga suami. Anggapan bahwa mereka telah “membeli” dengan harga yang pantas menjadi legalitas atas sikap keluarga suami yang memeprlakukannya layaknya seorang “pembantu” rumah tangga.
Sistem pernikahan juelen, dengan tradisi itenesen berakibat terhadap “menjauhnya” hubungan kekerabatan serta “menghilangnya” hubungan emosional antara perempuan yang telah ijuelen dengan kelurga dan seluruh elemen masyarakat yang berdomisili di kampung asalnya. Legenda Peteri Pukes dapat dijadikan contoh dari representasi tradisi ijuelen atau itenesen yang dirasakan anak manusia Gayo pada zamannya, kaitannya dengan menjauh dan menhilangnya hubungan kekerabatan dengan keluarga dan seluruh komponen masyarakat di kampung asalnya. Legenda Peteri Pukes menceritakan kepada kita tentang bagaimana suasana kesedihan, sahutan isak tangis dan sebuku (ratapan) yang terjadi ketika sang Peteri hendak itenesen (diantar menuju rumah dan kampung suaminya).
Pola dan sistem pernikahan juelen yang diringi dengan tradisi itenesen, sering menjadi pembenaran terhadap tindakan yang menyinggung emosional serta perilaku “semena-mena” dari keluarga suami (terutama keluarga dekat suami) terhadap seorang perempuan. Perempuan yang berlatar belakang sosial “kurang beruntung” serta “marginal” tidak jarang dipandang “sebelah mata” dan dianggap sebagi “pendatang” di kalangan keluarga suami.
Mate Berbedes
Bila takdir menimpa, maksudnya suami terlebih dahulu meninggal dunia, secara adat keluarga suami akan memeberitahukan kepada pihak keluarga isteri tentang status dan kedudukan seorang isteri, apakah kembali pada keluarganya atau masih tetap berada pada keluarga serta klan almarhum suaminya. “secara adat diberitahukan pada orangtua si isteri, dengan tujuan apakah isterinya tadi tetap tinggal di klan itu atau kembali pada orangtuanya. (Ar Hakim Aman Pinan, 1998).
Namun pada prakteknya dalam realitas masyarakat Gayo dahulu, tidak jarang ditemukan seorang isteri (perempuan), ketika suaminya telah meninggal dunia, ibedesen artinya “dikembalikan” kepada keluarga atau orangtua oleh keluarga almarhum suaminya. Pengembalian (pembedesen) ini berakibat terhadap putusnya hubungan kekeluargaan dengan keluarga almarhum suami, berakibat terhadap hilangnya “hak-hak” perolehan serta kepemilikan harta, terutama harta bawaan suami, walaupun dia mempunyai anak.
Praktek pembedesen seringkali dijadikan sebagai strategi atau cara oleh keluarga suami untuk “menguasai” atau “merampas” harta yang telah ditinggalkan. Perempuan yang telah ibedesen oleh keluarga suami “harga diri” dan “nilainya” selaku manusia yang sepantasnya dihormati telah hancur. Ibedesen (dikembalikannya) seorang isteri setelah suaminya meninggal, apalagi seorang isteri yang tidak memiliki orangtua dan keluarga lagi, tentu merupakan suatu peristiwa yang sangat “menyakitkan” dan “menyedihkan”, serta menghancurkan harga diri dan nilainya sebagai seorang perempuan. Konsekuensi yang dirasakan secara langsung dari seorang isteri (perempaun) yang telah ibedesen ini adalah: Pertama, “teruputusnya” tali silaturrahmi dengan pihak keuarga suami yang selama ini telah dibangunnya. Kedua, “hilang” dan “terputusnya” kepemilikan terhadap “harta”.
[1] Suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah. Patrilineal berasal dari dua kata bahasa Latin, yaitu pater yang berarti ayah, dan linea yang berarti garis. Jadi, patrilineal berarti mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah.
*Kepala KUA Kecamatan Celala, Aceh Tengah
Baca Juga:
Sistem Kekerabatan Suku Gayo Bukan Patrilineal Murni