Bila semua pihak bijak dan arif dalam menangani persoalan dan berpikir dengan jiwa yang bersih, insiden antara PETA/ pejuang ALA dengan Partai Aceh (PA) di Aceh Tengah tidak terjadi. Suasana hangat saat kampanye, akan mudah memancing emosi. Dalam hidup bila ada aksi, tentu akan ada reaksi.
Para Parpol seharusnya jauh-jauh hari “mendidik’ Jurkamnya untuk bertindak arif, tidak memancing partai yang lain. Trik-trik politik adalah hal yang biasa dalam meraih simpati, namun jangan memojokkan atau menjelekkan orang lain.
Bila semua mampu menjaga “batas api” permainan yang cantik akan terlihat. Jangan demi meraih kepentingan diri, ada orang yang disudutkan dan dikorban. Petuah ini bukan ditujukan kepada partai tententu, namun kiranya menjadi spirit buat partai manapun yang ikut berlomba dalam Pemilu kali ini.
Bila semua elemen berpikir dan berjiwa besar, termasuk media, negeri ini akan aman dan damai. Media juga memiliki peran dalam menciptakan kedamaian. Media seharusnya tidak menganut jurnalisme perang. Tidak ada istilah di media kita dan mereka. Tidak mempergunakan politik belah bambu, sebelah diangkat, sebelah lagi diinjak.
Dampak dari pemberitaan media juga sangat berpengaruh. Media itu ibarat air. Bila dia damai dan tenang, maka semua orang akan nyaman, air itu dapat dipergunakan untuk kebutuhan hidup, anak-anak akan damai bermain air, sambil berenang dan mandi. Segala kebutuhan hidup akan terpenuhi dari air.
Namun bila air itu menjadi air bah, berubah pekat dan menakutkan, air ini akan menghanyutkan apapun yang dilalui. Dampaknya sangat besar dan luar biasa. Media jangan menjadi pemantik api, namun alangkah indah dan damainya bila media membawa air kedamaian.
Pengalaman konflik Ambon, media menjadi pemicu terdepan konflik agama di sana. Ada media merah dan putih yang masing-masing membela kelompoknya. Walau media di Ambon ini pemilik sahamnya sama dalam satu grub, namun misi yang dilakukan di lapangan berbeda. Membela kelompok masing-masing.
Media yang ada di Aceh khususnya di Gayo kiranya harus menganut jurnalisme damai, bukan jurnalisme perang. Bukan mengusung kita dan mereka, namun membawa misi kebersamaan, mengulas akar persoalan dan mencari solusi, mengangkat dampak dari insiden, bagaimana keadaan rakyat, bagaimana nasib orang kecil bila muncul kerusuhan. Apakah pada umumnya rakyat banyak menginginkan adanya insiden? Apakah rakyat trauma dengan adanya insiden?
Belajar dari pengalaman terdahulu dan melihat adanya insiden dalam pemilu ini di Gayo, kiranya semua pihak harus mengurut dada, berjiwa besar, mengedepankan hati nurani, memikirkan nasib Gayo ke depan, bukan meraih keuntungan sesaat, namun ada yang dikorbankan.
Setie mate gemasih papa, sepapah sepupu, sebegi seperangai, falsafah muyang datu urang Gayo, jangan hanya dijadikan symbol dan sebagai kata hiasan, makna falsafah itu mendalam dan luar biasa. Nenek moyang urang Gayo sudah menanamkan falsafah itu, mengapa kini sulit mengamalkannya. Sebenarnya tidak sulit bila semua pihak meninggalkan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Mau menyelam ke dalam hati nurani “ aku Gayo”, demi Gayo kepentingan pribadi dan golongan harus kutinggalkan.
Bila semua pihak berjiwa dan mengamalkan falsafah leluhur Gayo, indisen teranyar adanya gesekan antara PETA/pejuang ALA dengan PA, seharusnya tidak terjadi. Kedua belah pihak bisa duduk bersama menyelesaikan persoalan. Salah bertegah benar berpapah. Luke bersalin, rengang berpenumpu. Genap si nge munge, agih si belem. Gayo ni tikikdi we. ( Redaksi LG)
setuju
setuju dengan komen di atas
Politik tidak salah …, akan tetapi berpolitiklah segagaimana tuntunan Rasulullah, dengan berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mengedepankan kepentingan rakyat ,supaya dapat berkah dari Allah, baru bisa dikatakan “Damai itu Indah” , enti sabi diri pelolo yoooh kemel kite.