Air Mata Tarla

Oleh :  Yaumil Fauzi Gayo*

Yaumil Fauzi Gayo

“Nasib ditentukan dari rahim mana engkau hadir dan terimalah kelahiranmu”

Dengan keringat yang membasahi sekujur tubuh, Tarla terus berjalan dengan tongkat yang menopang sebelah kakinya menuju rumah reot dipinggiran kota Surabaya. Rumah yang sangat kecil namun mampu membuat Tarla bahagia karena disanalah proses kehidupannya di mulai.

Siang tadi, setelah pulang dari sekolahnya, SD Muhammadiyah. Tarla langsung menuju terminal Joyo-Boyo untuk menjual gorengan, rutinitas yang setiap hari dijalani Tarla.

Tarla, 12 Tahun. Seorang gadis kecil yang duduk dibangku kelas 5 SD. Menderita cacat dan lumpuh pada kaki kirinya sejak umur 3 Tahun, poliomyelitis (polio). Penyakit yang “lahir” dari kerajaan Mesir beribu-ribu tahun lalu. Tidak begitu sulit mengenal gadis imut tersebut, dengan rambut sebahu yang bagian ujungnya memerah karena dibakar matahari, kulit bersih namun berwarna kecoklatan dengan tas ransel besarnya yang didapat dari pemberian sekolah.

Setiba dirumah beratap tepas, Tarla langsung disambut oleh Mbah Lela. Tarla hanya tinggal berdua bersama Mbah Lela sejak orang tua Tarla tau bahwa Terla terserang penyakit pada tingkat Strain 1 (paling paralitogenik/ganas). Bagi Suman, ayah Tarla. Polio adalah penyakit kutukan dan tidak akan bisa di sembuhkan. Satu-satunya jalan adalah membuang Tarla, karena kelak Tarla akan sangat menyusahkan keluarga. Mendengar kabar tersebut, Mbah Lela yang dulunya membantu persalinan Tarla, langsung mendatangi keluarga Suman dan meminta untuk merawat Tarla.

Tak dapat dielakkan, hinaan bahkan cacian sering mendarat ditelinganya. Baginya biarlah Tuhan saja yang membalaskan, karena cacian tersebut tidak seberat kehidupannya.

Senyum lebar Mbah Lela dengan guratan kesedihan yang tertahan di wajah, hampir saja Mbah Lela mengeluarkan air matanya lagi untuk cucu angkatnya tersebut, Mbah Lela selalu miris setiap melihat gadis kecil itu berjuang begitu keras untuk sesuatu yang dinamakan kehidupan.

“Bagaimana tadi jualannya, Nduk?” Sapa Mbah Lela ramah.

“Semoga hari ini Indah ya, Nduk?” hibur Mbah Lela kembali

Setelah mengucapkan salam, Tarla tersenyum dan menyalam tangan Mbah Lela. “Masak apa hari ini, mbah??” celetuk Tarla

“Wah hari ini kita makan spesial kesukaanmu, nasi sayur-ubi.” Jawab Mbah Lela

“Tarla shalat dulu ya mbah, ntar baru kita makan bersama” sambil tersenyum semangat Tarla meletakkan segala barang dan segera shalat.

“Nasib tidak pernah berbicara semaunya, tapi nasib tetap tergantung tuannya”

Siang yang terik, begitu menggigit untuk saling bermusuhan, debu kota melompat-lompat, cacian mobil mewah tak bertanggung jawab dan tidak bersahabatnya suasana hari itu memaksa Tarla untuk mengeluarkan tenaga ekstra.

“Sabar dan ikhlas adalah kunci kehidupan, nduk.” Terngiang suara mbah lela yang masih lekat dalam ingatan Tarla.

Dengan memakai pakaian seragam sekolah yang hampir berwarna kuning kusam. Dan sepatu hitam yang rapuh. Ditemani tas dan bakul gorengan.

“Gorengan Bu.. Gorengan Pak.” Teriak Tarla.

Belum ada satu gorengan Mbah Lela yang laku, Tarla tetap tidak mau putus asa, dia mencoba kembali masuk ke dalam terminal. Dengan jalan yang terlunta, Tarla menyeberangi jalan Gunungsari. Dengan semangat yang kembali membara. Tanpa melihat kanan-kiri jalan, Tarla menyebrang, kejadian begitu cepat. Sepeda motor menyerempet bakul gorengan Tarla, semua terjatuh, tongkat sebagai pengganti kakinya patah.

Tak ada jeritan yang keluar dari mulut Tarla, gadis itu hanya terduduk lesu dan beberapa kali mengucapakan Istighfar. Berlahan airmatanya tertumpah, namun dihapusnya cepat-cepat takut orang lain akan tau.

“Maaf dik, maaf. Kamu tidak apa-apa?” Aisyah menghampiri Tarla dengan gelisah

“Tadi kakak mau cepat, ibu kakak sedang berada dirumah sakit.” Suara lembut aisyah mengalir di balik rasa kaget Tarla.

”Sudah kak, tidak apa-apa, pergi saja dulu saya tidak apa-apa.”

Jawab Tarla dengan senyum yang mengembang. Takjub melihat kecantikan Aisyah

“Jualan kamu, tidak apa-apa? Atau kamu ikut kakak ke RS?” Sela Aisyah cepat dan gelisah

“kejar saja dulu ibu kakak.” Tegas Tarla tanpa mengiba dan terputus-putus.

“Baiklah 15 menit lagi saya akan kembali, kamu tunggu di sini saja ya.” Jawab Aisyah sambil berlalu.

Tarla baru sadar bahwa tongkatnya telah patah, dan yang lebih sakitnya lagi semua gorengan Mbah Lela lenyap, tidak layak jual. Kotor dan berpasir. Ditatapnya barang dagangan, setetes air hampir keluar dari mata beningnya. Kembali Tarla mengusapnya dengan cepat, Tarla sangat takut airmatanya terjatuh.

Tarla membawa patahan tongkatnya, dia berjalan diringi senja yang mengantarkan malam dan nyanyian dari masjid-masjid yang mengumandangkan adzan, kepenatan yang mulai merambah. Entah kemana tujuannya. Dengan perut yang belum terisi sama sekali dan pikiran yang begitu tak beraturan, merasakan beban yang seharusnya tidak dialami oleh anak seumurnya. Dia berjalan dengan luntaian kaki kiri yang lumpuh-tanpa tongkat.

Langit menumpahkan tangisan kepedihan dengan ganas, petir menyambar dasar selatan dan pucuk utara. Hujan yang begitu lebat. Tarla berlindung dari derasnya air hujan di sebuah ruko yang telah lama di tinggalkan penghuninya. Matanya was-was mencari di mana masjid terdekat yang bisa di hampirinya, namun semuanya seperti percuma mengetahui bahwa dengan keadaannya sekarang, tidak mungkin bisa melewati hujan yang turun tanpa kompromi.

Di putuskannya mencari air jernih yang bersih, tepat di samping ruko ada sebuah kran air, diambilnya wudhu. Tak tega dia kalau sampai kehilangan waktu maghribnya begitu saja. Ruko tidak terkunci dibukanya dan shalatlah Tarla dengan mukena lusuhnya, di cari tempat paling bersih untuk melaksanaan shalat tanpa penerangan yang memadai.

Setelah shalat, Tarla berdoa.

“Tuhan, hamba tau, hamba lahir bukan dari keluarga yang beruntung. Namun janganlah hal tersebut membuat hamba lemah.”

“Tuhan, hamba tau, hamba adalah seorang gadis kecil. Namun janganlah hal tersebut membuat hamba putus asa. Karena hamba yakin, Engkau selalu memberikan cobaan sesuai kemampuan hamba-hamba Mu.”

“Tuhan…” Ingatannya berputar di kejadian siang tadi, tangis mulai membasahi wajah sayunya dan kembali di hapusnya dengan cepat.

“Tuhanku, hamba tau hamba adalah seorang yang cacat. Tapi janganlah cacat hamba mengurangi niat hamba untuk menjadi bermanfaat, janganlah membuat hamba jadi hina di hadapan Mu. Dan janganlah hati hamba yang Kau buat cacat.”

“Ya Tuhan, mungkin Engkau bosan mendengar doa hamba. Doa yang di ajarkan Mbah Lela.”

“satu lagi Tuhanku. Ambillah air mataku, tidak ingin aku memilikinya.”

“Namun hamba yakin suatu saat nanti hamba akan menjadi orang yang beruntung dan bisa membahagiakan Mbah Lela.”

Namun kali ini air mata itu mengalir begitu deras, hanya isak yang mampu ditahannya,

Setelah hujan mulai berdamai, Tarla mencari sebatang patahan kayu untuk menggantikan tongkatnya, paling tidak sedikit mengurangi beban tubuhnya.

Dia periksan kantong, berharap menemukan sedikit uang untuk membeli roti, justru perutnya menjadi hambatan. Dia dapati uang Rp. 400 untuk membeli sepotong roti.

Dengan wajah yang mulai memucat karena dingin, lapar dan sedikit senyum keterpaksaan untuk menghibur diri sendiri. Keluar dari warung, matanya terpanah melihat seorang nenek dengan baju basah kuyuh duduk diemperan. Tarla mendekatinya, bathinnya bergemuruh teringat Mbah Lela.

“Nenek tinggal dimana?” sapa Tarla ramah.

“Ndak punya rumah nduk, nenek ya tinggal diemperan.” Gaya bahasa yang hampir sama dengan Mbah Lela ditambah senyum ikhlas yang lebar.

“Nenek tidak kedinginan?” Tarla seperti lupa bahwa yang di alaminya sama dengan nenek tersebut.

“Gak, nduk sudah biasa.”

“Apa nenek sudah makan?” Dengan intonasi kekanak-kanakan dan senyum yang lues.

“Ni Tarla ada sedikit roti. Di makan ya nek.” Tambah Tarla.

Tanpa berbasa basi lagi, setelah memberikan roti Tarla langsung pergi meninggalkan nenek. Sebuah senyum hangat menghiasi senyum Tarla malam itu.

“Nasib cuma membutuhkan usaha dan kesabaran untuk merubahnya. Rubahlah…”

Tarla adalah seorang istri dari raja ketiga romawi tepat 121 SM, Raja Oddeypus. Nama tersebut di berikan Suman kepada anaknya, agar anaknya dapat memiliki kepintaran seorang dewi Fortuna dan kecantikan seperti Tarla yang disebut banyak orang sebagai kekasih Tuhan. Tepat sekali yang diharapkan Suman, terjadi pada anak tersebut. Tarla tidak pernah melepaskan juara 1 dari genggamannya. Dan pada kelas 5 SD, Tarla sudah meguasai 2 bahasa. Inggris dan Jepang. Walaupun masih belum terlalu lancar dalam berbicara karena Tarla jarang membiasakannya dalam kehidupannya sehari-hari. Dari fisik seorang anak SD tarla memiliki aura khas di wajahnya, aura ketegaran dengan campuran kelembutan seorang wanita.

Malam semakin larut, jalan gontai dengan patahan kayu itu akhirnya sampai juga di gubuk reot. Rasa rindu kepada Mbah Lela tak tertahankan. Ingin rasanya Tarla memeluk Mbah Lela dengan kuat dan mencium kening Mbah Lela seperti biasa, tetapi ada juga rasa takut atas apa yang dialami Tarla dan gorengannya hari itu, perasaan yang bergulat menjadi satu. Solusinya yaitu langsung meminta maaf kepada Mbah Lela.

“Pasti kalau lagsung minta maaf sama si mbah, dimaafkan. Mbahkan, satu-satunya nenek Tarla tercinta” celetuknya dalam hati

Di kembangkannya senyum yang selebar mungkin, dicobanya merapikan rambut lepeknya.

“Assalamualaikum Mbah, Tarla pulang” teriak Tarla dari depan pintu.

Di bukanya perlahan pintu yang mengeluarkan bunyi derik kayu tua yang sudah di makan umur. Sedikit takut dengan mata menyelidik kekanan dan kekiri. Kepala mungil itu masuk menyelinap disela pintu.

“Mbah dimana? Kok lampu mati? Apa mungkin mbah sudah tidur? Kenapa mbah tidak menunggu ku?”

Banyak pertanyaan menghujam dibathin Tarla.

Tidak di dapatnya sosok Mbah di dalam gubuk. Semakin gelisah saja hati Tarla seperti kertas yang diremuk tangan.

Tak habis pikir, Tarla berlari terluntai ke warung di ujung gang, berharap mbah sedang berada di sana menunggunya ataupun sedang membeli sesuatu.

Namun nihil yang didapat Tarla, bahkan rasa kaget yang begitu keras menghantam seroik jantungnya setelah mendegar kata dari pak Rusdy si pemilik warung.

“Nenek dari tadi keluar, katanya mau mencari kamu. Mungkin nenek ke Terminal.”

Gundah, resah, sedih, rindu, haru. Perasaan yang bercampur aduk bak ombak yang menghantam bertubi-tubi.

Dengan lontah lari kecil yang sulit karena membebankan setengah tubuhnya ke kayu yang tidak didesain untuk orang cacat, Tarla menyusuri jalan menuju terminal. Tubuh mungil itu habis bermandikan keringat, setelah siang kini giliran malam yang tidak bersahabat. Hanya ingin segera bertemu Mbah Lela cetus bathinnya.

Sesampai diterminal, tidak juga di temukan sosok yang di cari Tarla. Di cobanya mengelilingi terminal, hasil yang mengecewakan tetap di dapat.

Dengan langkah yang putus asa dan takut yang menggunung, Tarla mendatangi pos keamanan di terminal yang seang berjaga malam. Kali ini tak banyak harapan.

“Permisi pak, lihat Mbah Lela?” Tanya Tarla lesu

“Wah, saya tidak kenal mbah kamu-e.” pria itu menjawab sekenanya

Sambil meninggalkan pos kemanan, kekecewaan kembali didapatnya. Bathinnya masih bergemuruh, kini rasa penyesalanlah yang menang. Ini semua karena kamu, Tarla, senggah bathinnya. Kalau terjadi sesuatu engkaulah yang bertanggungjawab, kini bathinnya berbisik marah.

Namun khyalan itu lenyap seketika ketika penjaga keamanan tadi memanggil Tarla, seberkas cahaya menghampirinya.

“Tadi sewaktu hujan saya melihat seorang nenek mencari cucunya. Tidak beberapa jauh setelah meninggalkan pos, si nenek jatuh pingsan, katanya sih kena sakit jantung.”

Kembali airmata itu menetes, dengan sigap dihapusnya. Nafasnya seperti terhenti, nadinya tak berdetak. Tidak ada suara dari mulut Tarla.

“Si nenek di bawa ke rumah sakit yang di dekat lampu merah, coba saja kesana”

Tanpa perintah yang jelas, tubuh itu lagsung bergerak menuju rumah sakit. Tidak banyak yang di pikirkan namun beratnya menjadi beban yang tidak tertahankan. Tidak ada airmata, tidak ada suara, yang ada hanya bayangan Mbah Lela.

Setiba di RS, Tarla langsung menemui mbah di Instansi Gawat Darurat. Tarla tidak paham kenapa kamar mbahnya begtiu berbeda dengan kamar RS seperti biasanya. Dicobanya berkomunikasi lewat tatapan mata yang terhalang kaca bening tebal.

“Maafkan Tarla mbah, maafkan Tarla.” Terus berdengung-dengung di bathin Tarla

Setelah Mbah Lela sadar dan di pindahkan ke sebuah kamar sederhana yang di huni 2 pasien lainnya. Sedikit kelegaan menyirami hatinya yang mulai mengering. Di temuinya Mbah Lela, di peluknya kuat-kuat.

“Mbah kemana saja?” Bisikknya dengan air mata yang mulai membasahi.

“Mbah sehat-sehat sajakan? Tidak ada apa-apakan mbah.” keluhnya di bahu Mbah Lela.

Mbah Lela hanya abisa tersenyum sayu sembari membelai rambut Tarla. Wajah Mbah Lela pucat, hanya senyum ketir yang terlintas disana. Dinding retinanya kelihatan sangat tak berdahaga.

“Mbah tidak kemana-mana,” senyum Mbah lirih

“Jangan pernah tinggalkan Tarla lagi mbah” tangisnya mulai membanjiri

“Nduk, kan sudah mbah bilang, air mata hanya bisa membuat kita lemah, jangan tunjukkan kelemahan itu. Kuatkan luar dalam mu, Nduk.” Lembut suara Mbah Lela, kini tanggan mbah lela mengusap air mata Tarla.

Semesta mencoba beristrahat sejenak, menunggu kabar dari angin laut dan fajar tak lagi ceriwis.

Pagi datang begitu cepat, malam seperti mengkhianati perjanjian sinatar. Isak tangis Tarla pecah, dinding tak berkomentar, udara diam, angin membeku, langkah tak berderu, nafas tersengal, darah tah beraturan. Sungguh sesak paru-paru Tarla. Mbah Lela meninggal dengan senyuman paling indah.

Berlari Tarla keluar kamar, diredamkan wajahnya di tembok putih bersih itu. Tangisnya jatuh tak tertahan, isaknya pun tak mau kalah. Tarla kalah, bathinnya membisik. Tak sanggup lagi rasanya perempuan mungil itu melakukan apa-apa. Kali ini hanya bisa menangis seperti langit telah runtuh menimpa dada Tarla.

“Adik kenapa?” suara tersebut lembut bertanya

“Ada yang bisa kakak bantu?” tambahnya

Suara yang tidak asing bagi Tarla, Suara orang yang dulu pernah menabraknya. Di lihatnya Aisyah, senyum yang merekah itu seperti menjadi obat penawar bagi racun yang berkerat ditubuh Tarla. Dipeluknya Aisyah, dibenamkannya kepedihan di pundah Aisyah.

Semua diceritakan Tarla kepada aisyah, dari lahir hingga dia bisa berada dirumah sakit hari itu. Aisyah tak pelak menahan airmatanya, jatuh begitu saja tanpa bisa dibendung.

Aisyah merasa harus membantu anak tersebut dan Aisyah juga merasa masih memiliki hutang karena kemarin dialah yang menyerempet Tarla hingga anak tersebut kalut. Aisyah berjanji setelah neneknya dimakamkan Aisyah akan meminta bantuan teman-temannya untuk bisa menyembuhkan penyakit Tarla dan mencoba mengganti hari-hari Tarla dengan hari yang lebih indah untuk dilewati anak seusianya.

Surabaya,  malam 18 April 2011

(Malamku yang untukmu Krn)

*Yaumil Fauzi, lahir di Takengon, 8 Desember 1988. Lulus dari SMA Negeri-8, Medan, melanjutkan ke ITS ( Institut Teknologi 10 Nopember – Surabaya), Jurusan Planologi. Aktif di teater Tiyang Alit, teater Kampus (ITS-Surabaya). Menulis artikel, cerita pendek dibeberapa media Surabaya. Beberapa naskah dramanya dipentaskan Tiyang Alit untuk kegiatan teater Kampus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. Bismillah…
    kata adalah senjata.
    dan tulisan adalah cakrawala wawasan.
    bagi saya tulisan adalah sejarah
    ayo menulis dan membaca

  2. Menarik, semoga menjadi motivasi bagi generasi muda Takengon untuk menulis dan menulis. Menulis itu indah dan membuai perasaan dengan kata dan kalimat yang menyentuh. …Mulailah menulis generasiku..walau hanya satu kata. Tapi sudah berani memulai…semoga akan menjadi kata dan kalimat yang merangkai setiap sudut kehidupan…Bismillah