Doto: Isu Migas Sangat Up to Date untuk Dibahas

Banda Aceh | Lintas Gayo – Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah menghadiri dan membuka secara resmi Seminar Nasional yang mengangkat tema ‘Pengelolaan Migas di Wilayah Aceh’. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Universitas Syiah Kuala, SKK Migas dan Medco Energy ini, digelar di Aula Utama AAC Dayan Dawood, kompleks kampus Unsyiah, Darussalam, Sabtu (27/12/2014).

Dalam kesempatan tersebut, Gubernur menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Unsyiah yang telah menggagas kegiatan ini. Zaini menyatakan, bahwa topik yang diangkat dalam seminar tersebut tepat.

“Sangat up to date, karena  isu RPP Migas sedang hangat-hangatnya dibahas. Alhamdulillah, masalah RPP Migas ini hanya tinggal ketok palu. Perdebatan antara Aceh dan Jakarta sudah selesai.  Kita tinggal menunggu momentum pengesahannya. Seraya menunggu, tentu menarik jika masalah Migas ini kita bahas kembali.”

Gubernur berharap, walaupun apa yang akan didiskusikan nantinya tak akan bisa lagi berkontribusi memperkuat substansi RPP, namun setidaknya hasil diskusi akan mampu memberi masukan dalam pelaksanaan di lapangan nanti.

Sebagaimana diketahui, dengan segala kekhususan yang dimiliki Aceh, maka masalah pengelolaan Minyak dan Gas menjadi hal yang penting untuk bahas. Hal ini berkaitan dengan amanat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Pada pasal 160 dan 161 UUPA, masalah Migas ditegaskan sebagai salah satu bagian penting dalam sistem bagi hasil sumber daya alam antara Pemerintah Aceh dan Pusat. Begitu pentingnya, sehingga masalah migas perlu dibahas dalam satu peraturan tersendiri sebagai salah satu turunan Undang-Undang Pemerintah  Aceh.

Secara umum, UUPA mengharuskan Pemerintah Pusat untuk melahirkan 8 Peraturan Pemerintah dan 3 Peraturan Presiden.

“Sejauh ini, baru tiga PP dan dua Perpres yang sudah selesai. Artinya, masih ada 6 PP dan 1 Perpres lagi yang belum selesai, di antaranya PP Migas, PP Kewenangan Aceh, dan Perpres tentang Pertanahan.

Zaini menjelaskan, dari semua regulasi tersebut, setidaknya ada dua yang mengundang perdebatan cukup panjang, yaitu PP Migas dan PP soal pertahanan. Perdebatan tersebut terjadi karena ada undang-undang lain yang mengatur hal yang berbeda dengan UUPA.

Sebagaimana diketahui, perdebatan tentang RPP Migas menguat sejak tahun 2010. Perbedaan pandangan mengenai dua hal, yaitu zona mil laut dan sistem bagi hasil.

Pemerintah awalnya bersikukuh bagi zona kewenangan Aceh hanya berada hingga 12 mil dari bibir pantai. Sementara untuk area 12 mil hingga 200 mil ke atas menjadi kewenangan Pusat.

Argumentasi dari Pemerintah Pusat adalah karena area tersebut merupakan zona internasional dan berkaitan erat dengan permasalahan keamanan dan pertahanan.

Usulan ini yang ditolak oleh Pemerintah Aceh. Alasan Pemerintah Aceh sederhana, karena melihat kekayan migas Aceh banyak terdapat pada zona di atas 12 mil hingga 200 mil laut.

“Kalau saja kita menurut pada keputusan pemerintah bahwa zona laut Aceh hanya 12 mil dari lepas pantai, maka PP Migas ini tidak akan berarti apa-apa bagi Aceh,” tegas Zaini.

Dua Argumentasi Pemerintah Aceh Terkait RPP Migas

Setidaknya ada dua alasan mendasar yang memperkuat argumentasi Pemerintah Aceh yang disampaikan oleh Zaini Abdullah dihadapan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan para peserta seminar, yaitu;

Alasan pertama, karena dapat dipastikan bahwa Aceh hampir tidak punya sumber kekayaan migas di wilayah 12 mil dari garis pantai. Hal inilah yang membuat tim dari Pemerintah Aceh, sejak awal telah bersikeras menuntut agar zona kewenangan tersebut harus sampai 200 mil laut.

Pasca habisnya sumber gas PT Arun, sumber kakayaan mineral Aceh untuk kawasan laut, yang tersisa hanya ada di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) tersebut, yaitu 12 mil hingga 200 mil.

Alasan kedua didasari pada pertimbangan agar penerimaan bagi hasil migas Aceh bisa berjangka panjang. Hal tersebut berangkat dari hasil survey yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan dan Mineral Aceh serta hasil penelitian independen lainnya.

Hasil penelitian itu menyebutkan ada banyak kekayaan Migas Aceh yang berada hingga 200 mil dari garis pantai, termasuk sumber migas di wilayah Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Singkil dan Simeulue.

“Pada waktunya nanti kita berharap sumber kekayaan alam itu bisa dieksplorasi,” harap Zaini.

Selain itu, dengan sistem bagi hasil, Aceh juga tetap bersikikuh kalau sistem bagi hasil mengacu pada pasa 181 ayat (3) Undang-Undang  Pemerintah Aceh dan pasal 14 Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004, di mana 70 persen keuntungan menjadi milik Aceh, 30 persen untuk pusat. Sementara Pemerintah pusat sempat meminta sistem bagi hasil dengan rasio sebaliknya.

“Alhamdulillah, setelah adu argumen cukup panjang, pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat akhirnya mencapai titik temu dari perdebatan itu. Kami sudah mendengar kalau PP Migas telah mendapat persetujuan presiden dan tinggal pengesahan lagi. Dengan demikian, perdebatan panjang soal regulasi Migas Aceh telah selesai,” terang Gubernur.

Masalah yang kita hadapi berikutnya, lanjut Zaini, adalah bagaimana mengoptimalkan sumber daya migas yang ada di Aceh, baik yang ada di wilayah daratan maupun di kawasan lepas pantai, untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Pada prinsipnya, Pemerintah Aceh setuju untuk mengoptimalkan semua potensi yang ada, selama tidak merusak lingkungan dan tidak berada di kawasan yang terlindungi.

Gubernur optimis, dengan lahirnya PP Migas, maka nilai eksplorasi Migas Aceh akan terukur secara jelas dan bisa diketahui publik.

“Tidak seperti sekarang, dimana kondisinya masih abu-abu. Setiap tahun Aceh mendapat kompensasi dari sistem bagi hasil Migas, tapi kita tidak pernah tahu berapa banyak sebenarnya hasil Migas Aceh,”

Oleh karena itu gubernur berharap, perkembangan terbaru akan mampu mendorong hadirnya perubahan besar bagi usaha pertambangan Migas di Aceh, sehingga potensi Migas yang sudah ada  bisa diolah hingga pada tahap produksi.

“Sejalan dengan itu, maka investasi tambang Migas di Aceh juga akan dibuka ke ruang publik. Peluang ini diharapkan akan mampu menarikminat dari banyak investor untuk berinvestasi pada sektor pertambangan di Aceh,” pungkas Zaini Abdullah.

Hadir dalam kegiatan tersebut, Menteri  Energi dan Sumber Daya Mineral RI, Sudirman Said, Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al-Haytar, Rektor dan Para guru besar Universitas Syiah Kuala, Anggota DPR Aceh serta unsur Forum Koordinasi Pimpinan Daerah.

Hadir pula anggota DPD-RI, Rafly. Musisi Aceh yang kini telah duduk sebagai senator mewakili Aceh itu hadir bersama M Nasir Djamil, politisi yang telah tiga kali terpilih sebagai anggota DPR-RI. (Ngah)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.


Deprecated: str_replace(): Passing null to parameter #3 ($subject) of type array|string is deprecated in /home/wxiegknl/public_html/wp-content/plugins/newkarma-core/lib/relatedpost.php on line 627

News