** Untuk Mempersiapkan Generasi Muda Gayo Tangguh Berkarakter
Oleh : Dr. Al Musanna, M.Ag
Sistem budaya merupakan manifestasi dari konsepsi-konsepsi ideal yang berfungsi mengarahkan masyarakat memaknai kehidupan. Sistem nilai budaya berfungsi sebagai acuan moral dan tindakan, serta digunakan untuk mempertahankan eksistensi komunitas. Sistem budaya merangkum seperangkat pengetahuan yang meliputi pandangan hidup, keyakinan, nilai, norma, aturan, hukum yang menjadi milik suatu masyarakat melalui proses belajar yang kemudian diacu menata, menilai, dan menginterpretasi benda dan peristiwa dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (Melalatoa, Ed., 1997: 5). Kebudayaan dalam wujud ini bersipat abstrak, tidak dapat difoto dan difilm, dan hanya dapat diketahui serta dipahami (oleh warga kebudayaan lain) setelah dipelajari secara mendalam melalui wawancara intensif, pengamatan yang intensif atau membaca laporan penelusuran antropologis mengenai masyarakat bersangkutan (Koentjaraningrat, 2011: 75). Dengan sistem nilai yang dimilikinya, sebuah komunitas membentuk prilaku dan harapan-harapan idealnya mengenai kehidupan.
Sistem budaya Gayo mencerminkan kompleks gagasan dan praktik yang memandu pikiran dan tindakan masyarakat Gayo. Sistem budaya Gayo mencerminkan konsep ideal mengenai karakter yang diharapkan terbentuk dan mewarnai pola tindakan masyarakat Gayo. Menurut Melalatoa yang merupakan seorang antropolog kelahiran dataran tinggi Gayo dan pernah menduduki jabatan akademis sebagai guru besar Antropologi di Universitas Indonesia. Melalui penelitian selama hampir tiga dekade di dataran tinggi Gayo, Melalatoa merumuskan sistem nilai budaya Gayo menjadi tiga katagori: nilai utama; nilai penunjang; dan nilai pendorong. Mukemel merupakan nilai utama dalam konstruksi sistem nilai budaya Gayo. Untuk menumbuhkembangkan nilai mukemel mempersyaratkan adanya sejumlah nilai penunjang yang terdiri atas nilai: tertip, setie, semayang-gemasih, mutentu, amanah, genap-mupakat, dan alang-tulung. Nilai-nilai penunjang tersebut digerakkan oleh nilai kompetitif (bersikekemelen) yang berfungsi sebagai nilai pendorong. Sistem budaya Gayo dapat digambarkan sebagai berikut:
Berikut penjelasan mengenai komponen penata sistem budaya Gayo.
1) Mukemel
Nilai mukemel berkenaan dengan harga diri. Kemel pada dasarnya berarti malu sebagai pengertian yang biasa, namun dalam konteks yang lain kemel berarti harga diri. Ungkapan adat (perimustike) menyatakan “ike kemel mate” yang artinya apabila seseorang merasa harga dirinya telah tercemar maka mati-pun dihadapi. Orang yang menjaga dan mempertahankan harga dirinya disebut jema mukemel; sebaliknya orang yang tidak mempunyai harga diri dinamakan jema gere mukemel. Senada dengan itu, Bowen (1983: 171) memaknai mukemel sebagai rasa kesopanan, kecakapan menempatkan diri (sense of propriety, the quality of knowing how to conduct oneself). Dengan nilai ini seseorang akan berusaha menjaga agar tindakan dan ucapannya senantiasa dipandu nilai-nilai luhur yang bersumber dari ajaran agama dan kearifan lokal masyarakat Gayo.
Mukemel merujuk pada kemampuan seseorang menjaga dirinya agar tidak terjerumus pada tindakan yang dapat menyebabkan hilangnya harga diri. Melalatoa (1983: 89) menyimpulkan bahwa masyarakat Gayo menganggap ‘malu’ itu adalah baik, karena orang yang tidak memiliki ‘malu’ berarti tidak punya harga diri. Rasa ‘malu’ itu telah dibudayakan sejak masa kecilnya. Nilai-budaya ‘malu’ ini tersimpan dalam bahasa atau pribahasa, atau kata yang selalu dihidupkan dan diteruskan dari satu generasi kepada generasi berikutnya, misalnya melalui cerita (kekeberen). Terdapat empat pantangan adat atau opat kemalun ni edet yang menjadi ukuran apakah seseorang sudah memiliki dan menghayati nilai mukemel. Adapun prinsip-prinsip adat (kemalun ni edet) terangkum dalam ungkapan: denie terpancang; nahma teraku; bela mutan; malu tertawan. Denie terpancang terkait dengan harga diri yang menyangkut hak-hak atas wilayah. Nahma teraku, berkenaan dengan harga diri menyangkut kedudukan yang sah direbut dengan cara tidak benar. Bela mutan berkaitan dengan harga diri yang terusik karena anggota kelompok disakiti atau dibunuh. Malu tertawan menggambarkan terusiknya harga diri apabila kaum wanitanya diganggu, dilarikan atau difitnah. Mukemel memotivasi seseorang atau sebuah kelompok untuk melakukan hal-hal yang terpuji dan berkompetisi menampilkan prestasi terbaiknya. Nilai ini mencerminkan etos personal dan komunal.
2) Tertip
Nilai penunjang lainnya untuk mewujudkan nilai utama (mukemel) adalah tertip. Tertip berkenaan dengan sikap hati-hati sehingga tindakan dilakukan sesuai konteks yang melingkupinya. Sebuah ungkapan Gayo menyatakan “tertip bermejelis, umet bermulie” (ketertiban dalam interaksi sosial merupakan prasyarat kemuliaan bersama). Penempatan diri dalam kehidupan bersama menentukan apakah seseorang itu mempunyai harga diri atau tidak. Pentingnya nilai tertib termanifestasi dalam ungkapan “warus barang kapat, wajib atas tempat.” Ungkapan tersebut menunjukkan pentingnya menempatkan sesuatu pada tempatnya. Pengabaian terhadap nilai tertip mengakibatkan munculnya penilaian terhadap orang tersebut sebagi kurang akalnya. Pemahaman terhadap waktu, tempat dan orang yang dihadapi menjadi kunci manifestasi nilai tertip. Terdapat sejumlah ungkapan adat terkait nilai tertip: “batang ni ilmu akal, batang ni ume patal (batangnya ilmu akal, batangnya sawah ada pematang); becerak enti sergak, remalan enti begerdak; mujurah enti munyintak, mujangko enti munulak ((berbicara tidak kasar, berjalan tidak menghentak, memberi tidak congkak, menerima tidak dengan menunjukkan ekspresi yang tidak puas); remalan bertungket, peri berabun (berjalan memakai tongkat atau mengikuti pedoman, berbicara memperhatikan aturan).
3) Setie
Setie artinya mempunyai komitmen atau teguh pendirian. Kata ini merujuk pada sikap tidak mudah menyerah memperjuangkan kebenaran. Nilai setie terwujud dalam keteguhan menjaga agar kesepakatan-kesepakatan yang dibangun bersama dijaga keberlanjutannya. Sebuah perimustike menyatakan, “setie murip, gemasih papa” yang menegaskan pentingnya kesetiaan ditumbuhkan dalam diri seseorang. Nilai ini mendorong seseorang untuk memiliki komitmen dalam memperjuangkan prinsip-prinsip bersama yang diyakini kebenarannya. Nilai setie melambangkan sikap teguh pendirian yang dilandasi pengetahuan, bukan kesetiaan yang didasarkan pada kepentingan-kepentingan sesaat. Pentingnya nilai kesetiaan terangkum dalam ungkapan berikut: “patal terlis tauhi uren//aku gere rejen betudung tetemi//bier murensé tubuh ôrôm beden//aku gere rejen munubah janyi.’ Ungkapan tersebut berarti: pematang sawah diguyur hujan//aku tidak rela bertudung jerami//meskipun hancur tubuh-badan//aku tidak akan berubah janji.
4) Semayang–gemasih
Semayang-gemasih artinya kasih sayang. Istilah semayang berasal dari kata sayang yang dalam penggunaannya menunjukkan kasih-sayang yang tulus. Pada mulanya istilah semayang diidentikkan dengan sipat seorang ibu yang menyayangi anak setulus hati. Sementara itu, istilah gemasih mencerminkan kepribadian seseorang yang suka memberi atau pemurah (lawannya kikir atau bakhil). Semayang-gemasih perlu diimbangi sikap adil atau kemampuan menempatkan kasih sayang secara proporsional. Sebuah perimustike menyebutkan, “kasih enti lanih, sayang enti lelang” yang berarti pentingnya kemampuan bertindak tepat waktu dan tepat sasaran dalam memanifestasikan kasih-sayang. Kasih-sayang yang tidak diiringi pengetahuan dapat merusak, misalnya memanjakan anak atau memberi sesuatu kepada orang lain tetapi disertai sikap yang merendahkan (sombong). Ibrahim dan Pinan (2010: 24) mengungkapkan bahwa pada masa lalu, manifestasi dari nilai semayang-gemasih terlihat pada kebiasaan para kejurun atau pengulu yang mengakui orang lain menjadi keluarga kampung atau belah (klen) dilandasi semangat harga diri kampung (sara kekemelen).
5) Mutentu
Mutentu berarti rajin, ulet, bekerja keras atau melaksanakan sesuatu sesuai aturan. Nilai ini memberi penekanan pada pembentukan sikap tidak ceroboh dalam mengambil keputusan. Kebiasaan atau sikap mutentu dapat dimaknai dengan kemampuan menempatkan persoalan secara tepat. Nilai ini berkenaan dengan kesiapan seseorang menangani segala kemungkinan secara hati-hati dan bertanggungjawab. Penjabaran nilai mutentu dalam laku keseharian termanifestasi pada kematangan emosional seseorang dalam bersikap.
Kedudukan nilai mutentu tercermin pula dalam visi hidup yang terangkum dalam ungkapan bidik, mersik, lisik dan cerdik. Bidik artinya cepat dan tepat dalam melaksanakan sesuatu yang bermanfaat, tidak suka berlama-lama apabila sebuah pekerjaan dapat dituntaskan segera. Mersik artinya berani, sabar, tabah, dan tahan uji dalam menghadapi resiko, tantangan, cobaan, atau musibah dalam berusaha. Mersik digunakan dalam menilai dimensi fisik berarti mempunyai tubuh yang sehat. Lisik artinya mempunyai target jelas dan kesungguhan melakukan sampai tuntas. Adapun cerdik artinya mempunyai ilmu, pandai memahami situasi, terampil melakukan dan bijaksana menyelesaikan masalah.
6) Amanah
Nilai amanah berkaitan dengan kesesuaian ucapan dan perbuatan atau nilai kejujuran. Terdapat sejumlah perimustike yang menunjukkan kedudukan nilai amanah dalam sistem nilai budaya Gayo: “kukur i amat guk é, akang i amat bekas é, jema i amat leng é.” (burung ditandai dari suaranya, rusa ditandai dari jejaknya, manusia dikenal dari ucapan atau janjinya). Ungkapan tersebut menggambarkan bahwa nilai amanah merupakan hal yang sangat penting yang harus dimiliki seseorang karena menjadi penanda terpenting yang membedakannya dengan makhluk lain.
7) Genap-mupakat atau Keramat-mupakat
Genap-mupakat atau keramat-mupakat merupakan nilai budaya Gayo yang berkaitan dengan musyawarah untuk menemukan solusi terbaik (mupakat). Nilai musyawarah menjadi salah satu norma yang telah dibudayakan dalam pergaulan sosial masyarakat Gayo. Hurgronje (1903/ 1992: iv) ketika membahas mengenai budaya Gayo pada awal abad ke-20 menyebut orang Gayo sebagai orang republik yang bebas dan berani mengungkapkan pendapat tanpa terlalu terikat hierarki yang tegas sehingga mobilitas vertikal berlangsung tanpa hambatan berarti. Nilai genap-mupakat tercermin pula dalam struktur pengelolaan pemerintahan adat sebagaimana terangkum dalam ungkapan “keramat mupakat, behu berdedele” yang menekankan pentingnya kedudukan musyawarah untuk memperoleh mupakat dan penghormatan terhadap hasil musyawarah yang dipandang keramat (mulia). Manifestasi pentingnya nilai keramat mupakat dan genap-mupakat dalam masyarakat Gayo tercermin pula pada penggunaan istilah ini pada lambang daerah di dataran tinggi Gayo (Lambang daerah Kabupaten Aceh Tengah menyebut keramat mupakat; Kabupaten Aceh Tenggara menyebut sepakat-segenep; Gayo Lues dengan musara; dan Kabupaten Bener Meriah dengan musara-pakat).
8) Alang-Tulung
Alang-Tulung artinya tolong-menolong. Karakter ini tercermin dalam ungkapan alang-tulung berat-berbantu yang menegaskan bahwa setiap orang memerlukan interaksi sosial yang memungkinkan proses memberi dan menerima. Sistem sosial dalam masyarakat Gayo diikat solidaritas kelompok atau disebut sara kekemelen (kesatuan harga diri). Artinya, apabila seseorang dalam klen melakukan tindakan yang menjatuhkan martabat belah, imbasnya bersipat kolektif. Ikatan kebersamaan ini dibangun tidak hanya berdasarkan jalinan darah (keluarga) tetapi juga berdasarkan domisili. Hurgronje (1903/1996: 55) dalam Gayo: Masyarakat dan Kebudayaannya Awal Abad ke-20 ketika menjelaskan solidaritas dalam masyarakat Gayo menyatakan sebagai berikut:
…rasa solidaritas mungkin lebih tebal pada saudere [ikatan kekerabatan] di tanoh Gayo dibandingkan pada kawan se-gampong [kampung] yang ada di Aceh, di mana seorang kawan segampong yang membandel bisa saja dengan mudah pindah rumah atau menyingkirkan diri ke tempat lain karena tidak bisa membayar hutang misalnya. Lain halnya dengan saudere bagi orang Gayo, bela-bela ataupun hutang dari saudere sendiri adalah juga bela atau hutang dari saudere satu belah yang harus dipikul oleh saudere yang lain. Bila tidak mau, tidak ada jalan lain kecuali perang, itulah jalan terakhir.
Solidaritas masyarakat Gayo yang dilandasi nilai alang-tulung tercermin pula dalam kebiasaan masyarakat Gayo yang merasa terhina apabila terdapat keluarga atau anggota belah-nya yang menjadi peminta-minta (pengemis). Nilai alang–tulung berperan menguatkan ikatan saling menjaga dan mendukung pemenuhan kebutuhan hidup dan peningkatan kualitas hidup personal dan komunal.
9) Bersikekemelen
Nilai penggerak yang melandasi berkembangnya nilai-nilai penunjang disebut bersikekemelen atau nilai kompetitif. Melalui bersikekemelen, nilai-nilai penunjang lebih berkembang dan bermuara pada kukuhnya nilai utama, mukemel. Nilai kompetitif ini menunjang struktur sosial, memacu dinamika, menunjang kreativitas dalam berbagai aspek kehidupan. Bersikekemelen merupakan nilai yang diperlukan dalam meraih prestasi dalam berbagai lapangan kehidupan. Nilai ini dapat diidentikkan dengan perintah berlomba-lomba melakukan yang terbaik (fastabiqul khairat). Pengamalan nilai bersikekemelen mendorong dinamika dalam memperbaiki kualitas keilmuan, pengamalan agama dan kemampuan berinteraksi menjadi lebih hidup dan berkembang. Nilai ini didukung oleh nilai idung bertunung adi bermemulo yang berarti berlomba untuk mendapatkan, menciptakan, memberikan, atau menyajikan yang terbaik dalam segala bidang kehidupan. Nilai bersikekemelen penekanannya lebih pada dimensi kualitas personal dan moral. Konsep bersikekemelen diarahkan pada pengembangan karakter yang mulia, misalnya kesungguhan mencari pengetahuan, menumbuhkan sikap kepedulian pada orang-orang yang membutuhkan, keteguhan berpegang pada nilai-nilai moral, dan lain-lain.
Berdasarkan penjelasan tersebut, sistem nilai budaya Gayo yang terdiri atas nilai utama, nilai penunjang dan nilai penggerak sangat penting diperkenalkan dan dibiasakan kembali. Sistem nilai budaya mencerminkan profil ideal yang diharapkan menjadi fondasi penting dalam pembentukan pribadi yang dihormati dalam pergaulan sosial. Sistem nilai budaya Gayo merupakan aktualisasi akhlak terpuji (akhlak al-karimah) yang pengejawantahannya menjadi bagian penting dalam menjaga kehormatan diri. Dengan demikian, sistem nilai budaya Gayo sangat penting disosialisasikan dan diinternalisasikan secara berkesinambungan sehingga dapat terbentuk pemahaman dan penyikapan yang lebih baik terhadap nilai-nilai tersebut. Generasi muda Gayo perlu diperkenalkan kembali pada sistem nilai tersebut sehingga lebih tertarik untuk memahami dan menerapkan konsepi ideal tersebut dalam kesehariaannya.