KETIKA zaman perang berkecamuk, manusia satu ini terkenal pemberani. Sejak kecil dia ditempa dengan ilmu agama. Karakternya terkenal tegas tanpa kompromi. Kini, meski jasadnya telah terbaring di pangkuan ibu pertiwi. Namun namanya begitu melekat di hati rakyat.
Adalah Abu Bakar Aman Dimot, pria kelahiran 1920 di Tanamak, Linge Isaq, Aceh Tengah. Di masa penjajahan (agresi I dan II–1945-1949) ia bersama pejuang lainnya dikenal begitu gigih mempertahankan jengkal demi jengkal tanah Republik Indonesia dari rongrongan Kolonial Belanda.
Konon dibalik keberanian dan ketangguhan jiwanya, Pang Aman Dimot, juga merupakan sosok yang alim dan memiliki ilmu kebal (tahan senjata tajam dan hujaman peluru). Kelebihan yang dianugerahkan Tuhan ini, kerap membuat musuh yang dihadapinya ciut.
Data dihimpun dari berbagai sumber, dibawah garis komando Tgk Ilyas Leubeu, Pang Aman Dimot bersama pang-pang (panglima-red) lainnya asal Gayo pada tahun 1947 menyerbu Belanda ke Sumatera Timur. Dalam perjalanan bersama lasykar mujahidin, Aman Dimot dan pasukannya dicegat balatentara Belanda yang berpatroli di Bukit Talang.
Di pertempuran itu, pasukan Aman Dimot terjepit, lantaran kekuatan senjata yang tak berimbang. Musuh mempersenjatai diri dengan alat berat. Untuk sementara, pasukan dari Gayo ini diintruksikan untuk segera undur diri guna mengatur strategi.
Pasukan tersebut mundur. Namun, tidak dengan Aman Dimot, gelora jiwanya sulit diredam. Ia bersama dua rekan seperjuangannya tanpa mengenal lelah menerobos markas Belanda. Di peristiwa itu walau Aman Dimot lolos dari ‘maut’ tapi kedua sahabat karibnya tewas di tempat.
Sekembalinya ke Aceh Tengah, Tgk Ilyas Leubeu yang terus berupaya mempertahankan hak bangsa dan agamanya, kemudian membentuk barisan Bagura (gurilla). Pasukan Aman Dimot ikut bergabung. Di bawah intruksi Devisi Teuku Chik Di Tiro, pejuang Bagura dari Gayo itu diarahkan menuju Tanah Karo pada 1949. Di mana Belanda melancarkan agresi ke II.
“Pasukan Bagura dibagi beberapa regu. Salah satunya dipimpin langsung oleh Aman Dimot. Namun sayang, saat pertempuran sengit terjadi di Kaban Jahe arah Kute Cane (Aceh Tenggara) Aman Dimot akhirnya tertangkap. Perang tersebut memakan korban yang tidak sedikit di kedua belah pihak,” ungkap Mahmud Ibrahim, 76, pemerhati sejarah , menjawab Waspada, Senin (10/8) di Takengen.
Menurut Ketua Baitul Mall Aceh Tengah ini, Aman Dimot selain berani dalam berperang, juga sangat lincah dalam menggunakan pedang. Tidak sedikit pasukan Belanda yang tewas akibat terkena sabetan pedangnya. Bahkan, ketika sudah di tahan Belanda, Aman Dimot kerap melakukan perlawanan.
“Mungkin karena kondisinya yang kian melemah saat ditahan Belanda, Aman Dimot kemudian menyampaikan kelemahan ‘tubuhnya’ ke pada serdadu. Akhirnya Belanda memasukan granat dan meledakannya di rongga mulut Aman Dimot. Tepatnya ia gugur, 30 Juli 1949,” sebut Mahmud Ibrahim.
Terpisah, hal senada disampaikan, Jafar, 72,warga Bebesen, Aceh Tengah. Ia mengutarakan, perjuangan Aman Dimot selain dikenang begitu heroik dihati masyarakat, juga diharap dapat dijadikan tokoh teladan untuk mengisi kemerdekaan. (Irwandi MN/ Harian Waspada/ Kamis 13/8/2015).