Oleh : Sabela Gayo* dari Thammasat University Bangkok, Thailand International Conference on International Relations and Development (ICIRD) 2011
Fakultas Ilmu Politik Universitas Thammasat untuk pertama kalinya melaksanakan Konferensi internasional mengenai Hubungan Internasional dan Pembangunan. Berbagai isu terkini yang terkait dengan hubungan antar bangsa, pemerintahan, hak asasi manusia dan pembangunan dipresentasikan dan didiskusikan bersama oleh berbagai kalangan baik akademisi maupun praktisi. Ada sekitar 108 kalangan baik akademisi maupun praktisi dari berbagai lintas organisasi dan profesi yang menyampaikan makalahnya pada acara tersebut. Isu-isu yang dibahas mulai dari isu lingkungan, politik, globalisasi, konflik, hak asasi manusia, pendidikan, ekonomi dan pembangunan. Diantara para pembicara tersebut hadir Adam Burke yang berorasi tentang ”Bantuan Asing dan Pembangunan Perdamaian Bukan Sesuatu Yang Penting Dalam Konflik”. Kegiatan konferensi internasional ini diselenggarakan atas kerjasama 4 (empat) universitas Thailand yaitu Universitas Thammasat, Universitas Chulalangkorn, Universitas Mahidol dan Universitas Chiang Mai. Dan didukung oleh beberapa universitas di Eropa seperti universitas Nassau dan Universitas Wien. Serta adanya dukungan finansial dari beberapa lembaga donor internasional seperti, Heinrich Boll Stifftung dan Friedrich Ebert Stiftung.
Dalam orasinya Adam menyampaikan bahwa, arah pembangunan perdamaian yang dilakukan oleh lembaga internasional terkadang sangat ambisius, hal ini disebabkan oleh, yang pertama, lembaga-lembaga tersebut kurang komit terhadap pembangunan perdamaian dibandingkan dengan klaim-klaim kebijakannya, contohnya, lembaga-lembaga internasional terlalu cepat mengklaim bahwa perdamaian di suatu wilayah sudah tercapai dengan baik, walaupun sebenarnya dilapangan masih banyak persoalan-persoalan yang belum terselesaikan bahkan tersentuh sama sekali. Sebagai contoh adalah proses perdamaian Aceh, lembaga internasiona yang dibentuk untuk memantau perdamaian Aceh seperti Aceh Monitoring Mission (AMM) terlalu cepat mengklaim bahwa tugas-tugas mereka sudah berhasil di Aceh dan kemudian meninggalkan Aceh begitu saja ketika proses perdamaian dan pembangunan kepercayaan diantara aktor-aktor konflik sedang berlangsung. Kemudian ia menyebutkan, alasan yang kedua yaitu, pembangunan itu sendiri secara historis merupakan suatu proses yang cenderung mengembangkan dari pembangunannya dari pusat ke daerah. Artinya pendanaan asing pada dasarnya mendukung yang tidak berkaitan langsung dengan penyelesaikan konflik tersebut sehingga cenderung memprovokasi daripada meredam konflik. Dan yang ketiga adalah, lembaga-lembaga asing lebih cenderung bekerja dalam rangka menghabiskan anggaran daripada bekerja terhadap isu-isu yang kontroversi secara politik dan secara program begitu sulit seperti isu-isu pembangunan perdamaian dan kebijakan bagi kaum minoritas.
Dalam konferensi internasional itu juga, didiskusikan masalah yang terkait dengan integrasi ASEAN dan penghormatan terhadap nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia di kawasan Asia Tenggara. Perhatian peserta dan pembicara terfokus pada isu demokrasi dan pelanggaran hak asasi manusia di Thailand Selatan, Myanmar, Laos, Kamboja, Papua Barat, Mindanao dan Vietnam. Simon Sottsas, Kandidat PhD dari Frei-Universitat, Berlin yang menyampaikan makalah tentang konflik di Mindanao, Filipina, menyebutkan bahwa,Konflik yang terjadi di Mindanao merupakan suatu konflik identitas di mana bangsa Moro merasa bahwa dirinya bukan bagian dari Filipina. Hal ini disebebkan karena Penjajah Spanyol tidak pernah menaklukkan kesultanan Islam di Selatan Filipina. Kemudian pada masa penjajahan Amerika Serikat atas Filipina yang kemudian menghasilkan kesepakatan Paris dimana Amerikam Serikat memasukkan wilayah selatan Filipina (Mindanao) sebagai bagian dari Filipina, dianggap sesuatu yang ilegal oleh bangsa Moro. Ia juga menyampaikan bahwa keberadaaan tokoh-tokoh brutal seperti Datu Ampatuan di wilayah Mindanao yang sering bertindak anarkis dengan melakukan penculikan dan pembunuhan warga setempat semakin membuat kehidupan bangsa Moro semakin mencekam. Ditambah lagi dengan konflik yang tidak kunjung selesai antara Moro Islamic Liberation Front (MILF) dan Filipina. Ketidakberhasilan institusi Autonomous Region of Muslim Mindanao (ARMM) yang dipimpin oleh Nur Misuari menimbulkan akar gerakan baru yaitu munculnya gerakan Moro Islamic Liberation Front (MILF). Hasil pemilu ARMM dibatalkan secara sepihak oleh Presiden Filipina dan kemudian ia menunjukkan pejabat yang bertanggung jawab dan bertindak sebagai Gubernur di wilayah ARMM.
Konferensi internasional juga menghadirkan pembicara kunci pada hari kedua pelaksanaannya 20 Mei 2011 yaitu Dr Sriprapha Petcharamesree, yang menyampaikan orasi berkaitan dengan Komisi Hak Asasi Manusia Antar Pemerintah ASEAN (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights/AICHR) dan peluang integrasi ASEAN. Di dalam piagam ASEAN jelas tersebut tentang prinsip Integritas Teritorial (Territory Integrity) dan Tidak Saling Mencampuri Urusan Dalam Negeri (Non-Interference principle). Kedua prinsip tersebutlah yang sangat menyulitkan AICHR untuk bertindak dalam menyelidiki dan menyelesaikan pelanggaran HAM yang terjadi di masing-masing negara ASEAN. Selain itu AICHR tidak diberikan mandat penuh dan kewenangan untuk melakukan penyelidikan atas setiap pelanggaran HAM yang terjadi di masing-masing negara ASEAN. Sampai hari ini masih terjadi perdebatan panjang di dalam AICHR, apakah ketua dan para komisioner AICHR bertindak atas nama masing-masing negara dalam melaksanakan tugasnya sebagai komisioner AICHR atau bertindak atas nama pribadi walaupun dicalonkan beradasarkan representasi masing-masing negara anggota ASEAN. Ketiadaan sanksi terhadap para anggota ASEAN yang melakukan pelanggaran HAM di masing-masing negara membuat ASEAN masih dipertanyakan komitmennya terhadap upaya-upaya penegakan HAM dan demokrasi di kawasan Asia Tenggara.
Selain itu, beberapa negara di ASEAN seperti Vietnam, Kamboja, Myanmar dan Republik Demokratik Rakyat Laos masih menjadi sorotan masyarakat internasional akibat semakin memburuknya situasi penegakan HAM dan demokrasi di ke empat negara tersebut. Khususnya Myanmar, yang sampai hari ini masih melakukan penahanan rumah dan pembatasan ruang gerak pemimpin pro-demokrasi Aung Sann Syu Kyi. Hal ini berbeda halnya dengan Uni Afrika, yang memiliki aturan yang tegas dan jelas bagi para anggotanya yang dianggap telah melakukan upaya-upaya kontra demokrasi dan HAM di masing-masing negaranya. Apabila terdapat salah satu anggota yang dianggap telah melakukan pelanggaran HAM maka negara tersebut dapat dikenakan sanksi mulai dari teguran ringan, sedang, keras dan sampai dengan pemecatan dari keanggoatan Uni Afrika. Dengan demikian pemimpin Uni Afrika memiliki kekuasaan untuk mengadakan pertemuan dan penyelidikan menyeluruh terhadap salah satu anggota yang dilaporkan telah melakukan pelanggaran HAM.
Menurut beliau, perlu dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan perfoma, profesionalisme dan independensi lembaga AICHR dalam rangka melakukan penegakan HAM dan demokrasi di kawasan Asia Tenggara dalam rangka menjamin keamanan manusia di kawasan ini, demikian pungkasnya. Ada 2 (dua) komponen penting dalam menjamin keamanan manusia dan stabilitas kawasan ASEAN yaitu dengan ditegakkannya prinsip-prinsip demokrasi dan dihormatinya prinsip-prinsip universal HAM.
Selanjutnya acara memberikan kesimpulan bahwa tantangan utama pemerintahan, hak asasi manusia dan pembangunan di kawasan Asia Tenggara adalah perlunya penegakan hukum, hak asasi manusia dan penghormatan terhadap nilai-nilai demokrasi yang dapat menjamin keamanan manusia (human security) di ASEAN. Kegiatan konferensi internasional kedua tentang pemerintahan, hak asasi manusia dan pembangunan di kawasan Asia Tenggara akan dilaksanakan tahun depan pada bulan Mei di Chiang Mai, Thailand.
*1. Mahasiswa Program Ph.D.in Planning and Development of University Northern Malaysia (Universiti Utara Malaysia). 2. Wali World Gayonese Association (WGA).