Perambahan kawasan hutan di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Aceh Tenggara masih marak terjadi, sehingga beberapa kawasan tampak gundul. Di antaranya, pembukaan lahan baru untuk dijadikan area pertanian, bahkan pemukiman oleh sejumlah warga atau juga penebangan pohon sebagai area bisnis.
Anggota Komisi I DPRA, Buhari dari Partai PAN yang juga mantan Anggota DPRK Agara, Senin (11/4) menyatakan pembukaan lahan baru terus marak di Gunung Leuser. Dia menilai, pengawasan dari dari pihak BBTNGL masih lemah, apalagi berkantor di Medan, Sumatera Utara, walau 90 persen area TNGL berada di Aceh.
Dia berharap Kementerian Kehutanan sudah saatnya mencopot Kepala Balai Besar TNGL karena dinilai tidak mampu mengawasi hutan. “Perambahan hutan di kaki Gunung Leuser seperti tidak terbendung lagi, sehingga terancam gundul dan bencana mengancam,” katanya, seraya mempertanyakan pengawasan BBTNGL yang tidak ada.
Dikatakan, seharusnya di sepanjang kaki gunung Leuser dipasang plang larangan dan hukum pidana jika merambah wilayah TNGL. “Mungkin, kalau ini dipasang sejak dahulu, kerusakan hutan dan perambahan hutan di Agara tidak separah yang kita rasakan ini,” ujarnya.
Sebaliknya, katanya, rakyat menginginkan penghijauan dengan menjadi kelestarian lingkungan. Namun, penghijauan yang dilakukan masyarakat dibabat habis oleh petugas BBTNL, sehingga bisa berdampak para pemanasan global, seperti saat ini.
“Tanaman yang ditanam masyarakat seharusnya dibiarkan berkembang dengan catatan tidak membuka lahan baru maupun menanam tanaman yang lainnya,” ujar Buhari. Dia berharap, aksi penebangan hutan dengan alasan membuka lahan baru harus dicegah, agar kerusakan TNGL tidak makin parah dalam beberapa tahun mendatang.
Sementara, Nasrulzaman, Pembina LSM Satyapila Aceh Tenggara, kepada Serambi, Senin (11/4) juga mengaku aksi perambahan hutan terus terjadi di Agara. Dia menyatakan hutan di kawasan TNGL dan hutan lindung mulai tampak gundul jika dilihat dari udara, karena pepohonan besar telah ditebang.
“Hal ini terjadi karena pihak terkait masih lemah dalam mengawasi hutan dan, terkesan dibiarkan dirambah agar dapat terus dialokasikan dana untuk pelestarian atau penghijauan hutan TNGL,” klaimnya. Dia menegaskan kerusakan hutan sudah cukup parah terjadi, karena sudah dimulai sejak puluhan tahun lalu.
Dia mengungkapkan sebenarnya masyarakat berusaha menghijaukan kembali area yang gundul, tetapi tanaman yang ditanam warga ditebang, sehingga kembali gersang. “Kita heran, masyarakat yang berupaya melakukan penghijauan menjadi korban penggusuran petugas BBTNGL, sebaliknya yang membuka lahan baru tidak ditindak,” tandasnya.
Seperti dilansir sebelumnya, masyarakat Desa Belang Simpur, Aceh Tenggara (Agara) menyetujui kawasan Leuser menjadi hutan adat. Desa tersebut yang bersisian dengan Lawe Alas dan kaki Gunung Leuser telah dihuni secara turun-temurun sejak beberapa dekade lalu dengan jumlah saat ini sebanyak 130 kepala keluarga (KK) atau sekitar 600 jiwa.
Penghulu atau Kepala Desa Belang Simpur, Sapriadi menyatakan akan tetap mempertahankan haknya sebagai warga negara yang telah bermukim di desa itu. Sapriadi yang didampingi sejumlah warga mengatakan heran, karena harus terusir dari tanahnnya sendiri.
“Kami hidup di sini sudah turun-temurun dan para orang tua kami mendiami kawasan itu, jauh sebelum lahirnya undang-undang tentang kehutanan,” kata Sapriadi. Dia mengaku telah menanami sejumlah kawasan yang gundul di daerah tersebut dengan tanaman perkebunan. “Lihatlah hasilnya, saat ini jadi hijau, padahal dulu gundul,” katanya seraya menunjuk salah satu bukit hijau.
Warga Simpur sependapat apabila kawasan hutan Leuser dijadikan hutan adat sebagaimana sudah ditetapkan Mahkamah Konstitusi berdasarkan No 35/PUU-X/2012. “Kamilah yang selama ini menjaga kawasan ini, tapi kenapa kami dituduh merusak hutan dan harus keluar dari sini,” kata Muslim, warga Belamh Simpur lainnya.(Serambinews)