Koran Vs Qur’an

Oleh Johansyah*

Apa betul ya? Di era informasi saat rasanya orang dianggap ketinggalan jika tidak mengetahui perkembangan beragam kejadian atau peristiwa di koran; ekonomi, politik, sosial, keamanan, dan lain-lainnya, baik di tingkat regional, nasional, maupun internasional. Kelihatannya memang begitu, kita juga terkadang merasa belum puas jika belum membaca koran atau paling kurang melihat situs berita online, ada berita menarik apa hari ini?
Tidak terasa pula, koran sebagai sumber informasi terkini sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Hampir semua instansi pemerintahan berlangganan koran. Demikian halnya warung-warung kopi, tidak ketinggalan langganan koran. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, bagi mereka yang tidak sempat membaca koran edisi cetak, dengan mudah dapat diperoleh berita lewat situs media online. Bahkan dengan menggunakan handphone saat ini orang bebas di mana saja membaca berita. Tidak hanya itu, facebook, twitter, dan beberapa program lainnya yang walaupun bukan dimaksudkan untuk situs berita menjadi ramai kerena beragam informasi yang unik, menarik, dan menggelitik hasil postingan teman-teman.

Terlepas dari kebutuhan kita terhadap koran sebagai sumber informasi terkini, lalu bagaimana dengan alqur’an yang fungsinya memiliki kesamaan dengan koran? Yakni sebagai sumber informasi. Bahkan alqur’an sebenarnya memiliki fungsi lain yang lebih fundamental, yaitu sebagai sumber petunjuk (QS. al-Baqarah: 2), landasan falsafah, dan sumber etika bagi penataan hidup individual maupun sosial umat Islam.

Aneh tapi nyata memang, tingkat antusias masyarakat untuk menjadikan alqur’an sebagai buku bacaan wajib justru begitu rendah. Berbeda sekali dengan antusias terhadap koran seperti yang digambarkan tadi. Ketika hari ini kita tidak membaca kitab suci alqur’an, barangkali tidak ada kekhawatiran atau perasaan tidak puas sebagaimana layaknya perasaan kita jika belum membaca koran. Mirisnya lagi, bukan saja minat masyarakat muslim yang rendah, tapi juga kemampuan membaca alqur’annya juga rendah. Ketika Unsyiah mengadakan tes kemampuan membaca alqur’an bagi calon mahasiswa baru pada tahun 2015 kemarin, hasilnya cukup mengejutkan, ternyata 82 % dari mereka tidak mampu membaca alqur’an.
Kelemahan umat.

Rendahnya apresiasi dan antusias terhadap alqur’an ini sebenarnya adalah salah satu titik kelemahan utama umat Islam. Dikatakan begitu karena alqur’an merupakan wahyu yang berisi tentang tuntunan nilai hidup, bagaimana harus menjalani hidup, atau bagaimana seharusnya manusia berperilaku. Alqur’an yang berisi informasi beragam, dan segala aspek lainnya yang terkait dengan kehidupan dunia dan akhirat, pada intinya hanya memiliki dua poros pesan utama, yaitu nilai-nilai aqidah dan akhlak. Maka kalau umat Islam tidak berpegang kepada alqur’an, itu berarti mereka berpotensi menghancurkan Islam. Umat tanpa akidah yang kokoh dan dan kapasitas akhlak itulah umat jahiliyah.
Hal inilah yang kemudian terkadang membuat sebagian ulama dan intelektual Islam selalu menyerukan untuk kembali kepada alqur’an. Kendati dipahami beragam, namun yang saya pahami adalah bahwa umat Islam harus berpegang teguh kepada nilai-nilai alqur’an. Ada juga pemahaman sebagian orang bahwa kembali kepada alqur’an adalah membangun tatanan kehidupan seperti yang pernah diformulasikan oleh Rasulullah. Atau lebih tegasnya kembali pada era Rasulullah.

Perkara kembali pada masa lalu adalah absurd karena ruang dan waktu tidak bisa diajak kembali ke masa lalu. Konteks masa Rasul dengan masa kita saat ini jauh berbeda. Jangankan masa Rasulullah dengan era sekarang, bahkan antara era kita dengan anak dan cucu kita saja sudah terjadi pergeseran.

Kendati demikian, kalaulah dari kita banyak yang mau menyadari bahwa meskipun zaman berganti dan kehidupan mengalami perubahan seiring perputaran waktu, sebenarnya ada satu hal yang tidak pernah berubah yaitu nilai-nilai esensial kemanusiaan. Bahwa nilai etika dan akhlak tidak pernah berganti. Sesuatu perilaku yang diklaim oleh alqur’an baik, maka sampai kapan pun akan tetap begitu. Demikian sebaliknya, sesuatu perilaku dianggap alqur’an tidak baik, maka sampai kapan pun akan tetap begitu.

Inilah yang kita sebut sebagai nilai abadi dan semua itu sudah digariskan dalam alqur’an. Makanya ketika umat Islam tidak berpegang teguh kepada alqur’an maka sesungguhnya mereka seperti mengendarai sebuah bus yang tidak memiliki rem saat berada di jalan turunan yang berjurang. Mereka mempertaruhkan nyawa sendiri karena dapat menyebabkan celaka dan binasa. Pesantren Keluarga.

Pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan Islam yang memiliki pergulatan sejarah panjang di negeri ini. Lembaga ini memiliki karakter berbeda dengan lembaga pendidikan produk pemerintah. Pesantren kental dengan pelajaran dan aktivitas keagamaan. Santrinya tampila beda dengan yang lain; memakai peci, mengenakan baju koko, ada juga yang memakai kain sarung plus sorban, dan identik dengan kitab kuning serta gemar membaca alqur’an. Terlepas dari apakah itu sebatas simbolis atau substantif, tapi yang jelas mereka sudah terpola dengan budaya-budaya dan aktivitas yang sudah terbagun di pesantren.

Pertanyaan sederhana, lantas mengapa masih banyak dari kita enggan berdekatan dengan alqur’an, bahkan merasa nyaman saja kalau tidak membaca alqur’an, tidak ada kekhawatiran sama sekali? Jawabannya, ya karena kita tidak terbangun dengan budaya alqur’an sehingga tidak pernah merasa dekat. Kalau tidak dekat, tentu tidak peduli dan tidak perlu menghabiskan waktu untuk menyentuh, membaca, dan memahami pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.

Sepengetahuan saya, budaya atau pembiasaan itu paling efektif dibangun melalui institusi pendidikan keluarga. Kegiatan keagamaan di lembaga lain, termasuk sekolah tidak akan cukup bagi kita untuk mendekatkan anak-anak kita dengan alqur’an. Keluargalah yang berperan besar untuk membangun budaya baca alqur’an. Program gerakan masyarakat maghrib mengaji (gemmar mengaji) itu sejatinya bukan sekedar di masjid atau menasah-menasah, tetapi justru yang terpenting dalam keluarga. Orangtua harus membaca alqur’an dan mengajak anak-anak mereka secara kontinyu dan menjadikannya sebagai program rutin. Inilah yang saya sebut dengan pesantren keluarga, yaitu pesantren mini dengan kental dengan budaya-budaya religius dengan beragam aktivitas keagamaan. Minimal dua kegiatan yang harus terus dibiasakan, yaitu membaca alqur’an dan shalat lima waktu.

Mencari dan memperoleh informasi dari koran dan media lainnya tentu penting karena menjadi kebutuhan masyarakat saat ini, tapi sebuah kelalaian apabila tidak dibarengi dengan budaya religius, terutama budaya baca alqur’an. Lagi pula lucu, kok kesannya kita menjauhi alqur’an, mau diapakan Islam ini? Semoga para orangtua sadar akan kondisi ini dan secara terbuka mau membangun pesantren mini dalam keluarganya yaitu membangun budaya religius, khususnya budaya baca alqur’an, agar generasi kita tidak saja cinta koran, tapi juga cinta alqur’an.

*Johansyah adalah pegiat studi Islam dan pendidikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.