Secangkir Kopi Untuk Ayah

Oleh: Anuar Syahadat

Sang fajar meninggalkan bekasnya, matahari belum terlalu jauh
meninggalkan semayamnya. Di ujung upuk timur terlihat orang tua sedang
tergopoh-gopoh sambil menenteng parang dengan mengenakan kain
sarung-bantuan gendong (Jangkat).

Rutinitas itu selalu dilakoninya, tak seperti orang tua yang ada
disekitar kampung. Yang setiap hari bercanda di warung Kopi buk Mila,
yah..buk Mila, penjual kopi manis dari Jawa, yang tinggal di kampungku
sejak suaminya Meninggal gara-gara Konplik Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
dengan Republik Indonesia dulu.

Jika dirincikan, desaku persis berada di kegelapan, di sebelah timur
berbatasan dengan areal persawahan, sedangkan disebelah barat
berbatasan dengan hutan Louser, jumlah penduduknya masih 47 Kepala
keluarga, dengan jumlah 120 orang jiwa.

Dari keseluruhan jumlah penduduk, bisa dikatakan hanya aku yang
melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi, sedangkan si Nani, Kasmawati,
dan Megawati yang merupakan teman akrabku memilih untuk menikah dengan
pemuda kampung seberang.

Semula, aku yang telah lulus dari SMA N 1 Blangkejeren bertubuh kurus
dengan sedikit manis ini juga pernah dilamar oleh pemuda, ayah dan
ibuku hanya mengatakan “pikirkan baik-baik, dia orangya baik, jangan
sampai menyesal” kata mereka.

Tapi kebulatan tekatku untuk melanjutkan kuliah ke Rumah Sakit Haji
Medan telah menjadi sumpah di dalam diriku, setidaknya aku harus pergi
dari kampung yang telah membesarkan aku, dan waktu itu memang telah
lama berlalu.

Jika aku melihat kalender, rasanya genap sudah tiga tahun berlalu, aku
yang biasa di panggil dengan sebutan si Manis telah menyelesaikan
kuliah, dengen meneteng Ijazah, berbaju putih, dengan penuh senang dan
gembira aku pulang ke kampung halamanku.

Meskipun hanya sederhana dalam menyambut kedatanganku, hatiku terasa
bahagia karena tetesan air mata yang berlinang dari pelupuk mata
seorang ibu itu sangat mengharukan, isak tagis disaat aku dipeluk, di
cium, serta dimanja-manjakan di depan tetangga yang menyalami aku
membuat aku sangat terharu dan mengeluarkan isak tagis dengan tetesan
air mata.

Kini sudah dua hari aku dirumah, mengurusi dapur menyuci serta
menyiapkan makan siang untuk ayah dan ibuk, tanpa disengaja,
pandanganku menoleh ke sebelah kiri rumah, di lubang jendela yang
berukurang 1×1 meter itu terlihat orang tua sedang memikul kayu bakar
dengan alat gendong dari atas lereng gunung samping rumahku.

Mataku mulai tak berkedip, tajam sambil memperhatikan gerak geriknya,
rambutnya terlihat sepanjang kuping, kumisnya tebal, dari mulutnya
mengeluarkan kepulan asap rokok, sedangkan dipinggangnya terselip
sebuah parang.

Lima menit telah berlalu, orang tua itu semakin mendekat
kepandanganku, secara tiba-tiba, ia menurunkan kayu di samping rumah,
dengan detuman yang lumayan keras, aku beranjak keluar, dan
memperhatikan orang tua itu.

Ternyata lelaki tua itu adalah ayahku, ayah yang selama ini
menyayagiku, membiayai aku kuliah, yang telah membesarkanku, juga
telah mencurahkan kasih sayang yang berlebihan terhadap aku.

Tapi untuk sekarang, yang menjadi pertanyaan bagiku, untuk apa
kayu-kayu yang dibawa oleh Ayah..???, untuk apa kayu sebanyak itu
dikumpulkan di samping Rumah..??? untuk apa ibu ke kota membawa
serpihan kayu bakar itu, dengan memikul hingga 20 km menuju kota..???.

Pertanyaan itu membuat aku menjadi bingung, apakah untuk mendapatkan
jawabannya harus kutanyakan kepada ayah, atau kepada ibu..???
pikiranku mulai pusing, dan berusaha berajak masuk rumah menyiapkan
kopi untuk ayah.

Ku ambil sebuah gelas, kumasukan dua sendok gula dan satu setengah
sendok bubuk kopi, aku memasukan air panas sambil mengaduk-aduk
minuman yang akan kupersembahakan untuk ayah.

Aku mengantarnya hingga ke samping halaman rumah, “Yah ni kopinya”
kataku kepada ayah yang sedang memotong-motong kayu yang baru iya
bawa, “terimaksih anakku, ini pasti enak” kata ayah seraya bangkit dari
tempat duduknya yang terlihat seperti tidak ada merasakan kecapekan,

Ia perlahan mendekat, dan mengambil secangkir kopi dari tanganku, “ini
baru enak” kata ayah setalah meneguk kopi buatanku itu, ayah  bertanya
kepada aku, “ apakah ibumu sudah pulang dari kota” katanya, belum
sempat ku jawab, “mudah-mudahan saja kayu bakar yang tadi dibawa ibu
mu laku dijual”  tambahnya lagi.

Aku mulai bigung, didalam pikiranku tersirat suatu jawaban dari semua
pertanyaan, ternyata uang yang di kirimkan oleh ayah kepada aku di
saat aku kuliah dulu adalah dari hasil penjualan kayu bakar, biaya
dari kayu bakar, makan dari kayu bakar serta semua kebutuhan kami dari
kayu bakar.

Dalam lamunan, aku bersikeras untuk membahagiakan kedua orang tuaku,
aku berharap setelah mendapatkan pekerjaan natinya, akan membuatkan
istana untuk mereka, akan kupersembahkan gaji pertamaku, karena haya
akulah surga merka.

Penulis Secangkir Kopi Untuk Ayah Aktip menulis di Harian Aceh dan
majalah Lentayon. Tinggal di Desa Porang Kabupaten Gayo Lues

Foto : Win Ruhdi Bathin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.